Tinjauan Papua Barat
PAPUA BARAT (SERING
JUGA hanya disebut ‘Papua’) setengah luas New South Wales. Ia terletak persis
di sebelah selatan khatulistiwa antara benua Asia dan Australia. Iklimnya
tropis, dengan suhu antara 32 derajat celsius di dataran rendah dan 22 derajat
di dataran tinggi. Sebagian pulau memiliki ketinggian lebih dari 200 inci, atau
7.620 mm, yang mendapat curah hujan per tahun, menjadikannya di antara tempat
paling lembab di planet bumi. Rawa bakau terbentang sepanjang garis pantai,
pepohonan palem berserak di pedalaman, dan hutan hujan menutupi kawasan 1.000
meter di atas permukaan laut. Di pegunungan ditumbuhi hutan oak, beech,
dan pinus. Pada 2006, sekelompok peneliti berjalan kaki menembus daerah
pegunungan terpencil di sudut barat-laut dan mendapati sebuah lanskap
mengagumkan, tak terjamah, hutan tanpa penghuni yang belum terpapar kehidupan
atau kehadiran manusia. Pemimpin tim riset mengatakan bahwa area tersebut bak
Taman Surga yang hadir sedemikian rupa di Bumi.
Kendati ada beragam
kelompok bahasa di pulau itu, penduduknya memiliki identitas etnis yang satu
sama lain berbeda, jauh sebelum orang Eropa mulai mendatanginya pada abad
ke-16. Alfred Russel Wallace, seorang naturalis, geografer dan humanis masyhur
dari Inggris, mengunjungi pulau itu dan kepulauan sekitarnya dari 1854-62. Dia
terkagum-kagum pada hutan raya nan subur dengan alam fauna yang khas.
Penelitiannya mendorong dia menerka garis hipotesis yang membagi populasi hewan
di Australia dari Asia. Batas ini, dikenal Garis Wallace, menghadirkan ‘batas
pejal suatu distribusi sebagian besar spesies hewan utama. Aneka kelompok ikan,
burung, dan mamalia melimpah-ruah di satu sisi Garis Wallace, tapi begitu
jarang atau tiada sama sekali di sisi yang lain’.1
Pada pertengahan
abad ke-19, pemerintah Belanda, dalam perjanjian dengan Jerman dan Inggris,
membagi pulau itu sepanjang garis meridian 141 derajat.2 Jerman
mengambil bagian timurlaut (disebut New Guinea) dan Inggris, di bawah tekanan
dari koloni Australia, mengklaim bagian tenggara (lantas disebut Wilayah
Papua). Australia mengambil-alih Wilayah Papua pada 1906 dan New Guinea-nya
Jerman sesudah Perang Dunia I, menyatukan keduanya menjadi Wilayah Papua dan
New Guinea. Separuh bagian barat dari pulau itu—Papua Barat—tetap berada di
tangan Belanda. Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda meluaskan
administrasinya, mula-mula di daerah pantai dan kemudian di pedalaman. Itu
diiringi misi penyebaran agama dan eksplorasi geologis. Pada 1907, perusahaan
minyak Royal Dutch Shell dibentuk bersama minat Inggris atas pencarian ladang
minyak. Untuk sebagian besar sejarahnya, bagaimanapun, Belanda lebih banyak
memberi perhatian ke seluruh Hindia Belanda ketimbang Papua Barat, yang
‘dianggap terpencil untuk para pegawai kolonial’.3 Memang pulaunya
amat terpencil yang membikinnya dipilih oleh Belanda sebagai lokasi pengasingan
bagi kaum nasionalis dan komunis Indonesia. Ratusan orang ditahan di kamp
penjara Boven Digul di pantai selatan Papua Barat. Meski hanya sebagian kecil
orang Indonesia yang pernah melihat kawasan itu, pengalaman Boven Digul dan
kekuasaan simbolis atas Papua Barat dalam peta Belanda telah memperkokoh rakyat
Indonesia memasukkan wilayah Papua ke dalam republik baru.
