OTONOMI KHUSUS DAN KEJAHATAN NEGARA DI PAPUA

Oleh: Socratez Sofyan Yoman

Reformasi di Indonesia dimulai tahun 1998. Pada mementum ini, presiden Republik Indonesia berwatak ototiter dan militeristik, Soeharto (alm.) disingkirkan dengan kekuatan rakyat (people power) yang dimotori oleh para mahasiswa seluruh Indonesia. Pintu reformasi ini, menjadi kesempatan yang berharga bagi rakyat dan bangsa Papua yang berada dalam penjara kekerasan dan kejahatan Negara selama tiga puluh lima tahun (35 tahun) sejak 1961-1998, bahkan sampai di era Otsus 2011 ini. Ruang kebebasan dan angin segar itu benar-benar dimanfaatkan oleh seluruh rakyat Papua dari Sorong-Merauke. Rakyat Papua seperti seekor burung yang terlepas dari sangkarnya dan terbang dengan bebas dan berani melakukan perlawanan terbuka kepada Pemerintah Indonesia yang sedang menduduki dan menjajah rakyat Papua. Perlawanan terbuka itu dilakukan sebagai akumulasi tidak percayanya rakyat dan bangsa Papua Barat kepada Pemerintah Indonesia. Misi perlawanan rakyat Papua adalah kekerasan dan kejahatan kemanusiaan Negara yang massif terhadap penduduk asli Papua yang berlangsung bertahun-tahun dengan dipelakukannya Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) harus diakhiri.

Menurut penduduk asli Papua, dalam era keterbukaan ini, tidak ada pilihan lain bagi rakyat dan bangsa Papua,bahwa jalan satu-satunya adalah menentukan nasib sendiri (Self-Determination) atau Merdeka. Pendudukan dan penjajahan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Semangat perjuangan itu juga didukung dengan surat dari enam Anggota Kongres Amerika, tertanggal 22 Mei 1998 yang ditujukan kepada Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, yang terdiri dari delapan point. Point pertama dinyatakan: “Membebaskan tahanan-tahanan politik, termasuk Sri Bintang Pamungkas, Mochtar Pakpahan, Budiman Soejatmiko, Xanana Gusmao, Andy Arif, Dita Sari, Garda Sembiring, Yakobus Eko Kurniawan, IG Pranowo, Suroso, Petrus Haryanto, dan ANdi Syahputra”. Dan pada point empat berbunyi: “Inisiatif langsung, dialog yang jujur dengan orang-orang Timor-Timur ( sekarang: Timor Leste), Irian Jaya (sekarang: Papua) untuk perlindungan hak-hak asasi manusia dan penyelesaian adil untuk status politik mereka”.

Surat dari Anggota Kongres Amerika ini, tentu saja direspon oleh seluruh rakyat dan bangsa Papua sebagai kekuatan dan amunisi tambahan yang diberikan oleh Anggota Kongres dari Negara Super Power, Amerika Serikat. Rakyat dan bangsa Papua Barat menyadari bahwa mereka tidak sendirian dalam menanggung penderitaan ini. Tetapi, dalam planet ini ada solidaritas dari sesama manusia yang memiliki hati nurani dan kepekaan rohani yang merindukan nilai-nilai kemanusiaan, kesamaan derajat dan hak asasi manusia dan kedamaian dapat berdiri bersama-sama dengan rakyat dan bangsa Papua Barat yang sedang mencari keadilan.

Menyikapi surat dari Anggota Kongres Amerika Serikat ini, B.J.Habibie sebagai seorang cendikiwan Muslim yang cerdas dengan elegan menyatakan bahwa Rakyat Timor Timur diberikan ruang dan kesempatan untuk menentukan pilihan melalui referendum supaya apakah rakyat Timor Timur (sekarang: Timor Leste) tinggal dengan Indonesia dengan status Otonomi Khusus (OTSUS) atau berdiri sendiri sebagai Negara merdeka terlepas dari Indonesia? Pada 31 Agustus 1999 diadakan pemunggutan suara dan diumumkan hasilnya pada 4 September 1999, dan akhirnya mayoritas, hampir 78,5% rakyat Timor-Leste memilih untuk berdiri sendiri.

