Menakar Solusi Bersama atas Persoalan Papua

Honaratus Pigai (*


Kekerasan demi kekerasan terus terjadi di Tanah Papua. Kebijakan demi kebijakan yang diterapkan Pemerintah pusat pun belum mampu menyelesaikan kekerasan atau konflik yang terjadi. Sungguh tragis, karena situasi ini tidak akan berakhir tanpa upaya mendekati persoalan secara lebih mendalam dan dengan positif thingkin serta mendengar masalah dengan hati terbuka. Pemerintahan pusat dapat dikatakan gagal memahami persoalan. Kegagalan Pemerintah Pusat dalam menangani persoalan Papua, karena belum mampu melihat persoalan dengan jitu. Segala kebijakan yang diberikan ke Papua, yang dianggap sebagai solusi penyelesaian masalah, boleh dikatakan kurang tepat. Pemerintah belum menyentuh akar pesoalan sebenarnya.  

Pemerintah pusat di bawah kaki tangan militer, merespon peristiwa tertembaknya anggota militer, justru dengan mengirim tambahan militer dalam jumlah yang amat banyak. Sementara, kalau rakyat yang tertembak dianggap hal lumrah dan tidak mendapatkan respon secara serius. Pemerintah menganggap bahwa dengan militer dalam jumlah yang banyak, dapat mampu meredam situasi konflik. Faktanya, malah kebalikan. Militer datang tidak membawa keamanan, tetapi malah menciptakan ketegangan-ketegangan baru, yang mengakibatkan masyarakat sipil takut dan harus mengungsi ke daerah-daerah yang dirasa aman. Situasi seperti demikian terus berulang, seakan tak pernah ada evaluasi di pihak pemerintah Indonesia. 

Pengalaman setidaknya mengajarkan kita, bahwa keputusan yang berangkat dari pemikiran dangkal dan berwatak kolonial semacam ini hanya akan memancing persoalan baru yang memperburuk keadaan. Tetapi malah membuat situasi semakin tidak aman, padahal situasi semacam demikian mengajak kita untuk harus mencari solusi yang bermartabat dan tepat. Situasi yang dapat membangun rakyat yang adil dan beradab. Hanya saja, hal demikian belum terjadi hingga saat ini. Sehingga tidak heran jika konflik terus terjadi.

Rakyat Papua menghadapi berbagai persoalan serius. Salah satu yang terpenting adalah eksploitasi korporasi, yang sering diwakilkan oleh Freeport, atau korporasi lainnya. Eksploitasi ini melahirkan berbagai akses buruk pada lapangan ekonomi, politik, dan sosial budaya Rakyat Papua. Kekayaan alam dijarah, rakyat dibunuh atau dipinggirkan, dan janji pembangunan berubah wujud jadi perusakan. Tindakan semacam demikian tidak membawa suatu pembangunan atas manusia. Tidak memberdayakan manusia-manusia, tetapi malah mematikan manusia-manusia.

Terkadang pelanggaran Hak Azasi Manusia, ditutup-tutupi dengan dalih mempertahankan keutuhan negara republik. Hak kemanusiaan sebagai manusia tidak diperhitungkan, malah manusia dianggap kelas nomor dua, dibandingkan dengan material yang ada di Papua. Di sini pemerintah pusat belum adil dan manusiawi dalam menanggapi masalah secara serius. Kalau demikian pertanyaan yang bisa muncul adalah, apa yang dipentingkan pemerintah pusat? Apakah manusia perlu mendapat perlindungan HAM atau materialnya yang perlu?

Di Papua terdapat kekhususan dan keumuman sejarah yang melekat pada Papua saat disandingkan dengan suku-bangsa lain yang bergabung menjadi Indonesia. Sebagaimana terhadap daerah lain, Soekarno berusaha “memenangkan” Papua untuk bergabung dengan Republik Indonesia dalam semangat anti-kolonialisme. Dalam konteks tersebut, defenisi Indonesia adalah kemerdekaan bagi bangsa-bangsa Nusantara dari cengkraman kolonial Belanda. Indonesia merupakan visi tentang jembatan emas, untuk mewujudkan masyarakat tanpa penindasan bangsa atas bangsa dan tanpa penindasan manusia atas manusia. Artinya, Soekarno telah membayangkan bahwa Rakyat Papua akan berada di atas jembatan emas yang sama dengan bangsa-bangsa lain yang bersatu dalam sebuah nation-state bernama Indonesia.