Status politik Papua
Barat masih belum terpecahkan pada 1949 ketika Belanda menyerahkan kedaulatan
atas seluruh Hindia Belanda ke Indonesia. Pada 1961, elit baru yang terdidik
dari Papua Barat, dipandu Belanda, diarahkan dalam otonomi lebih besar dan
lebih luas. Suatu legislatif nasional, disebut Dewan New Guinea, dibentuk,
serta sebuah bendera dan lagu nasional dikenalkan. Lagu itu, Hai Tanah ku
Papua, dinyanyikan secara teratur saat upacara resmi sesudah lagu nasional
Belanda. Benderanya, Bintang Kejora, terdiri bintang putih tunggal berlatar
warna merah yang di sisinya tergurat tujuh garis biru dan enam garis putih
horizontal, mewakili jumlah distrik dalam provinsi Papua Barat. Ia secara resmi
dikibarkan pada 1 Desember 1961. Banyak nasionalis Papua Barat mengacu upacara
pengibaran pada tanggal itu sebagai pijakan legitimasi lahirnya kemerdekaan
Papua Barat.
Sementara Belanda
berpendapat bahwa Indonesia tak punya klaim atas wilayah Papua, dengan alasan
secara etnis dan politik penduduk Papua jauh berbeda dari wilayah lain
Indonesia, Presiden Sukarno saat itu berdalih bahwa Papua Barat sudah menjadi
bagian dari bangsa Indonesia yang merangkum kesatuan teritorial secara
kepulauan. Sifat-sifat kebangsaan ini, demikian pendapatnya mengemuka, tak
bergantung pada etnisitas, melainkan pengalaman dan perjuangan bersama akan
penderitaan di bawah kolonialisme. Papua Barat, karena itu, tak bisa dianggap
sebagai entitas yang berbeda tapi hanya salah satu dari beragam kelompok etnis
yang menjadi bagian republik Indonesia. Mengacu pada argumen itu, perbedaan
etnis orang Papua Barat semata-mata ditempatkan di bawah slogan Indonesia
“Bhineka Tunggal Ika”—pengertiannya, “berbeda-beda tapi tetap satu jua”.
Pada 19 Desember
1961, di Yogyakarta, Sukarno bikin pidato yang kemudian lebih dikenal dengan
sebutan Trikora, atau Tri Komando Rakyat, mengumumkan:
tekad pemerintahannya: (a) bubarkan
pembentukan negara boneka Irian Barat buatan Belanda; (b) kibarkan bendera Sang
Merah Putih di Irian Barat; dan (c) persiapkan mobilisasi umum untuk
mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan bangsa.4
Dia juga membentuk
pasukan Komando Mandala guna merebut Papua dari Belanda. Panglimanya yang
ditunjuk kelak jadi diktator Indonesia, Mayor Jenderal Suharto. Kekuatan
militer Komando Mandala tak terlalu mengancam administrasi Belanda tapi sudah
cukup memengaruhi perkembangan geopolitik. Amerika Serikat secara khusus
khawatir atas kesediaan Sukarno minta dukungan Uni Soviet dalam bentuk bantuan
dana dan senjata. Itu memengaruhi Perserikatan Bangsa-Bangsa turut campur dalam
diplomasi antara Belanda dan Indonesia. Di bawah tekanan AS, sebuah perjanjian
diteken pada 15 Agustus 1962. Dikenal New York Agreement, ia mengatur
pemindahan kekuasaan sementara atas Papua Barat ke UNTEA, atau United Nations
Temporary Executive Authority, dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, menyusul
kemudian periode di bawah administrasi Indonesia yang lebih panjang. Penduduk
Papua diharuskan ‘berpartisipasi dalam tindakan pilhan bebas berdasarkan
praktik internasional’5 sebelum berakhirnya tahun 1969.
Suatu pemberontakan
melawan pemerintahan Indonesia mulai terjadi nyaris seketika, dan Organisasi
Papua Merdeka (OPM) dibentuk dua tahun kemudian. Usaha-usaha dirancang untuk
menaikkan bendera Bintang Kejora tapi selalu dilawan oleh tentara Indonesia.
Beberapa serdadu diserang dan dibunuh oleh pegawai pemerintahan Papua Barat
selama upacara pengibaran bendera pada 26 Juli 1965. Dua hari kemudian, ratusan
pria yang dikomandani pemimpin pemberontak, Frits Awom, ditangkap di barak
militer di Manokwari dan mengambil-alih kota selama beberapa hari, menandai
operasi kontra-pemberontakan perdana dari Indonesia di kawasan Papua. Mayjen
Suharto di Jakarta merebut kekuasaan pada tahun itu. Konsekuensinya bagi Papua
barat, kendati diklaim sebagai bagian dari bangsa Indonesia oleh Sukarno, lebih
dipaksa ikut bergabung ke Indonesia di bawah rezim Orde Baru yang brutal.
