Ancaman Ekspansi Sawit Di Papua Terhadap Keberadaan Masyarakat Adat (Bagian 1)


Hilangnya hutan dan alam beserta seluruh keanekaragaman hayatinya akibat perubahan fungsi atau konversi menjadi perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman dan akan memicu terjadinya kerentanan yang luar biasa bagi orang asli Papua. Hilangnya hutan dan rawa dimana orang Papua biasa mendapatkan sagu sebagai sumber pangan (karbohidrat) utama, berburu untuk mendapatkan hewan buruan sebagai sumber protein utama, berbagai hasil hutan seperti rotan, kayu, nibung, dan lain sebagainya untuk kebutuhan sandang dan papan, serta sumber obat-obatan alam, akan secara signifikan menggerus kesejahteraan dan kualitas hidup orang Papua asli.
***
Produktivitas minyak sawit Indonesia relatif rendah. Peningkatan produksi CPO disebabkan oleh ekspansi yang terus meningkat, dari sekitar 6,5 juta hektar di 2006 menjadi 13,5juta  hektar pada tahun 2013 (Sawit Watch, 2013). Dengan ini, Indonesia mencatatkan dirinya sebagai negara yang memiliki luasan perkebunan sawit sekaligus penghasil minyak sawit terbesar di Dunia. Pada tahun 2013 menghasilkan lebih dari 26 juta ton minyak sawit mentah (CPO) (Dirjenbun, 2013). Dari jumlah ini, enam juta digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, dan sisanya diekspor ke China, India, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Dari angka ini, sektor perkebunan sawit telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi devisa dan pendapatan negara. Tercatat pada tahun 2017 sektor ini berkontribusi lebih dari 18 Milyar USD atau setara dengan sektor Migas yang dalam periode yang sama ini juga menghasilkan sekitar 18 Milyar USD.
Di tingkat kebijakan, pemerintah masih memberikan peluang untuk melakukan ekspansi secara besar-besaran seperti: Peraturan Menteri No.26/2007 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan (memperluas luasan izin dari 20.000 ha sampai 100.000 ha per perusahaan dalam satu provinsi untuk minyak sawit perkebunan) serta Peraturan Menteri Pertanian – Permentan No.14 / 2009 tentang pedoman penggunaan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit) yang memungkinkan konversi lahan gambut semua hingga 3 meter untuk perkebunan kelapa sawit. 
Tidak hanya itu, sejak tahun lalu (2016) DPR RI telah menginisiasi draft RUU Perkelapasawitan yang akan semakin memberikan angin segar melalui berbagai insentif baik fiskal maupun non fiskal pada industri sawit untuk terus melakukan perluasan investasinya Di sektor keuangan, kami mencatat beberapa lembaga keuangan dan perbankan telah siap untuk memberikan kredit untuk sektor perkebunan sawit ini, baik untuk sektor hulu maupun hilirisasi produk minyak kelapa sawit.
Dorongan besar ini terutama dipicu oleh peningkatan permintaan minyak nabati dunia, dimana sawit merupakan salah satu sumber minyak nabati yang paling ekonomis, baik dari segi produksi maupun pengolahannya. Selain itu, lebih dari 100 produk turunan bisa dihasilkan yang tidak hanya bagi kebutuhan pangan saja, namun kosmetik, pembersih, sampai dengan bahan bakar nabati. Maka tidak mengherankan jika posisi minyak sawit sangat sulit digantikan oleh sektor agro komoditas penghasil minyak nabati lainnya.
Euforia minyak sawit ini tidaklah dirasakan oleh semua pihak, dimana masyarakat adat dan masyarakat lokal tidak selalu menjadi pihak yang diuntungkan dalam sistem industri sawit ini. Posisi mereka terbilang cukup rentan, dimana benefit yang mungkin mereka dapatkan sangat minim dan lebih sebagai penerima trickle down effect atau tetesan kecil dari keuntungan besar dari sistem industri ini.