Namun kudeta merangkak Soeharto yang terjadi antara tahun 1965-1968 membuyarkan impian tersebut. Soekarno tak sempat membuktikan komitmen anti-kolonialnya secara otentik di hadapan mayoritas Rakyat Papua. Di bawah kekuasaan Soeharto, pendekatan terhadap Papua lebih kental dengan praktik militeristik dan eksploitatif. Oleh sebagian kalangan, persoalan yang menyejarah ini telah dikembangkan menjadi gugatan terhadap Ke-Indonesia-an orang Papua.

Gugatan yang kontroversial ini mengarah pada sebuah pertanyaan sensitif: apakah merdeka dan berdaulat sebagai sebuah bangsa yang terpisah merupakan pilihan terbaik saat ini? Jawaban akhirnya akan berpulang pada rakyat Papua sendiri, dan tentu saja pemerintah Indonesia.

Bagi Rakyat Papua, penting diingat, bahwa pendekatan yang militeristik dan eksploitatif oleh rezim Soeharto telah mempertemukan kesamaan nasib di antara Rakyat Indonesia secara keseluruhan, termasuk Rakyat Papua. Lebih lanjut, eksploitasi modal asing yang semakin masif akhir-akhir ini sudah seharusnya kembali mempertemukan seluruh Rakyat Indonesia untuk menjawabnya bersama.

Sementara bagi penguasa di Indonesia, harus segera ada pembuktian atas komitmen anti kolonialisme yang pernah diajukan oleh Soekarno. Perubahan cara pandang pemerintah terhadap masalah Papua adalah satu kunci pembuktian tersebut. Sementara kunci lainnya adalah pembangunan infrastruktur, jalan, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya di seluruh pelosok Papua yang ditujukan untuk memajukan perekonomian Rakyat Papua. Kekayaan Tanah Papua harus dikembalikan untuk dinikmati oleh Rakyat Papua; bila perlu disertai ‘denda’ atas kesalahan-kesalahan pemerintah di masa lalu.

Ini mimpi di siang bolong, yang tak mungkin akan terjadi dan tak mungkin akan dijawab secara serius. Melihat situasi Papua yang tak-karuan atas tindakan para penguasa ekonomi dan politik yang belum mampu memihak rakyat Papua, maka perlua ada solusi yang bukan diinginkan oleh pemerintah pusat, tetapi oleh rakyat Papua. Pemerintah mesti mendengar dan menjawab keinginan dan kemauan rakyat Papua.

Kalau kita menilik ke belakang, rakyat Papua sudah bertahun-tahun berada di bawah tekanan dan konflik kekerasan. Sejak Papua diintegrasikan kedalam negara Indonesia, Pepera dan New Agreement yang sebenarnya dilakukan dengan cacat hukum dan tidak bermartabat. Salahnya pemerintah pusat, karena belum menyentuh akar masalah. “mana mungkin persoalan bisa selesai kalau akarnya belum cabut”. Akar masalah mesti dicabut dengan pendekatan-pendekatan bermartabat.

Salah satu jalan yang ditwarkan oleh rakyat Papua adalah dialog. Dialog yang bermartabat untuk membahas segala macam persoalan dan pelanggaran-pelanggaran HAM yang selama ini masih terjadi. Maka dialog antara Jakarta dan Papua rupanya sangat perlu dilakukan dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral. Karena itu, pemerintah pusat mesti membuka diri dan mendengar dengan hati persoalan Papua. Kalau memang pemerintah mau membangun Papua dialog mesti ditanggapi dengan serius, jika tidak ingin membangun Papua maka jelas konflik akan terus terjadi.  

 
 
*)Mahasiswa STFT "Fajar Timur" Abepura-Papua
Share:
spacer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."