Angkatan Udara Indonesia menyerang kampung-kampung dengan senjata mesin dan
bom, menangkap para pembangkang Papua Barat selama waktu yang panjang tanpa
pengadilan, dan mereka yang menuntut pemisahan diri disiksa dan dibunuh.
Represi militer bersepadan dengan otoritarianisme politik, yang menutup ruang
kebebasan dari apa yang disebut “Act of Free Choice,” atau dikenal Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) dalam sejarah versi Indonesia, yang mestinya diadakan
‘berdasarkan praktik internasional’ sebelum pungkas tahun 1969.
PBB mengirimkan
Fernando Ortiz Sanz, diplomat Bolivia berumur 53 tahun, selaku penasihat,
pembantu dan penyusun dalam persiapan Act of Free Choice. Atas desakan
pemerintah Indonesia, izin dia masuk ke Papua Barat ditunda hingga 23 Agustus
1969. Saat itu penduduk Papua sudah cukup menderita atas serangan udara dan
darat serta pembunuhan massal. Pemungutan suara melibatkan 1.022 orang Papua —
sekira sepersuluh dari satu persen populasi — yang ditunjuk tanpa pengawasan
dari PBB, media internasional, maupun pengamat independen lain. Agak
mengejutkan kemudian bahwa setiap orang dari mereka setuju bergabung ke
Indonesia. Pada Mei 1969, dua pemimpin muda Papua Barat bernama Clemens
Runaweri dan Willem Zonggonau berusaha naik pesawat di Port Moresby, ibukota
Papua New Guinea, dengan tujuan ke New York sehingga mereka bisa memperingatkan
kecurangan dari Tindakan Pilihan Bebas (Act of Free Choice) di markas besar
PBB. Atas permintaan pemerintahan Indonesia, pihak berwenang Australia menahan
mereka di Pulau Manus saat pesawat yang mereka tumpangi berhenti untuk mengisi
bahan bakar, memastikan bahwa suara perlawanan orang-orang Papua Barat
dibungkam.
Pada 2005, rincian
pengusutan atas Act of Free Choice menyimpulkan:
dalam opini para pengamat Barat dan orang
Papua sendiri, yang menyuarakan periode itu, hasil Tindakan Pilihan Bebas itu
berselimut manipulasi, di mana mereka yang punya hak memilih berada di bawah
tekanan luarbiasa untuk tampaknya dengan suara bulat mendukung Indonesia.6
Dalam sebuah
wawancara bertahun-tahun kemudian, Wakil Sekretaris PBB untuk Tindakan Pilihan
Bebas mengakui:
Hasil pilihan politik saat itu ditutupi.
Suasana di PBB adalah menyingkirkan masalah ini selekas mungkin ... Tak ada
orang yang diberi ruang bicara akan fakta bahwa ada sejuta orang Papua yang
hak-hak fundamentalnya dikebiri ... Suharto adalah diktator yang mengerikan.
Bagaimana mungkin orang percaya sungguh-sungguh bahwa semua pemilih dengan
suara bulat memutuskan bergabung dengan rezim diktator? Kebulatan suara seperti
itu sungguhlah aneh dalam demokrasi.7
Proses pemilihannya,
yang ditunjuk berdasarkan prinsip perwalian, bukan satu orang satu suara,
bertumpu pada alasan pemerintah Indonesia bahwa orang Papua terlalu bodoh dan
terbelakang untuk terlibat dalam pemungutan suara yang diadakan secara layak
dan terbuka. Namun alasan itu sunguh tidak logis saat pemilihan umum 1971—dua
tahun setelah Act of Free Choice—pada kenyataannya digelar dengan prinsip satu
orang satu suara. Tak mengejutkan hasilnya memberi kemenangan yang besar bagi
kediktatoran Suharto. Nasionalisme Papua Barat sekarang ini bertaruh pada
ekspresi gugatan mereka atas ‘Act of Free Choice’ 1969 yang penuh
cacat. Banyak orang Papua merujuknya sebagai ‘Act of No Choice’ dan
berupaya “meluruskan” sejarah dengan menyuarakan antitesis pada pemerintahan Indonesia
agar mengakui kecurangan historis itu.
