Sesudah Humanisme

Siapa itu manusia? Apa artinya menjadi manusia? Inilah salah satu pertanyaan abadi yang amat penting untuk dijawab dengan berpijak pada konteks kehidupan kita yang terus berubah. Buku terbaru F. Budi Hardiman yang berjudul Humanisme dan Sesudahnya, Meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) ingin menanggapi pertanyaan itu dengan menelusuri sejarah perkembangan paham humanisme dari masa Yunani Kuno sampai era sekarang ini. Ia juga mengajukan argumennya sendiri yang disebutnya sebagai konsep “Humanisme Lentur”.

Alam dan Tuhan
Di dalam filsafat, refleksi tentang manusia sebenarnya baru dimulai, setelah kaum Sofis di masa Yunani Kuno mengajukan argumen, bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya. Setelah kaum Sofis melepaskan diri dari paradigma kosmologis para filsuf pra Sokratik, yang menjadikan alam sebagai pusat kajiannya, barulah para filsuf, macam Sokrates, Plato, dan Aristoteles, mulai memikirkan soal manusia, dan kehidupan yang ada di sekitarnya.

Di abad Pertengahan Eropa, paham humanisme, yakni paham yang menjadikan manusia sebagai fokus kajiannya, berkembang di bawah payung agama Kristiani. Dalam arti ini, manusia adalah citra Tuhan, yakni model yang tidak sempurna dari Tuhan itu sendiri. Sebagai citra Tuhan, manusia memiliki dimensi transenden yang sudah selalu tertanam di dalam dirinya. Namun, di masa ini, konsep kebenaran dan apa artinya menjadi manusia dimonopoli oleh tafsir-tafsir religius, yang seringkali menjadi “alat kontrol kebebasan individu.” (hal. 9)

Sebagai sebuah paham dan gerakan intelektual, humanisme sendiri baru menemukan kepenuhannya di dalam humanisme modern. Dalam arti ini, humanisme modern adalah “upaya untuk menghargai kembali manusia dan kemanusiannya dengan memberikan penafsiran-penafsiran rasional yang mempersoalkan monopoli tafsir kebenaran yang dahulu kala dipegang oleh kombinasi ajaib agama dan negara.” (hal. 8) Humanisme modern adalah upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu tafsir religius yang kerap kali memasung kekuatan-kekuatan kodrati manusia.

Kritik Agama
Gerakan humanisme modern sungguh menjadikan manusia sebagai pusat alam semesta. Alam, dan bahkan Tuhan, dikesampingkan demi mengembalikan kebebasan manusia yang sebelumnya tertutup oleh kabut tafsir religius. Ludwig Feuerbach, yang dianggap sebagai bapak Ateisme modern, bahkan melihat keberadaan tuhan sebagai suatu proyeksi manusia, karena ia tidak mampu mewujudkan kemampuan-kemampuan kodratinya secara penuh dalam hidup yang nyata. Friedrich Nietzsche bahkan menyatakan, bahwa tuhan sudah mati, dan kita semua, yakni manusia, yang membunuhnya.

Descartes, Hegel, dan Kant adalah para filsuf modern yang merayakan kemampuan manusia untuk menjadi sadar atas diri dan realitas di sekitarnya. Dengan kemampuan akal budinya, manusia mampu menentukan apa yang baik dan apa yang buruk untuk dirinya sendiri. (hal. 27) “Lewat kritik agama”, demikian tulis Hardiman, “para humanis ateistis itu menantang orang-orang beriman untuk secara mendalam merenungkan mengapa dan bagaimana mereka beriman.” (hal. 29)

Di masa modern ini, manusia dilihat sebagai mahluk yang transenden dengan kebebasan, kesadaran, dan akal budi yang ia miliki. Ia bukan lagi citra Tuhan, melainkan mahluk hidup yang mampu membuat alam tunduk pada keinginan dan kepentingannya. Ia tidak lagi tunduk pada tafsir-tafsir religius tentang kebenaran dan kehidupan, melainkan berani mengangkat kekuatan-kekuatan yang ada di dalam dirinya sendiri untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk dirinya. Agama diminta untuk memberikan tempat untuk akal, kebebasan, dan kesadaran manusia, sehingga bisa tetap menjadi pedoman hidup manusia yang justru mengangkat kemampuan-kemampuan terpendam di dalam dirinya. ( hal. 32)

Meminggirkan Subyek
Awalnya adalah alam yang menjadi fokus utama refleksi filsafat, lalu Tuhan, dan kemudian manusia dengan kebebasan dan kesadarannya. Itulah arah pusat refleksi Filsafat Barat. Di era kontemporer, mulai dari awal abad 20, arah itu berubah. Bukan Tuhan, bukan alam, dan bukan manusia, melainkan “sesuatu” yang ada di luar manusia itulah yang menjadi pusat kajian. Apa itu “sesuatu” di luar manusia? Ada banyak versinya, mulai dari “Ada”, “Sistem”, “Bahasa”, “Struktur”, dan sebagainya.

