Uskup Keuskupan Timika, Mgr. Jhon Philip Saklil |
Timika - Pemimpin Gereja
Katolik Keuskupan Timika Mgr John Philip Saklil Pr mengkritik keras kebijakan
pemerintah di Tanah Papua yang terus memberikan perizinan pembukaan perkebunan
kelapa sawit dengan menegaskan bahwa masyarakat Papua tidak makan kelapa sawit.
Ditemui di Timika, Uskup Saklil mengatakan
seharusnya Pemda di Papua tidak menghilangkan kearifan lokal masyarakat yang
hidup dari makanan pokok sagu dan umbi-umbian dengan terus mendorong pembukaan
puluhan ribu hingga ratusan ribu hektare hutan untuk dijadikan perkebunan
kelapa sawit.
"Masyarakat Papua makan sagu, makan
umbi-umbian, makan pisang. Kita bukan makan kelapa sawit," kritik Uskup
Saklil.
Menurut dia, sudah banyak contoh kegagalan
program perkebunan sawit seperti di Kalimantan dan Keerom, Provinsi Papua
sehingga membuat warga setempat tidak lagi memiliki lahan untuk ditanami sagu
dan umbi-umbian lantaran tanah mereka telah dijual atau dikonversi menjadi
perkebunan kelapa sawit.
"Contoh yang paling dekat di Keerom,
apakah sekarang masyarakat Keerom sudah kaya raya dengan kelapa sawit. Tidak.
Jadi, jangan paksakan masyarakat Papua untuk membangun hidupnya dari tanaman
yang bukan kebiasaan adatnya," ujar Uskup Saklil.
"Saya minta pemerintah di Tanah Papua
agar lebih peka menyikapi masalah ini" ujarnya menambahkan.
Uskup mengingatkan Pemda di Papua agar
tidak hanya memikirkan kepentingan meraup pendapatan sebesar-besarnya dari
investasi perkebunan kelapa sawit tanpa memperhatikan dampak sosial bagi
keberlangsungan hidup masyarakat setempat serta dampak ekologis terhadap
kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
"Selama ini yang mengizinkan
investor-investor besar dari luar untuk membangun perkebunan kepala sawit itu
kan pemerintah daerah. Tidak mungkin investor masuk kalau tanpa izin pemerintah
setempat. Jangan sampai investasi-investasi itu justru menghancurkan kehidupan
masyarakat lokal. Negara harus memikirkan hal ini," ujarnya.
Ada sejumlah perusahaan perkebunan kepala
sawit kini mulai merambah investasinya di Papua seperti di Keerom, Kabupaten
Jayapura, Kabupaten Nabire dan Kabupaten Mimika dan Kabupaten Merauke.
Di Mimika, perusahaan Pusaka Agro Lestari
diberikan lahan seluas 39 ribu hektare di kawasan hutan Iwaka di antara Kali
Kamora dan Kali Mimika untuk dijadikan areal perkebunan kelapa sawit.
Aktivitas perusahaan itu sempat dihentikan
oleh Bupati Mimika Eltinus Omaleng pada 2014. Namun tak lama kemudian, PT PAL
diizinkan kembali beroperasi.
Direktur Plantation PT PAL Prabat Kara
beberapa waktu lalu mengatakan perusahaan telah menginvestasikan dana 30 juta
dolar AS atau sekitar Rp360 miliar untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit di
kawasan hutan Iwaka, Jalan Trans Timika-Paniai sejak 2007.
Prabat menegaskan perusahaan yang
dipimpinnya tidak saja membuka lahan perkebunan kelapa sawit tetapi juga
melakukan pemberdayaan masyarakat pemilik hak ulayat serta warga Papua asli
lainnya di Kabupaten Mimika.
PT PAL mendapat izin untuk membuka
perkebunan kelapa sawit pada lahan seluas 35 ribu hektare. Meski begitu, PT PAL
tidak menebang hutan yang di dalamnya terdapat konservasi flora dan fauna
dengan luas sekitar 9.000 hektare.
Prabat yang berkewarganegaraan Malaysia
itu mengaku bahwa PT PAL telah melengkapi semua persyaratan yang diperlukan
untuk menjalankan investasi perkebunan kelapa sawit di Mimika, termasuk dengan
mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan dari Kementerian Kehutanan RI.
Perusahaan itu juga terdaftar sebagai
anggota asosiasi perusahaan sawit internasional (Roundtable on Sustainable Palm
Oil).
Hingga kini terdapat sekitar 1.000 orang
yang bekerja sebagai buruh di PT PAL, dimana sebagian besar dari mereka
merupakan masyarakat lokal.
"Secara tidak langsung kami telah
ikut memberdayakan masyarakat lokal. Ada konsultan yang membina untuk
meningkatkan skil masyarakat. Bahkan kami juga membangun sekolah bekerja sama
dengan Dinas Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Mimika," jelas Prabat.
Selain telah menginvestasikan dana sekitar
30 juta dolar AS, PAL juga akan menyediakan lahan seluas 4.500 haktare untuk
perkebunan plasma dimana setiap keluarga pemilik hak ulayat akan mengelola
lahan seluas empat hektare. (*)
(Media, Antara Papua)