Sebagian besar orang
Papua menyambut pengunduran diri Presiden Suharto pada Mei 1998 dengan menuntut
ekspresi politik pemisahan diri. Sembilan bulan kemudian, sebuah delegasi dari
pemuka masyarakat sipil, mewakili lintas-sosial masyarakat Papua, mendatangi
Jakarta untuk bertemu dengan President B.J. Habibie, pengganti Suharto. ‘Tim
100’ ini, sebagaimana mereka menyebutnya sendiri, terdiri intelektual, mantan
tahanan politik, muslim Papua, mahasiswa, dan anggota legislatif daerah. Mereka
menyatakan agenda pembahasan isu-isu pembangunan dan mengadakan seminar, yang
bekerjasama dengan pemerintah pusat. Dalam suatu pertemuan, dimulai 26 Februari
1999, mereka memberitahu pada Habibie, dengan mengungkap fakta-fakta sejarah di
Papua, bahwa mereka menginginkan kemerdekaan dari Indonesia. Menurut sumber
yang dapat dipercaya dalam pertemuan itu, Habibie terdiam kelu saat menanggapi
tuntutan itu. Jelas dia tak siap dengan permintaan tersebut. Dia menghimbau
delegasi Papua untuk mempertimbangkannya kembali. Pertemuan itu berakhir tanpa
kepastian, namun kedua pihak sama-sama belajar darinya. Pemerintah pusat
memutuskan bahwa sesuatu harus dilakukan guna menggamit tantangan baru bagi
integritas teritorial Indonesia. Delegasi Papua Barat pulang dengan mulai
mempersiapkan konsultasi nasional yang dikenal ‘musyawarah besar’.
Habibie digantikan
Abdurrahman Wahid, dikenal Gus Dur, tokoh muslim moderat dari kalangan
Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dia merayakan Malam
Tahun Baru di Papua sekaligus membawa misi simbolis menyambut fajar pertama
milenium baru dari ujung timur Indonesia. Wahid setuju perubahan nama provinsi
itu yang secara resmi lebih dikenal Papua ketimbang Irian Jaya — suatu itikad
baik yang meraih hati dan simpati rakyat Papua Barat. Dia juga berjanji bahwa
Papua Barat (plus Aceh) akan diberikan otonomi yang lebih luas di dalam
administrasi Indonesia. Selama masa keterbukaan itu, dikenal Musim Semi Papua,
‘musyawarah besar’ digelar pada 23-26 Februari 2000. Dihadiri ribuan rakyat
Papua dari seluruh kawasan, Mubes membahas tiga isu pokok:
Pentingnya mengatasi kecurangan sejarah
Papua (atau pelurusan
sejarah), pengembangan
pendekatan politik yang terkoordinasi, dan pentingnya konsolidasi arus gerakan
yang tengah berkembang.8
Ia juga memutuskan
Kongres Rakyat Papua segera digelar. Presiden Wahid membuka peluang-peluang
itu, sekali lagi memberi sumbangsih yang besar, seperti yang dilakukan
perusahaan tambang Freeport. Itu disebut Kongres Rakyat Papua Kedua — yang
pertama dinilai berlangsung pada Oktober 1961 saat era pemerintahan Hindia
Belanda – diadakan di Jayapura dari 29 Mei hingga 4 Juni 2000 dan dihadiri para
pemimpin eksi Papua Barat serta wakil-wakil daerah. Dalam resolusi puncaknya,
Kongres menyatakan rakyat Papua sudah siap sebagai bangsa berdaulat serta
Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat harus mengakui hak-hak politik mereka.
Kongres juga memutuskan pembentukan lembaga eksekutif mandiri, dikenal sebagai
Presidium Dewan Papua (PDP). Theys Eluay dipilih sebagai ketua dan Tom Beanal
sebagai wakil ketua.
