Oleh: Honaratus Pigai (*
Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua merupakan masalah yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Sejak era Orde Baru hingga masa Reformasi, Papua telah menjadi wilayah yang rawan konflik, di mana masyarakatnya sering menjadi korban tindakan represif dari negara. Dalam masa kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berulang kali menjanjikan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. Namun, setelah hampir selelai masa kepemimpinannya, janji tersebut tampaknya tinggal kenangan yang pudar, jauh dari harapan masyarakat Papua.
Papua: Luka Sejarah yang Tak Kunjung Sembuh
Sejak "Penentuan Pendapat Rakyat" (Pepera) pada tahun 1969, Papua selalu menjadi wilayah dengan dinamika politik dan keamanan yang kompleks. Banyak orang Papua merasa bahwa integrasi Papua ke Indonesia penuh dengan ketidakadilan, yang kemudian menjadi akar dari konflik panjang antara aparat negara dan masyarakat setempat. Hal ini mengakibatkan banyak terjadi pelanggaran HAM yang berkelanjutan hingga kini.
Beberapa kasus pelanggaran HAM yang paling menonjol, misalnya kasus Wasior (2001), Wamena (2003), dan Paniai (2014). Kasus-kasus ini mencatat kekerasan yang melibatkan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil. Pembunuhan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan penangkapan tanpa proses hukum menjadi gambaran umum dari pelanggaran HAM di Papua. Meski beberapa kasus ini telah diakui pemerintah sebagai pelanggaran serius, namun penyelesaian secara hukum dan keadilan bagi para korban masih belum terwujud.
Janji Jokowi yang Terlupakan: Tinggal Kenangan
Ketika Jokowi pertama kali terpilih sebagai presiden pada 2014, ia membawa harapan baru bagi Papua. Dalam kunjungannya ke Papua tak lama setelah pelantikan, Jokowi berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang menumpuk di Papua. Ia menekankan pentingnya pendekatan damai dan humanis, bukan lagi melalui kekuatan militer atau kekerasan. Komitmen ini menyiratkan bahwa Jokowi ingin mengubah paradigma pendekatan terhadap Papua dengan mengutamakan pendekatan yang bermartabat dengan hati.
Salah satu janji besar Jokowi adalah menyelesaikan kasus Paniai 2014, di mana empat siswa ditembak dalam insiden kekerasan oleh aparat keamanan. Ini merupakan salah satu dari banyak kasus yang ia sebut akan diselesaikan secara adil dan transparan. Selain itu, Jokowi juga berulang kali menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan di Papua sebagai upaya untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan sosial yang sering menjadi pemicu konflik.
Namun, setelah hampir 10 tahun menjabat, janji Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua tampaknya suah tidak akan terjadi. Kasus Paniai, yang dijanjikan akan diselesaikan dengan cepat, berlarut-larut dalam proses hukum yang tidak jelas arahnya. Meskipun pada 2022 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengumumkan penyelidikan lebih lanjut atas kasus ini, perkembangan konkret yang diharapkan belum terjadi.
Lebih jauh lagi, di bawah kepemimpinan Jokowi, pendekatan represif terhadap Papua justru semakin intensif. Militerisasi wilayah Papua meningkat seiring dengan penambahan pasukan keamanan dan operasi-operasi militer yang diklaim untuk menumpas kelompok separatis. Banyak warga sipil yang terjebak di antara konflik ini, yang pada akhirnya kembali menjadi korban kekerasan. Kasus-kasus penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan oleh aparat keamanan terus terjadi, bahkan mungkin lebih parah dari sebelumnya.
Alih-alih fokus pada penyelesaian pelanggaran HAM, pemerintah pusat di bawah Jokowi cenderung memperkuat kebijakan ekonomi dan pembangunan infrastruktur tanpa memperhitungkan hak-hak masyarakat adat Papua. Pembangunan jalan, jembatan, dan bandara memang memperbaiki aksesibilitas wilayah, namun di sisi lain memperburuk masalah perampasan tanah adat dan marginalisasi masyarakat asli. Kebijakan yang terkesan top-down ini mengabaikan aspek penting dari keadilan sosial yang diharapkan masyarakat Papua.
Refleksi Akhir: Dari Harapan ke Kekecewaan
Janji Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua kini tinggal kenangan yang pudar. Harapan yang semula disematkan pada kepemimpinannya telah berubah menjadi kekecewaan, terutama bagi masyarakat Papua yang masih menunggu keadilan. Pendekatan yang lebih represif dan tidak adanya komitmen nyata dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM membuat janji tersebut tampak kosong.
Untuk menghindari Papua terus menjadi luka sejarah Indonesia, pemerintah harus mengambil langkah nyata untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua. Penyelesaian pelanggaran HAM, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, dan dialog adalah kunci untuk membuka jalan bagi perdamaian yang berkelanjutan. Namun, selama janji itu terus diabaikan, Papua akan tetap menjadi wilayah di mana keadilan tinggal dalam kenangan yang semakin samar.
***
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."