Ilustrasi, aksi demo penegakan HAM di Papua – Muye/Jubi-Dok |
Oleh: Erik
Yepmum Bitdana
Pelanggaran
HAM merupakan salah satu karakteristik dari konflik yang mengancam dimensi
terdalam hidup manusia zaman ini. Konflik berdimensi manusia ini selalu hidup
dan berkembang seiring perkembangan zaman yang mengancam, sekaligus membuka
peluang bela rasa di sisi lain walau perbedaan antarsesama selalu ada. Konflik
atas hak-hak asasi manusia juga menjadi salah satu karakteristik kehidupan
manusia dari zaman purba hingga era globalisasi.
Praksisnya
konflik ini masih kita alami dan terus tumbuh di tengah-tengah kehidupan
sosial, di semua zaman, negara, sistem sosial, dan di semua bidang kehidupan
manusia. Maka tidak heran konflik berdimensi manusia ini terus mengancam
tatanan hidup bernegara di Indonesia. Jika menoleh ke belakang, konteks sejarah
kita bangsa Indonesia pun penuh dengan beragama konflik dengan sebutan Orde
Lama (melawan penjajah), Orde Baru, pascareformasi dari otokratis ke demokrasi,
dan berbagai tindakan ketidakadilan yang kian terjadi di hampir seluruh tanah
air Indonesia, khususnya di Papua.
Fenomena
konflik tentang HAM di Papua ini selalu menjadi bagian hidup yang tidak
terlepas dari perjuangan hidup kebebasan, keadilan, kesejahteraan, dan
kedamaian yang selama ini tidak menjadi bagian dari hidupnya, baik secara jasmaniah,
maupun rohaniah demi membebaskan jiwa manusia kulit hitam, rambut talingkar
bagaikan lilitan konflik yang mengancam keberadaanya di tanah Papua dan
Indoensia umumnya.
Tentu
konflik berdimensi manusia ini tidak turun dari langit begitu saja, melainkan
diciptakan oleh manusia itu sendiri yang bertumbuh dan berkembang sejak
historisasi integrasi Papua ke dalam NKRI. Historisasi inilah yang menjadi
dasar konflik yang sering disebut aneksasi atas hak penentuan nasib sendiri
bagi bangsa West Papua pada 1963 dan saat itu pun terjadi pelanggaran HAM
diciptakan. Dikatakan pelanggaran HAM karena hak penentuan nasib sendiri
sebagai manusia Papua dimanipulasi oleh tentara Indonesia untuk dijadikan
sebagai bagian dari warga Negara Indonesia secara paksa. Maka sampai detik ini
Papua menjadi bagian dari Indonesia. Akhirnya sejarah ini menjadi awal
perjuangan HAM sebagai orang Papua terus diperjuangkan dengan alasan dasariah,
yakni menjunjung tinggi nilai-nilai manusia.
Atas dasar
perspektif inilah ajaran gereja dan hukum internasional hadir membela dan
memperjuangkan nilai kemanusiaan yang memilki hak dan martabat yang lebih
tinggi, sehingga harus dilindungi dan diberi kebebasan untuk hidup sebagai
manusia merdeka secara integral. Oleh karena itu, pengalaman sejarah ini
menjadi alasan dasar untuk diangkat sebagai masalah aktual sekaligus fundamen
dalam segala bentuk konflik di tanah Papua. Dengan beberapa alasan mendasar
seperti memperjuangkan nilai pribadi sebagai orang Papua yang sering tidak
dihargai dan dihormati sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Orang Papua
mendambakan perdamaian dan mendapat pengakuan, serta perlindungan dari hukum
sipil secara nasional, maupun internasional yang adil sebagai warga dunia yang
patut dihormati dalam wadah “Bhineka Tunggal Ikha”. Dan memberikan haknya dalam
segala bidang hidup yang selama ini terbungkus dalam perbedaan agama,
rasialitas dan beragam konflik sosial lainnya di seluruh Nusantara ini secara
politis (kemerdekaan).