Pemerintah Indonesia
lebih mempertimbangkan gagasan yang berbeda; sebuah rencana operasi yang
terungkap bertanggal 8 Juni 2000 menunjukkan, kendati mereka bertekad melakukan
beberapa langkah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, mereka juga
memutuskan untuk memberangus kepemimpinan orang Papua Barat, memulai operasi
militer guna menyingkirkan perlawanan bersenjata, dan membentuk milisi
pro-Indonesia guna mengintimidasi kelompok-kelompok masyarakat sipil.9
Musim Semi Papua berakhir segera sesudahnya. Kepemimpinan Presiden Wahid
terus-menerus dipertaruhkan dan dia diganti oleh Megawati Sukarnoputri, putri
Presiden Sukarno, pada Juli 2001. Beberapa bulan kemudian, Theys Eluay, ketua
PDP, dicekik hingga mati dan lima pemimpin PDP lain dipenjara. Presiden terbaru
Indonesia selanjutnya menginstruksikan panglima militer untuk ‘melaksanakan
tugas dan tanggungjawab Anda sesuai kemampuan terbaik Anda tanpa perlu cemas
melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.’10
Sesudah
tentara-tentara Kopassus (Komando Pasukan Khusus, elit tempur militer
Indonesia) didakwa melakukan pembunuhan terhadap Theys Eluay, Jenderal
Ryamizard Ryacudu, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat,
menyatakan pujian kepada para pembunuh:
Saya tidak mengerti, orang bilang itu salah,
mereka melanggar hukum. Hukum apa? Ok, kita adalah negara berdasarkan supremasi
hukum. Tapi bagi saya, mereka adalah pahlawan karena orang yang mereka bunuh
adalah pemimpin pemberontak.11
Sebagai konsesi bagi
suara-suara perlawanan Papua Barat, pemerintah Indonesia menawarkan Otonomi
Khusus untuk provinsi tersebut. Meski itu juga diusulkan bagi Aceh, Papua Barat
dengan moderat menerima tawaran tersebut dan merancang Undang-Undang Otonomi Khusus
yang mencerminkan kebutuhan dasar mereka. Skenarionya, bila dilaksanakan dengan
jujur oleh pemerintah Indonesia, RUU itu akan dipakai guna membangun
kepercayaan antara Jakarta dan penduduk provinsi paling timur di Indonesia itu.
Ia akan menjamin perwakilan Papua Barat di dalam suatu majelis tinggi, yakni
Majelis Rakyat Papua, dan mengabulkan kekuatan politik yang luas untuk
perwakilan dari kelompok adat, lembaga keagamaan, dan kelompok perempuan.
Setiap pembagian administratif Papua Barat akan dibahas MRP dan disahkan
parlemen provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Migrasi ke Papua Barat
akan dipandu, diawasi dan dikendalikan oleh pemerintah provinsi. Papua Barat
akan menerima pembagian pendapatan yang lebih besar dari semua sumberdaya alam
yang dieksplorasi (70 persen dari minyak dan gas, serta 80 persen dari
pertambangan). Akan ada saluran langsung dari keuntungan itu ke masyarakat di
kampung-kampung, dengan program yang ditujukan demi meningkatkan pelayanan
kesehatan, fasilitas pendidikan, dan infrastruktur selama periode 20 tahun.12
Singkatnya, hal itu kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah Indonesia untuk
menunjukkan kepercayaan dan memecahkan permasalahan.
Keterlibatan
wakil-wakil Papua Barat merupakan suatu penanda bahwa negosiasi antara pemerintah
pusat dan rakyat Papua Barat adalah mungkin. Namun dukungan publik Papua Barat
memudar saat mereka menyadari bahwa pemerintah Indonesia tak berniat membentuk
MRP sesuai rancangan semula. Peran penting majelis itu dikebiri dari
kemampuannya untuk membela hak-hak orang Papua. Namun peralihan kekuatan
politik untuk provinsi tersebut melalui paket Otsus yang diusulkan justru
dicemaskan oleh pemerintah Indonesia. Departemen Dalam Negeri di Jakarta
mengusulkan versi RUU yang lebih lunak secara politik dengan ditegaskan oleh
menteri Hari Sabarno bahwa hanya nilai-nilai budaya yang boleh diterima.
Pemerintah Indonesia menolak mengeksplorasi jalan tengah di mana solusi
kompromi, yakni bentuk-bentuk kemerdekaan terbatas, bisa diterima.
