1.
1. 1. Keselamatan Dalam Kaitan dengan Perjuangan Rakyat Papua
Rakyat
Papua sampai sekarang merindukan untuk hidup dalam damai dan terlepas dari
penderitaan dan penjajahan yang “mengurung jiwa mereka dalam kehampaan”. Orang
Papua merasa dirinya adalah manusia yang sama dengan manusia lain, yang harus
diperlakukan sama dengan yang lain. Mendapatkan dan menghargai mereka juga
sebagai manusia, yang memiliki kemampuan dan ketrampilan tertentu. Menghargai
hak azasi manusianya, jangan hanya menghargai material alam Papua tetapi tidak
menghargai kemanusiawian manusia Papua. Dalam bukunya Benny Giay mengatakan
bahwa keadilan bagi manusia Papua di Papua mesti ditegakkan dan merubah
tindakan pemerintah yang selama ini tidak beradab. Keadilandan kedamaian di
Papua mesti dibangun, karena itu adalah kerinduan rakyat Papua. Rakyat tidak
merindukan adanya tindakan kekerasan dan penindasan serta pembunuhan.
Analisis yang dikembangkan berkaitan dengan
penderitaan rakyat Papua adalah pemahaman tentang keselamatan. Bila melihat
kembali gerakan-gerakan keselamatan yang ada di Papua, orang Papua bergumul
tentang keselamatan nyata. Keselamatan dalam hidup harian. Keselamatan kini dan
di sini. Keselamatan itu berarti pemenuhan dalam setiap aspek kehidupan (sehat,
sukses, aman, dan sebagainya). Keselamatan berarti juga kealpaan akan hah-hal negatif
dalam segala aspek hidup (penderitaan, pembunuhan, kemiskinan). Pandangan hidup
baik (keselamatan) berorientasi pada komunitas. Komunitas yang dipahami adalah
kehidupan aman dalam suatu komunitas, entah klen atau suku. Pengalaman hidup
baik maupun jelek seseorang terkait dengan hidup baik atau buruk kelompok.
Maka, segala urusan perorangan di atur bersama komunitas, seperti perkawinan,
kematian, masalah-masalah tertentu, dan lain-lain.
Dalam
konteks di Papua sangat jelas bahwa keselamatan yang diperjuangkan masyarakat
Papua adalah hidup baik di dalam dunia. Orang Papua sampai kini masih menaruh
harapan bagi masyarakat merindukan situasi yang aman dan bebas darinya. Dr.
Benny Giay dalam bukunya menjelaskan bahwa selama orang Papua berada dalam
kesatuan dengan RI, masyarakat akan terus mengalami situasi-situasi kekerasan
dan penindasan seperti yang dijelaskan di atas. Namun, ketika orang Papua
Merdeka dari pangkuan Indonesia, di situlah orang Papua akan merasakan
mengalami keselamatan atau bebas dari penjajahan. Keselamatan yang dimaksud
adalah bebas dari penjajahan dan praktek-praktek tidak beradab yang selalu
diciptakan negara terhadap orang Papua. Keselamatan yang dimaksud juga adalah
orang Papua mengatur dirinya sendiri tanpa ada campurtangan negara lain
terhadap Orang Papua atau “Negara Papua”. Kalaupun penderitaan akan selalu ada
dalam kehidupan manusia (entah Papua merdeka atau tidak penderitaan selalu
ada), tetapi hal itu tidak menjadi persoalan bagi bangsa Papua, yang penting
sekarang adalah Papua harus mendapatkan pengakuan dan bebas dari negara
Indonesia. Maka, pemerintah mesti memperhatikan keinginan rakyat. Dialog
mestinya ditanggapi secara serius oleh pemerintah Indonesia, agar bisa membehas
berbagai persoalan yang selama ini terjadi di Papua. Hal ini penting demi
menghilangkan tuduhan-tuduhan palsu yang selama ini tercipta antara pemerintah
Indonesia dan masyarakat Papua untuk membangun kedamaian di tanah Papua.
Terhadap realitas umum ini, mengajak kita untuk merefleksikannya secara
teologis dalam kerangka penyelamatan Yesus dalam karya-Nya, terutama dalam
keberpihakannya dalam membela kaum tertindas demi penyelamatan.