Dalam surat dari Anggota Kongres Amerika Serikat ini juga, Rakyat dan bangsa Papua disebutkan supaya hak dan status politik rakyat Papua diselesaikan dengan dialog yang adil. Untuk mewujudkan itu, Tim 100 yang dipimpin oleh Thomas (Tom) Beanal berangkat ke Jakarta dan masuk di Istana Negara Republik Indonesia pada 26 Februari 1999. Tim 100 sebagai duta-duta yang diutus dari Tanah Papua ini membuat sejarah yang elegan, bermartabat, beretika dan bermoral serta amat manusiawi di depan Presiden Republik Indonesia dan para Menterinya. Pernyataan politiknya sebagai berikut:

Pernyataan Politik Bangsa Papua Barat Kepada Pemerintah Republik Indonesia. “Bahwa permasalahan mendasar yang menimbulkan ketidak-stabilan politik dan keamanan di Papua Barat (Irian Jaya) sejak tahun 1963 sampai sekarang ini bukanlah semata-mata karena kegagalan pembangunan melainkan status politik Papua Barat yang pada tanggal 1 Desember 1961 dinyatakan sebagai sebuah Negara merdeka di antara bangsa-bangsa lain di muka bumi. Pernyataan tersebut menjadi alternatif terbaik bagi sebuah harapan dan cita-cita masa depan bangsa Papua Barat, namun telah dianeksasi oleh Negara Republik Indonesia.

Oleh sebab itu, dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun bangsa Papua Barat dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Maka pada hari ini Jumat, 26 Februari 1999 kepada Presiden Republik Indonesia kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa: Pertama: Kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk Merdeka dan Berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi. Kedua: Segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai dan bertanggungjawab selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999. Ketiga: Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua, maka: (1) Segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (2) Kami Bangsa Papua Barat menyatakan tidak ikut sertya dalam pemilihan umum Republik Indonesia tahun 1999. Demikian pernyataan politik dibuat dan disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta.Dibuat di Jakarta, pada tanggal 26 Februari 1999, atas nama Bangsa Papua Barat: Tom Beanal dan 100 orang delegasi rakyat dan bangsa Papua Barat”. (Agus A.Alua, Dialog Nasional Papua Dan Indonesia 22 Februari 1999, hal. 38-39).

Perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk merdeka dan berdiri sendiri tidak dibicarakan di hutan-hutan, di pinggiran jalan, dan tidak melalui spanduk, tidak melalui selebaran kertas, tidak melalui kibarkan Bintang Kejora di gunung-gunung, di hutan-hutan, tidak melalui membunuh rakyat sipil yang tidak berdosa. Tetapi, Rakyat dan bangsa Papua Barat berjuang dengan cara yang sangat terhormat dan bermartabat hadir di Istana Negara Republik Indonesia dan disampaikan dengan sopan, terhormat dan terpuji kepada Pemerintah Republik Indonesia, melalui Presiden keinginan rakyat dan bangsa Papua untuk Merdeka.

Bukan saja tuntutan bermartabat dan elegan rakyat dan bangsa Papua Barat disalurkan melalui dialog di Istana Negara tanggal 26 Februari 1999 yang mengejutkan Pemerintah Indonesia dan dunia Internasional. Tetapi, perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat dengan konsisten dan konsekwen melalui Musyawarah Besar (MUBES) Papua pada 23-26 Februari 2000. Kongres Nasional II rakyat dan bangsa Papua Barat dilaksanakan di Gedung Olah Raga (GOR) Jayapura, sejak 26 Mei-4 Juni 2000. Dan demonstrasi dan pengibaran Bendera Bintang Kejora secara massif di seluruh Tanah Papua dari Sorong-Merauke bahkan mahasiswa yang menuntut ilmu di luar Papua juga turut mendukung semua perlawanan rakyat dan bangsa Papua Barat. Tuntutan rakyat dan bangsa Papua Barat jelas, yaitu: “Kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk Merdeka dan Berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi”. Benih-benih yang mengandung nilai kejujuran, keadilan, kesamaan derajat dan hak asasi manusia yang ditaburkan di Istana Negara RI di Jakarta itu sekarang sedang bertumbuh dan bertunas di sana. Suara itu sedang berbisik dan mengetok hati petinggi Jakarta.