Berdasarkan
alasan dasariah manusia inilah penulis mencoba merefleksikan situasi maraknya
pelanggaran HAM di Papua pada era 1963-2020. Dalam situasi ini, banyak umat
Allah yang sering mengeluh dan bertanya, suara Gereja dimana atau mengapa
gereja diam, mengapa PBB tidak menghiraukan pelanggaran HAM di Indonesia-Papua?
Penulis
mencoba merespons semua pertanyaan ini dalam bentuk refleksi dengan alasan
mendasar HAM dari pandangan Ajaran Sosial Gereja (ASG) dan kontribusi gereja
lokal Papua yang hendak mengangkat harkat dan martabat orang Papua sebagai
manusia makhluk ciptaan Tuhan, yang perlu dijaga, dilindungi dan dihormati
secara hukum internasional maupun agama.
Di tengah
konflik inilah Gereja Katolik, dalam diri Pastor Dr.Neles Kebadabi Tebay, hadir
membuka “dialog” suara kenabiannya atas dasar cinta kasih dengan mengajak pihak
pro perjuangan kebebasan, maupun pihak NKRI harga mati, untuk duduk bersama
sebagai satu keluarga Allah hendak men-sharing-kan bersama semua pengalaman
pahit-manis, suka-duka orang Papua dan orang Indoensia. Dengan demikian, nilai
kemanusiaan dijunjung tinggi, keadilan ditegakkan, perdamaian dicptakan dan
kesejahteraan dinikmati oleh setiap pribadi manusia di atas tanah dan bangsa
ini. Walau demikian, pelanggaran dan konflik terus bertambah dengan menelan
korban jiwa. Hal ini nyata sudah, sedang dan akan terjadi di tanah air ini
dengan terus devensif terhadap pihak pro maupun kontra.
Selayang
pandang pelangaran HAM di Papua
Tanah Papua
saat ini mengalami beragam konflik, baik secara horizontal, maupun vertikal
yang mengancam seluruh eksistensi hidup orang Papua. Dengan terciptanya beragam
konflik seperti kerusuhan dimana-mana, pertikaian, dan pembunuhan tak
henti-hentinya oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab menjadi dalang bagi
suburnya muncul beragam konflik baru.
Di Tanah
Papua kita sering mendengar, menyaksikan, dan mengalami pelbagai tindakan
ketidakadilan yang membuat hati sedih dan merasa tidak aman dalam menghadapi
situasi yang demikian. Seperti halnya kerusuhan di Wamena (Kompas, 24 September
2019), beragam rentetan demostrasi hampir di seluruh Tanah Papua sepanjang
Agustus pasca rasisme di kota Surabaya, Jwa Tengah, dan sekitarnya (Kompas 20
Agustus 2019), korban demonstrasi di Deiyai 28 Agustus 2019 dengan 17 orang,
kekerasan fisik dan lainya meninggal dunia, Fakfak dan Timika, serta sedang
terjadi pengungsian besar-besaran di Nduga dan sekitarnya menjadi daerah
konflik yang menelan korban jiwa maupun material. Tidak hanya itu, konflik
bersenjata semakin memanas di Intan Jaya, Puncak Jaya, Timika dan sekitarnya
menjadi ladang update news.
Tak
terpungkiri, beragam pendekatan pun terus menjalar bagai jamur yang tumbuh dan
berakar seakan seperti benalu pohon. Pelanggaran ini terus diiringi dengan
perjuangan nasionalisme Papua merdeka dan Indonesia harga mati melalui konflik
bersenjata, pembunuhan gelap, penculikan, pemerkosaan, anarkistis, rasialis,
separatis, dan beragam tuduhan lainnya melalui pendekatan militer, menciptakan
konflik vertikal antarormas, bahkan negara sendiri yang tersistematis organisir
hingga menjalar dalam tubuh gereja pun semakin sengit tersusun rapi.
Tentu hal
ini secara tidak langsung sangat mengganggu semua aktivitas dalam kelangsungan
hidup sebagai manusia personal, kelompok, keluarga, lingkungan sekolah, agama,
dan pemerintah bahkan masyarakat umum dalam menjalankan kelangsungan hidupnya.