2. Keberpihakan
Yesus Terhadap Martabat Manusia Sebagai Wujud Keselamatan
Situasi Papua
sejak diintegrasikan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), selalu
dinilai sebagai daerah yang selalu mengalami berbbagai macam konflik. Konflik
itu menyebar di segala lini kehidupan yakni; ekonomi, sosial, politik, budaya,
dan lain sebagainya. Situasi ini membuat jati diri orang Papua sebagai manusia
terancam. Orang Papua sering mengganggap dirinya ditindas oleh
kebijakan-kebijakan pemerintah atau Negara yang tidak memihak mereka. Situasi
ini membuat orang Papua ingin keluar dari kungkungan penindasan dengan
memperjuangkan harga diri dan martabat mereka sebagai manusia. Perjuangan ini
demi memenuhi kebutuhan dan harapan
bahwa hidup manusia harus terbebas dari penderitaan dan penindasan yang sedang
mereka alami.
Dalam kondisi
orang Papua yang penuh dengan konflik sosok Yesus lebih dipahami sebagai tokoh
Pembebas. Tokoh yang menginkarnasikan diri-Nya untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia sebagai manusia dari berbagai tindakan ketindakadilan dan
penindasan. Yesus yang disalibkan dipahami sebagai korban yang diadili dan
dihukum secara tidak adil. Salib Kristus dipahami sebagai tindakan Allah yang
solider dengan setiap orang yang tertindas. Kebangkitan Kristus dihayati
sebagai tanda pembebasan Allah yang masuk ke dalam dunia ini, yang mana kuasa
cinta-kasih Allah lebih kuat dari pada kematian dan kejahatan.[1]
Bagi orang-orang tertindas dan terjajah
sosok Yesus sebagai Pembebas lebih mengena dari pada sebagai Penguasa. Karena
dalam situasi sekarang kata “penguasa” dianggap sebagai kelompok struktural
yang bersikap korup dan penindas. Kristus selaku Pembela terhadap kemanusiaan
bersikap anti terhadap segala bentuk kekerasan. Kristus memilih menjadi
pembelah yang berkurban, dari pada pembela yang mengorbankan manusia. Maka
Kristus hadir untuk mengubah ketidakadilan menjadi struktur masyarakat yang
adil dan berperikemanusiaan.
Keberpihakan Allah
dalam diri Yesus terhadap kaum tertindas merupakan keberpihakan yang
menyelamatkan dan membebaskan mereka dari kungkungan penindasan di segala lini
kehidupan. Keberpihakan Yesus untuk menyelamatkan umat-Nya kini dan di sini
sebagai tindakan penyelamatan Allah yang universal atau milik semua
ciptaan-Nya, agar semua orang mengalami keselamatan kini, yakni terbebas dari
penindasan ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Allah memihak kaum
tertindas bukan karena mereka lebih suci, melainkan karena mereka mengalami
keterasingan dalam tindakan manusia yang kurang beradab. Keadaan demikian
dirubah Yesus menjadi keadaan yang benar-benar adil bagi manusia. Keadaan
ketimpangan sosial ini mengindikasikan bahwa ada jarak antara penindas dan yang
ditindas, seakan-akan ada sekat yang memisahkan mereka. Maka, keberpihakan
Yesus memiliki arti yang fundamental yaitu meniadakan jarak tersebut, sehingga
rasa keadilan, kesetaraan dan menjunjung kebersamaan harkat dan martabat akan
nampak dalam relasi sosial masyakat termasuk kehidupan beragama (bergereja).[2]
Dalam Injil Matius dikatakan
bahwa "…Aku berkata padamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan
untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini,kamu telah
melakukannya untuk Aku" Mat. 25:40. Ini berarti Allah memberikan suatu gambaran
bahwa keberpihakan bagi sesama manusia (kaum miskin dan lemah) sangat penting. Keberpihakan Yesus sebagaimana dinyatakan
dalam Injil Lukas 4:18-19 bahwa apa yang Ia akan lakukan untuk mewujudkan
tujuan dari pengutusan-Nya ke dalam dunia adalah pembebasan dan penyelamatan
bagi orang-orang tertindas. Jadi Yesus diutus bukan hanya untuk membebaskan
manusia dari kuasa dosa saja, melainkan juga untuk membebaskan orang-orang dari
penindasan dan keterbatasannya. Hal ini membuat Yesus menyatakan
keberpihakan-Nya dan perlawanan-Nya terhadap segala bentuk penindasan pada masa
itu yang dilakukan oleh penguasa Romawi bersama dengan para pemimpin bangsa
Israel. Jadi Yesus tidak hanya memberikan pelayanan karitatif pada orang-orang
miskin, melainkan yang terutama adalah keberpihakan dan perlawanan-Nya terhadap
berbagai bentuk penindasan yang berlaku di dalam masyarakat pada masa itu.[3]
Perwujudan
konkret dan historis dari apa yang dimaksudkan Yesus adalah perubahan yang
membebaskan dalam situasi konkret yang sedang dihadapi manusia. Mukjizat Yesus
harus dipahami dari sebuah perspektif yang maknanya tidak terletak dalam unsur
keajaibannya, tetapi dalam hal bahwa perbuatan itu merupakan tanda
beroperasinya Kerajaan Allah (bdk. Luk 1:20). Dengan sikap dan tindakkan-Nya,
Yesus menampilkan wujud konkret Kerajaan Allah dan mengejawantahkan cinta Bapa.