Seluruh penyampaikan pergumulan dan kerinduan hati rakyat dan bangsa Papua Barat dengan jalan yang terhormat dan bermartabat ini dijawab dengan tekanan aparat keamanan TNI dan POLRI yang melahirkan kekerasan dan kejahatan Negara di Tanah Papua. Pendekatan kekerasan dan kejahatan Negara ini mengorbankan nyawa ratusan bahkan ribuan rakyat sipil Papua. Karena kekerasan dan kehajatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara semakin meningkat di Tanah Papua, maka solusi yang dtempuh adalah Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001. Isi dalam Otonomi Khusus adalah pesan perlindungan (protection), amanat keberpihakan (affirmative action), dan komitmen pemberdayaan (empowering) bagi penduduk asli Papua. Supaya harga diri, identitas, hak ekonomi, hak politik, hak mendapat pendidikan, hak mendapat pelayanan kesehatan, dan hak mengembangkan potensi kebudayaan berada dalam rumah Otonomi Khusus.

Tetapi sayang, UU Nomor 21 Tahun 2001 ini dihancurkan dan dicederai oleh Pemerintah Indonesia dengan Inpres No. 21 Tahun 2001 tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (IJB). Otonomi Khusus juga menjadi mesin pembunuh rakyat Papua. Contoh: Theys Hiyo Eluay diculik dan dibunuh oleh Kopassus dan sopir Aristoteles Masoka dihilangkan dan tidak ditemukan mayatnya sampai saat ini (2001). Yustinus Murip dan delapan temannya dibunuh oleh TNI di Yeleka, Wamena (2003). Pdt. Elisa Tabuni dibunuh oleh Kopassus di Puncak Jaya (2004). Jenderal Kelly Kwalik dibunuh oleh Densus 88, Brimob dan TNI di Timika (2010). Dan lebih banyak lagi kekerasan dan kejahatan Negara terhadap penduduk asli Papua dalam era Otonomi Khusus. Penduduk asli Papua benar-benar dimarjinalkan dari Tanah leluhur mereka. Kehidupan dan kelangsungan hidup penduduk asli Papua secara ekonomi, pendidikan, kesehatan sangat memprihatinkan dalam era Otonomi Khusus.

Perlawanan rakyat dan bangsa Papua Barat bukan karena kurang adanya perhatian dalam bidang kesejahteraan, faktor keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Tetapi, persoalan yang harus diselesaikan Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua adalah hak dan status politik rakyat dan bangsa Papua Barat yang digelapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Pemerintah Amerika Serikat, Pemerintah Belanda dan Indonesia. Peristiwa penggelapan dan ketidakadilan sejarah seperti contoh: Kemerdekaan dan Bangsa Papua Barat tanggal 1 Desember 1961 dianeksasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, melalui Maklumat TRIKORA 9 Desember 1961. Penyerahan Papua dari Belanda kepada PBB tahun 1962. Penyerahan Papua dari PBB kepada Indonesia 1 Mei 1963. Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang tidak melibatkan penduduk asli Papua. Pelaksanaan Act of Free Choice (PEPERA) 1969 dibawah moncong senjata yang cacat hukum dan moral . Kontrak karya PT Freeport 1967 sebelum Act of Free Choice 1969. Dan kegagalan pelaksanaan Otonomi Khusus 2001.

Yang jelas dan pasti: Akar masalah Papua adalah status politik yang menyebabkan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui kekuatan aparat keamanan dan juga kejahatan Negara melalui berbagai bentuk UU, Kepres, Inpres dan Peraturan Pemerintah (PP), Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Jadi, solusi yang bermartabat adalah dialog damai tanpa syarat antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Shalom. Tuhan memberkati kita semua.




==========================
Sumber: Sumber: Bintang Papua, Sabtu, 27 Agustus 2011)

Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
Numbay, Jayapura, Papua, 25 Agustus 2011
Share:
spacer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."