Sampai detik ini, orang Papua tidak mengalami, menikmati dan memiliki
nilai-nilai hidup seperti; keadilan, kebebasan, cinta kasih, persaudaraan dan
peri kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh setiap kita maupun di Dewan HAM di
PBB seakan organisasi belaka. Pada hal deklarasi PBB menjadi harapan terbesar.
Deklarasi
Piagam PBB tentang HAM
Pengakuan
terhadap harkat dan martabat asali manusia adalah bagian integral sebagai
anggota keluarga, agama, komunitas negara dan bangsa, dengan memberikan hak dan
bagiannya tanpa monopoli, dengan memberikan kebebasan untuk mengekspresikan
diri sebagai makhluk berakal budi, memberi rasa keadilan sebagai manusia yang
sama hakikat dengan manusia lain dan menjamin kebebasan, keadilan dan
perdamaian. Hal ini berlaku bagi setiap insan manusia tanpa perbedaan
pria-wanita, kecil-besar, putih-hitam, keriting-lurus, negara, bangsa, benua
dan beragam perbedaan lainya. Oleh karena itu, deklarasi universal tentang HAM
telah mengesahkan undang-undang demi terjaminnya perdamaian dunia yang berlaku
secara internasional di wilayah kekuasannya, termasuk Indonesia.
Dengan
rumusan ini, hendak (kita) memberi gambaran yang komprehensip tentang
pentingnya menghormati, menghargai dan melindungi manusia sejak awal
pembentukan dalam kandungan, dilahirkan sampai dengan saat mengakhiri ajalnya.
Maka hukum ini pun berlaku bagi manusia Papua sebagai bagian integral dari
Indonesia, sebagai bagian dari anggota PBB.
Hukum
undang-undang PBB memberi gambaran akan jaminan perlindungan HAM dari sejak
kelahiran-kematian yang seluruhnya berisi 30 pasal dan 10 dekrit. Pasal (1)
menjamin kelahiran manusia yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia
yang harus dilindungi, (2) menjamin hak dan kebebasan tanpa perkecualian apa
pun (asal-usul, jenis kelamin, agama, relasi, bahasa, kebangsaan maupun
rasialitas) lainnya. Semuanya mengatur tentang jaminan seluruh HAM. Oleh karena
itu, berdasarkan deklarasi hak asasi manusia dengan nilai harkat dan
martabatnya sebagai manusia maka tidaklah salah jika manusia Papua dengan
segalah keberadaanya tergerak untuk mencari kebebasan sebagai hakekat dirinya
sebagai manusia demi hak asasi manusia dan kebebasannya.
Oleh karena
itu sebetulnya HAM bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat orang Papua,
bahkan seluruh mahkluk ciptaan Tuhan termasuk sumber daya alam dan kekayaan
lain yang menjadi hak milik orang Papua, sehingga tidak dibenarkan jika hak
hidup orang Papua dirampas dan dihabisi dengan cara yang tidak manusawi.
Kebebasan memberikan pendapat dibatasi dan hak milik sumber daya alam dikeruk,
tidak menjamin kenyamanan hidup, segala pergerakan diintai dan hak memenuhi
kebutuhan hidup primer diracuni. Tentu hal ini menyebabkan kebencian rakyat
Papua terhadap pemerintah dan seluruh kekuatan negara yang berujung pada korban
nyawa. Maka kebebasan menjadikan orang menjadi dirinya sendiri tanpa dipaksa.
Dengan
kebebasan inilah telah lahir persamaan hak di segala bidang hidup seperti;
persamaan di bidang sosial, politik, hukum, ekonomi, budaya. Jhon Locke, ahli
filsafat Inggris dalam bukunya Two Treatises Of Goverment (1690) mengemukakan,
setiap orang memiliki hak yang dibawa sejak lahir yaitu hak hidup (life), hak
akan kebebasan (liberty) dan hak milik (property). Dibuktikan dalam deklarasi
kemerdekaan Amerika Serikat pada 1776 yakni “Semua Orang Mendapat Kemurahan
Tuhan untuk Hidup, Bebas dan Mengejar Kebahagiaan” yang seperti halnya
dirumuskan dalam bentuk HAM (Universal Declaration of Human Right, 10 December
1948).