Jikalau Dia sangat dekat dengan mereka yang disisihkan, maka Ia melakukan itu
bukan karena rasa kemanusiaan semata, melainkan karena Cinta Bapa terhadap kaum
kecil dan pendosa yang menjelma dalam sejarah. Yesus tampil bukan sebagai
seorang asket sebagaimana orang Eseni atau sebagai penjaga tradisi seperti
orang Farisi, melainkan sebagai pembebas. Tindakan Yesus memang bergerak dalam
lingkungan religius, namun karena faktor religius merupakan satu pilar utama
dalam kekuasaan politis, maka setiap campur tangan dalam bidang agama mempunyai
dampak dalam bidang politik, yakni terutama terhadap mereka yang mengalami
penindasan dalam segala segi kehidupan. Yesus tampil untuk memerdekakan mereka dari
situasi marginalisasi dan penindasan di segala segi kehidupan, baik dari segi
ekonomi, social, budaya, politik, agama, hukum dan sebagainya.
Berhadapan
dengan agama, hukum, dan tradisi, tindakan Yesus bukan bersifat reformatif
melainkan liberatif. Yesus memandang manusia lebih penting dari sabat dan
tradisi (bdk. Mrk 2:23.26). Perkataan dan perbuatan Yesus mengandaikan Allah
baru dan jalan baru kepada-Nya. Allah sumber kebaikan yang tak terbatas, yang
mencintai mereka yang jahat (bdk. Luk 6:35), mendekati orang dalam sikap
“rahmat”, melampaui apa yang tertulis di dalam dan dituntut oleh Taurat. Allah
harus dipahami dengan bertolak dari masa depan, dari Kerajaan, sebagai
pembebasan yang menyeluruh dari mekanisme yang tidak adil di masa lampau
sebagai kepenuhan hidup yang tak pernah dialami sebelumnya.[4]
Karya
Yesus yang membebaskan terlihat jelas dalam hubungan sosial-Nya. Dapat
dibayangkan masyarakat zaman Yesus tersusun dalam kelas-kelas secara ketat,
sehingga kelas atas menindas kelas bawah. Situasi demikian membuat keadilan
menjadi jantung dari pewartaan Yesus. Dia menyebut kaum miskin yang berbahagia,
bukan karena kemiskinan merupakan produk relasi tak adil. Kerajaan Allah
terutama bertugas untuk menciptakan keadilan dan melindungi hak kaum lemah
(bdk. Luk 16:9). Dia melaksanakan teori yang menyatakan bahwa efektivitas dan
validitas kekuasaan, model itu terletak dalam perannya sebagai perantara kepada
Allah. Dampak praksis Yesus terlihat dalam bentuk solidaritas yang mengatasi
perbedaan kelas, terutama Dia berupaya sekuat tenaga untuk membela hak kaum
kecil, orang sakit, mereka yang menjadi sampah masyarakat dan kaum miskin.
Yesus datang bukan hanya untuk memberikan hiburan sesaat yang membuat
orang-orang miskin dan menderita untuk sesaat lupa akan kesusahan hidup mereka.
Yesus datang untuk membebaskan mereka dari kesusahan hidup mereka. Apa yang
Yesus lakukan itulah yang harus kita lakukan juga saat ini.