Wilayah Papua, merupakan salah satu wilayah yang saat ini banyak menerima investasi sawit. Papua merupakan salah satu wilayah yang sampai sekarang ekspansi perkebunan kelapa sawit terus berkembang. Luasnya hutan Papua dan tingginya nilai keanekaragaman hayati membuat wilayah ini sebagai Rimba Tropis Utama. Hutan yang ada di Papua telah menjadi penyedia utama kehidupan bagi sedikitnya 1187 suku asli yang mendiaminya. Terbagi antara 312 suku asli di New Guinea bagian Barat (West Papua) dan 875 suku di Papua New Guinea (PNG).
Sayangnya, keberadaan hutan tropis di pulau ini terus menyusut seiring proses degradasi dan laju kerusakan hutan (deforestasi) yang terjadi dari waktu ke waktu. Data Pemerintah RI menyebutkan, pada 2005-2009 luas hutan Papua berkisar 42,22 juta hektar. Tapi berselang tiga tahun kemudian (2011) mengalami degradasi hingga tersisa 30,07 juta hektar. Dengan rata-rata deforestasi di Papua berkisar 143.680 hektar per tahun. Sedangkan laju deforestasi di Provinsi Papua Barat per tahun rata-rata sebesar  293 ribu hektar atau 25 persen.
Hilangnya tutupan hutan di Papua, seiring dengan ekspansi  perkebunan kelapa sawit yang ada di wilayah Papua. Data Pemerintah Provinsi Papua, menyebutkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Papua saat ini adalah 958.094,2 ha (belum termasuk Papua Barat). Dari luasan ini dikuasai oleh 79 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tersebar di berbagai daerah seperti Merauke, Jayapura, Boven Digoel, Keerom, Sarmi, Waropen, Yahukimo, Nabire, Mimika dan Mappi. Dan luasan terbesar terdapat di Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digoel. Luasan perkebunan kelapa sawit ini akan terus bertambah mengingat ada keterbatasan lahan di wilayah lain seperti Sumatera dan Kalimantan, selain itu ada kebijakan yang akan memperluas perkebunan kelapa sawit di Papua mencapai 5 juta ha. Jika hal ini benar-benar terealisasi maka bukan tidak mungkin hutan dan segala keberagaman yang ada didalamnya akan hilang.
Situasi ini menimbulkan dilema besar, dimana disatu sisi Papua benar-benar membutuhkan rencana pembangunan dan investasi yang diharapkan mampu mengangkat penghidupan orang papua agar dapat lebih meningkat dan sejahtera dengan bekerja di perkebunan sawit, baik sebagai buruh, maupun sebagai petani plasma. Disisi lain, ada kekhawatiran besar bahwa orang papua asli hanya akan menjadi penonton karena tidak mampu untuk berpartisipasi dan terlibat dalam sektor industri ini.
Kekhawatiran tersebut terutama karena situasi ini akan memicu lompatan budaya yang sangat cepat, sehingga orang papua asli tidak akan mampu untuk berakselerasi dan akan tertinggal jauh. Faktor utama adalah ketergantungan orang papua asli terhadap alam dan hutan sebagai sumber penghidupan utama mereka. Berbagai ungkapan orang papua terhadap hutan dapat menunjukkan eratnya pola relasi ini, seperti alam dan hutan adalah ibu, alam dan hutan adalah gudang atau lumbung, yang mampu melindungi dan memenuhi kebutuhan orang papua.
Hilangnya hutan dan alam beserta seluruh keanekaragaman hayatinya akibat perubahan fungsi atau konversi menjadi perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman dan akan memicu terjadinya kerentanan yang luar biasa bagi orang asli Papua. Hilangnya hutan dan rawa dimana orang Papua biasa mendapatkan sagu sebagai sumber pangan (karbohidrat) utama, berburu untuk mendapatkan hewan buruan sebagai sumber protein utama, berbagai hasil hutan seperti rotan, kayu, nibung, dan lain sebagainya untuk kebutuhan sandang dan papan, serta sumber obat-obatan alam, akan secara signifikan menggerus kesejahteraan dan kualitas hidup orang Papua asli. (Sumber: http://sawitwatch.or.id)
(bersambung ke bagian 2)

Share:
spacer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."