Rakyat Papua Barat
kecewa pelaksanaan Otsus akan terhambat oleh lemahnya wewenang legislator
provinsi. Mereka marah saat Presiden Megawati Sukarnoputri meneken keputusan
Presiden pada 27 Januari 2003, membentuk dua provinsi (Irian Jaya Barat dan
Irian Jaya Tengah), tiga kabupaten baru (Paniai, Mimika, dan Puncak Jaya), dan
sebuah kotamadya baru (Sorong). Ironisnya, publik Papua Barat diberitahu bahwa
keputusan presiden itu disebut ‘pemekaran’ administratif ketimbang apa yang
terjadi sesungguhnya — yakni yang dipandang secara sinis sebagai strategi
politik pecah-belah untuk membagi provinsi. Presiden Megawati mengumumkan
rencana pemisahan itu tanpa berkonsultasi dengan pemerintah provinsi maupun
masyarakat lokal. Itu merupakan pelanggaran atas pasal-pasal Otonomi Khusus
yang mewajibkan rencana seperti itu harus dibahas oleh MRP dan disetujui
parlemen provinsi. Keputusan itu dikeluarkan pemerintah Jakarta tanpa
mempertimbangkan keinginan rakyat, sehingga memperkuat kesan populer akan
itikad buruk pemerintah pusat. Saat itu Menteri Koordinator Politik dan
Keamanan dijabat Susilo Bambang Yudhoyono, yang kelak menggantikan Megawati
sebagai presiden. Agaknya dia tak berkonsultasi lebih dulu sebelum mengumumkan
pemisahan provinsi. Sesudah terpilih sebagai presiden pada Oktober 2004, dia berjanji
menerapkan Otonomi Khusus dan menegakkan solusi non-militer di Papua Barat.
Namun ada keraguan mutlak mengenai bagaiman tepatnya dia dapat menyerahkan
semua kekuatan militer Indonesia sebelumnya dan mengabaikan wewenang sipil.
Bulan berikutnya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan, menyatakan
keputusan semula yang membentuk provinsi baru Irian Jaya Barat merupakan
inkonstitusional. Kendati begitu provinsi itu tetap dibiarkan ada sejak ia
diputuskan.13 Ia juga menyebutkan UU Otonomi Khusus mulai berlaku
sejak provinsi dan kabupaten baru dirancang, dan karena itu tak ada
lembaga-lembaga negara yang harus dibatalkan. Bagi beberapa pengamat, itu
tampaknya contoh lain dari suatu manipulasi, yang kontradiksinya secara kentara
sebatas diselesaikan dengan mendeklarasikan bahwa mereka bagian dari garis
geografis yang menunjang slogan kebangsaan ‘Bhineka Tunggal Ika’.
Presiden Yudhoyono
menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi dengan membentuk MRP yang sekian lama
dijanjikan. Dia juga mengeluarkan instruksi untuk menjamin jumlah dana yang
dialokasikan bagi Papua Barat haruslah layak. Dia menyatakan tujuannya berfokus
pada infrastruktur, pemberantasan kemiskinan, layanan kesehatan, dan pendidikan
di bawah tema umum ‘pemberdayaan’. Sayangnya, desain ulang MRP lebih
ditempatkan fungsinya sebatas simbolis dan sangat berbeda dari peran lembaga
demokratis yang dibayangkan orang Papua Barat sendiri. Tak heran, sebagian
besar pemuka keagamaan di Papua Barat menolak keterlibatan MRP. Demonstrasi
besar terjadi di bawah kepemimpinan Dewan Adat Papua dan, pada unjuk rasa di
Jayapura, para demonstran memberikan sebuah peti mati bertuliskan ‘Otonomi
Khusus” pada parlemen. Selanjutnya, kendati undang-undang Otonomi Khusus
mengizinkan pengibaran bendera yang melambangkan identitas kultural Papua
Barat, dua orang Papua dihukum sepuluh dan limabelas tahun dengan dakwaan
makar. Konteks inilah yang harus dipahami pemerintah Australia dan oposisi
federal yang mendukung Otonomi Khusus. Selama sarana Otonomi Khusus hanyalah anekdot
yang dipaksakan Jakarta ketimbang suatu institusi demokratis yang sebenarnya,
dukungan Australia akan terus menutupi sesuatu yang sudah terang-benderang.