Yesus
hadir untuk melawan segala kebencian dan menyatakan belas kasih dan
pengampunan. Hal ini bertolak dari kenyataan bahwa Dia memiliki kepekaan untuk
menangkap realitas sejarah bahwa selalu ada stuktur dominasi, namun hal itu
tidak boleh mengurangi semangat dan menggoda kita untuk mempraktekkan
pendekatan dominasi yang sama. Karya Yesus sebagai pengejawantahan Kerajaan
Eskatologis di dalam sejarah, maka Yesus berjuang agar setiap orang meraih
keselamatan kekal.[5]
3. Kebijakan
Pastoral: Membangun Kedamaian Bersama Di Papua
Sesuai
dengan realitas di Papua dan keberpihakan Yesus terhadap kaum tertindas yang
sudah dijelaskan di atas. Makah hal paling fundamental yang diperjuangkan
sebenarnya adalah membangun kedamaian dan keselamatan. Yesus mengingkarnasi
diri-Nya untuk menciptakan situasi damai di bumi dan supaya mempunyai harapan
akan keselamatan kelak di akhirat. Berkaitan dengan itu, maka hal yang menjadi
azas kebijakan pastoral yang mau ditampilkan adalah perdamaian. Perdamaian
melalui sikap hormat pada martabat manusia. Setiap manusia harus dilihat
sebagai yang bermartabat, maka harus saling menghormati dan menghargai.
Argumen-argumen
Paus Yohanes XXIII menekankan bahwa Allah adalah dasar tatanan moral. Baginya,
masyarakat yang mendambakan kedamaian harus menjunjung tinggi dan menghormati
manusia. Gereja di Papua harus melaksanakan sikap humanisme terhadap mereka
yang mengalami berbagai persoalan. Agar setiap orang yang berada di Papua
mengalami suatu hudup baru atau tercipta hubungan antarmanusia, hubungan
antarkomunitas-komunitas politik, hubungan antaragama dan lainnya dalam damai.
Paus
menegakkan bahwa perdamaian memiliki berbagai dimensi, dari hubungan individu
hingga hubungan internasional.[6]
Oleh karena itu, dalam kehidupan setiap manusia tidak terlepas dari hubungan
eksistensial. Setiap manusia yang mendiami bumi mesti saling menjaga dan
membangun kehidupan damai, karena kedamaian adalah dambaan kita bersama. Paus
juga menekankan perdamaian merupakan suatu tatanan yang ditentukan dalam masyarakat
secara universal dalam empat prinsip fundamental, yakni kebenaran, keadilan,
cintakasih dan kebebasan.[7]
Dalam keempat prinsip inilah setiap manusia mesti membangun dan menegakkan
perdamaian, karena tanpa ditegakkannya keempat prinsip ini perdamaian tidak
akan tercipta dan malah menimbulkan perbagai macam konflik baru. Kebenaran,
keadilan, cintakasih dan kebebasan mesti ditegakkan dalam kondisi masyarakat
yang tidak aman dan damai. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kerinduan
untuk damai, tetapi hanya karena keempat prinsip ini diabaikan dan tidak
ditegakkan serta tidak ada kemauan yang mendasar untuk menciptakan keadaan
damai. Maka seringkali keadaan ketidakdamaian menjadi berkuasa dalam kehidupan
manusia.
Perdamaian diciptakan demi
menghormati hak-hak azasi manusia, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk
yang berasal dari Sang Damai (Allah). Pandangan tentang hak-hak azasi manusia
dapat dilihat dalam Pacem in Terris art. 9, 11, 12 dan 27 seperti; hak
menyangkut nilai-nilai moral dan kultural, hak-hak religius, hak hidup keluarga
(hak orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, kesamaan antara laki-laki dan
perempuan), hak ekonomis (hak untuk bekerja, hak atas kondisi kerja yang
manusiawi, hak untuk berpartisipasi dalam managemen), hak politik, dan hak atas
kemerdekaan bergerak dan migrasi. Maka, perlu untuk saling menghormati dan
menghargai sesama manusia sebagai manusia.