Setelah dua perang dunia yang mencabik seluruh dunia, orang mulai sadar, bahwa manusia tidaklah seluhur yang mereka bayangkan. Bahkan, seringkali, manusia justru menjadi budak dari hal-hal yang ada di luar dirinya. Oleh karena itu, di dalam filsafat kontemporer, manusia disingkirkan dari pusat kajian, dan menjadi semata bagian dari sesuatu yang lain dari dirinya sendiri. Gejala ini sering juga disebut sebagai proses decentering the subject.

Di mata Wittgenstein, filsuf kelahiran Austria kontemporer, yang terpenting bukanlah manusia, melainkan bahasa. Realitas tercipta setelah kita membahasakannya, dan mempercakapkannya. Cara sebuah realitas dibicarakan akan menentukan cara kita memahami realitas tersebut, dan bersikap padanya. Pembicaraan tentang realitas itu disebutnya sebagai permainan bahasa, atau language game. (hal. 55)

Hannah Arendt, filsuf perempuan asal Jerman, juga mengajukan argumen, bahwa konsep kemanusiaan modern, yang rasional, sadar, dan bebas, mengandung aspek teroristik, ketika memecah manusia ke dalam golongan-golongan antara yang rasional dan yang tidak, yang sadar dan yang tidak. (hal. 41) Akibatnya, yang dianggap tidak rasional dan tidak bebas akhirnya dilihat sebagai “bukan manusia”, maka boleh diperbudak, disiksa, dan dihancurkan.

Humanisme Selanjutnya
Arti penting buku Hardiman ini, pada hemat saya, terletak pada argumennya tentang Humanisme Lentur. Menurutnya, “kita harus membedakan antara dua aspek humanisme” (hal. 62) Di satu sisi, humanisme memiliki kekuatan kritis normatif untuk “menelanjangi kekuatan-kekuatan asing yang menindas manusia dan kemanusiaannya.” (hal. 63) Sisi ini ingin melindungi manusia dari paham apapun yang ingin memperbudak dirinya.

Di sisi lain, humanisme memiliki aspek ideologis, bahwa sebagai suatu “isme”, humanisme tetap memiliki unsur dogmatis di dalam dirinya yang seringkali menjelma sebagai kebenaran mutlak yang berlaku untuk siapapun, dimanapun, dan kapanpun, maka harus dipaksakan ke semua orang. (hal. 64) Bagi Hardiman, yang dapat diterima adalah sisi kritis dan normatif dari humanisme, yang disebutnya sebagai Humanisme Etis. Yang terus harus ditolak dan dipikirkan ulang adalah humanisme sebagai ideologi, yakni humanisme yang mengandung sisi dogmatis yang siap membelenggu keberagaman dan kekayaan hidup manusia ke dalam satu versi kebenaran tertentu.

“Humanisme lentur”, demikian tulis Hardiman, “adalah suatu bentuk humanisme tanpa metafisika kemanusiaan”, (hal. 66) yang berarti tanpa suatu versi tentang manusia yang mutlak, dan perlu dipeluk oleh semua orang. Bagi seorang humanis yang lentur, kebebasan tidak diperoleh dengan melenyapkan Tuhan, karena keberadaan Tuhan membawa misteri yang justru memberi ruang untuk kebebasan manusia. Kebebasan manusia “dipahami sebagai kemungkinan untuk melampaui diri, sebagai keberanian untuk menghayati misteri, dan sebagai kemampuan untuk memberi.” (hal. 68)

Humanisme lentur mengajak kita semua untuk bersikap lunak terhadap akal budi kita sendiri, terhadap iman kita, terhadap kebebasan kita sebagai manusia, dan melepaskan diri dari sikap bangga diri atas agama dan kepercayaan yang kita pegang. Buku ini, pada hemat saya, amatlah penting untuk Indonesia sekarang ini. Di tengah begitu banyak pandangan hidup dan sistem nilai yang ada, buku ini mengajak kita, sebagai manusia, untuk tetap lunak dan lentur di dalam menjalani hidup, sambil tetap menghayati misteri kemegahan Tuhan dan kehidupan, serta selalu siap memberi diri untuk memperbaiki kualitas hidup bersama.

Sebagai seorang penulis buku filsafat, nama Budi Hardiman sudah berkibar kencang di Indonesia. Ia pertama kali dikenal sebagai seorang penafsir yang amat otoritatif terhadap pemikiran-pemikiran Jürgen Habermas, seorang filsuf Jerman kontemporer yang masih hidup sampai sekarang ini. Sampai bukunya yang sekarang, Budi Hardiman pun masih mengikuti alur berpikir “guru” informalnya tersebut. Bahkan, sejauh saya amati, di dalam buku ini, ia tidak mengajukan tesis yang cukup tegas, dan cukup berbeda, dari Habermas. Seperti Hardiman mengajak kita untuk bergerak melampaui pola berpikir dogmatis yang terkandung di dalam humanisme, kita bisa kembali bertanya, kapan ia bisa sungguh bergerak dari “bayang-bayang” Habermas?

@Wattimena
Share:
spacer