Sebuah tuntutan
pokok orang Papua Barat ialah ‘merdeka’, secara umum dipahami orang luar sebagai
negara merdeka. Namun ada sekurang-kurangnya pandangan yang menyatakan semua
rakyat Papua Barat tak selalu mendukung ide kemerdekaan langsung dan bahwa,
Banyak orang yang tinggal di daerah
terpencil tak tahu sama sekali apakah kemerdekaan itu diperlukan. Ada orang
Papua Barat berpandangan bahwa, jika wilayahnya diizinkan mengendalikan
keuntungan dari kekayaan minyak dan mineral yang amat luas, dan menjalankan
beberapa bentuk pemerintahan mandiri secara terbatas, dengan skala cukup besar
mengurangi kehadiran militer, orang akan merasa puas.14
Orang Indonesia
sekarang ini memahami ‘Papua merdeka’ sebagai kemerdekaan dari Indonesia. Tapi
bagi etnis Papua Barat, ‘merdeka’ mungkin saja mengandung sejumlah maksud,
termasuk konsep yang begitu kompleks ketimbang sekadar kemerdekaan. Satu
pengertian secara pasti terkait oleh apa yang digambarkan anthropolog Brigham
Golden sebagai teologi pembebasan Papua Barat — suatu ‘perang moral bagi
terciptanya perdamaian dan keadilan di muka bumi’. Anthropolog lain, S. Eben Kirksey,
berpendapat bahwa ‘merdeka’ dapat diartikan sistem pemerintahan baru
berdasarkan tata-kelola kewenangan adat (indigenous) yang semestinya
mampu dicapai tanpa memisahkan diri dari Indonesia. Dalam pemahaman itu,
‘merdeka’ dan kemerdekaan/ Otonomi Khusus mengandung pengertian yang satu sama
lain sangatlah tidak ekslusif.
Tentu saja, semua
ini membutuhkan itikad politik dari pihak pemerintah Indonesia. Ia menuntut
pemahaman akan apa yang dimaksud ‘merdeka’ bagi orang Papua Barat dan mampu
memenuhi aspirasi moral yang diwakilinya. Sebaliknya, jika pemerintah Indonesia
menilai ‘merdeka’ semata-mata sebagai ancaman “separatis” yang harus dibungkam,
itu akan memperburuk masalah dan membangkitkan lebih cepat “separatisme” yang
bertahun-tahun berusaha dihindarkan dengan susay payah oleh pihak Jakarta.
1Encyclopaedia
Britannica, 2006 (Edisi DVD). Batasnya telah dimodifikasi beberapa kali
sejak itu.
2 Sebuah
‘garis tak kasatmata yang tanpa ada sangkut-paut dengan apapun yang tampak di
permukaan tanah’, menurut Benedict Anderson, 1991, Imagined Communities,
Verso hal. 176.
3R.
Osborne 1985, Indonesia’s Secret War, Allen & Unwin, hal 8.
Osborne merupakan penulis yang mengenalkan dengan baik asal-mula konflik Papua.
Kepakarannya menancapkan integritas dan pengaruh yang sangat penting selama
bertahun-tahun.
4
Pemerintah Indonesia, 2003, Questioning the Unquestionable, http://www.indonesiamission-ny.org/issuebaru/Publications/papua/papua.PDF,
hal 25.
5 Pasal
XVIII (d), New York Agreement, 15 Agustus 1962.
6 P.J.
Drooglever 2005, Act of Free Choice: The Papuans of Western New Guinea and
the limitations of the right to self determination, http://tapol.gn.apc.org/reports/droogleverengsum.htm
(Buku Drooglever diterjemahkan oleh penerbit Kanisius, Tindakan Pihan
Bebas! : Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, 2010).
7 S.
Lekic 22 November 2001, Papua’s incorporation into Indonesia was a farce,
top UN officials say, Associated Press.
8 T. van
den Broek dan A. Szalay 2001, hal 86.
9 TAPOL,
12 Oktober 2001, Secret operation launched to undermine and destroy all
pro-independence activities, http://tapol.gn.apc.org/news/files/st011012wpsecret.htm
0 Harian
Sinar Indonesia Baru Online 30 Desember 2001, dikutip dari S.E. Kirksey 2002,
hal 58n.
11 J.
McBeth 26 April 2005, Questions over activist’s death in the air,
Straits Times.
12 A.
Sumule 2003, Mencari jalan tengah : otonomi khusus Provinsi Papua,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 7-42.
13 N.D.
Somba 25 July 2006, Bram Atururi, West Irian Jaya’s first governor,
Jakarta Post.
14 C.
Scott dan N. Tebay 2005, The West Papua Conflict and its consequences for the
Island of New Guinea, The Round Table, Vol 94 No 382.