Kedua, Empat Prinsip Perdamaian Bagi Umat manusia yang harus
diterapkan dalam masyarakat yang mengalami penindasan dan kekerasan hidup. Di tengah
gejolak yang melanda dunia ini, manusia cenderung bersikap skeptis,
bahwa ‘Perdamaian tidak dapat dicapai.’ Benarkah demikian? Ensiklik Pacem
in Terris berbicara kepada semua orang bahwa kita semua menjadi bagian
dari keluarga manusia dan memancarkan terang atas kehendak bersama
bangsa-bangsa di manapun mereka berada untuk hidup aman, adil, dan memiliki
harapan di masa yang akan datang. Ensiklik ini memberi harapan akan terwujudnya
suatu tatanan hidup antar manusia. Dalam Ensiklik itu, ditemukan empat prinsip
hakiki yang menjadi syarat perdamaian, yakni; kebenaran, keadilan,
cinta kasih, dan kemerdekaan.[8]
·
Kebenaran akan membangun
perdamaian apabila setiap orang secara tulus mengakui bukan hanya haknya
sendiri tetapi juga kewajibannya terhadap sesama manusia. Tugas manusia bukan
saja mencari kebenaran tetapi juga menanamkan kebenaran itu kepada orang lain.
Kebenaran yang dimaksud bukan sekedar slogan atau teori semata tentang
kebenaran, melainkan kebenaran yang dihayati sendiri, yang dijiwai dan yang
diaktualkan dalam kesehariannya. Kebenaran itu tidak lain adalah Allah sendiri.
Menghayati kebenaran berarti menghayati hidup Allah sendiri.
·
Keadilan akan membangun
perdamaian, jika di dalam pelaksanaannya setiap orang menghormati hak orang
lain dan benar-benar melaksanakan tugas yang ditentukan bagi mereka. Dengan
menghormati hak orang lain berarti, manusia mengakui keberadaan sesamanya.
Keberadaannya sebagai makhluk yang memiliki hak dan martabat sebagai ciptaan
Tuhan.
·
Cinta kasih akan
membangun perdamaian, apabila orang-orang merasakan bahwa kebutuhan orang lain
sebagai kebutuhannya sendiri dan membagikan hartanya kepada sesama, terutama
nilai-nilai akal budi dan semangat yang mereka miliki. Cintakasih dalam ajaran
kristiani menduduki tempat utama. Cintakasih menyangkut segala-galanya. Dengan
membagikan segala apa yang ada pada kita, berarti kita membangun suatu dunia
yang penuh damai. Membagi cintakasih berarti membagi perdamaian.
·
Kemerdekaan akan
membangun perdamaian dan membuatnya berkembang, jikalau di dalam memilih sarana
untuk tujuan itu, orang-orang bertindak sesuai dengan akal dan bertanggungjawab
akan tindakannya sendiri. Kemerdekaan tidak berarti manusia bebas melakukan
sesuatu tanpa dibatasi. Kemerdekaan yang sejati justeru merupakan suatu
tindakan yang didasarkan pada kemampuan manusia untuk bertanggungjawab atas
segala tindakannya. Yang dimaksudkan disini adalah tindakan bukan hanya sekedar
tindakan saja, melainkan tindakan benar yang menghasilkan suatu perdamaian.
Dari empat hal tersebut di atas,
dapatlah disimpulkan bahwa perdamaian di samping sebagai milik manusia sebagai
sesuatu yang berasal dari kodratnya, juga berarti bahwa perdamaian merupakan
suatu keaktifan manusia karena perdamaian merupakan karya manusia sendiri.
Untuk tercapainya suatu perdamaian, diperlukan peran serta manusia di dalamnya.
Peran serta itu tidak lain daripada mengaktifkan segala kemampuan jiwanya,
yaitu hidup dalam kebenaran, berlaku adil, mengamalkan cinta kasih, dan
menciptakan kemerdekaan.
Daftar
Pustaka
Boff, Leonardo Yesus Kristus Pembebas, terj. Aleksius
Armanjaya, dkk. Ende: ARNOLDUS, 2000.
http://tounusa.wordpress.com/2010/03/08/keberpihakan-tuhan-kepada-orang-miskin-oleh-maryo-lawalata-s-si/ (Rabu, 14 Maret
20012)
http://samartasin.multiply.com/journal/item/3?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem (Rabu, 14 Maret
2012)
http://gerejafransiskus.com/news/2010/01/yesus-kristus-sang-pembebas/ (Jumat, 16
Maret 2012)
Kristiyanto, Dr. Eddy OFM. Diskursus Sosial Gereja, Malang: Dioma,
2006.
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."