Atas dasar
inilah, gereja pun hadir menunaikan tugasnya sebagai pewarta kabar gembira dan
memainkan peran sentral dalam hidup manusia, sehingga wajar, gereja hadir
membela umat yang tertindas, teraniaya, miskin dan tak memiliki kemampuan. Maka
tepatlah jika dikatakan “suara Gereja adalah suara kaum miskin”. Secara konkret
gereja hadir dan bersuara di tengah hiruk-pikuk pelanggaran dan maraknya
konflik di tanah Papua, yakni melalui dialog.
Gereja dan
dialog: Suara kenabian gereja lokal di Tanah Papua
Pemahaman
tentang HAM dan ASG menegaskan “karena semua manusia mempunyai jiwa berbudi dan
diciptakan menurut citra Allah, karena manusia mempunyai kodrat dan asal,
karena penebusan Kristus mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama bagi
manusia, maka kesamaan asasi antarmanusia harus senantiasa diakui (GS 29)”.
Ajaran
Sosial Gereja ini tentu mengandung makna bahwa setiap manusia di dunia ini,
termasuk orang Papua yang merasa ditindas, dintimidasi, diteror dan digenosida
dengan berbagai macam (tindakan) non-humanis lainnya perlu diberi hak istimewa
dan menghormati kehidupannya sebagai manusia tanpa meniadakan satu iota (titik)
pun. Karena manusia sebagai insan ciptaan Allah diajak utnuk saling
menghormati, melindungi antara satu dengan yang lain sebagai individu mulia,
dengan mengaplikasikannya dalam hukum cinta kasih.
Hukum cinta
kasih menjadi landasan pembelaan atas HAM karena dialah satu-satunya hukum
Tuhan yang mampu menembus sekat-sekat perbedaan, menerobos tembok pemisah
antara pandangan negatif maupun positif antaramanusia satu dengan manusia
lainnya. Hukum cinta kasih sendiri memperlihatkan keprihatinan Allah atas
ketidakadilan, kelalaian dan dosa manusia di muka bumi ini di antara sesama
yang berkonflik. Maka Allah sendiri sebagai Kasih tentu memiliki rencana dan
misi-Nya untuk manusia. Allah sebagai Kasih bertindak hendak menyelamatkan
manusia yang Ia kasihi melalui orang-orang pilihan-Nya. Berdasar pada kasih
inilah Sang Kebadabi Pastor Dr.Neles Kebadaby Tebay tergerak hatinya untuk
bersuara sebagai nabi, imam dan raja di tengah hiruk-pikuk konflik di atas
tanah Papua ini melalui jalan perdamaian without non violence.
Pater Neles,
menyadari dirinya sebagai Sang Pembuka Jalan (Kebadaby) dan menghayati
panggilan Tuhan sebagai imam, nabi dan raja dengan keprihatinannya terhadap
kemanusiaan di tanah Papua. Sebagai putra asli Papua, kondisi ini menjadi
pendorong untuk membuka suara “kasih” hendak menegakkan hukum cinta kasih Tuhan
di atas Tanah Papua sebagai jalan kebenaran dan hidup tanpa adanya korban
pertumpahan darah.
Oleh karena
itulah, dialog hadir sebagai jembatan dan jalan satu-satunya menuju harapan
keselamatan manusia, karena di sana ada pengampunan, perdamaian, sukacita, dan
keadilan antara kedua harga (NKRI harga mati dan Papua merdeka harga mati) yang
sudah mati. Artinya, gagasan atau nasionalisme dari kedua pandangan tersebut
berkonotasi negatif yang hendak mempertahankan kebenaran pribadi, dengan
mengorbankan yang lain tanpa mempertimbangan nilai dan harkat manusia.
Dialog hadir
menegakkan cinta kasih (caritas) yang dimaksudkan adalah kasih sosial atau
kasih politik. Karena kasih politik sosial ini dimaksudkan untuk menjadikan masyarakat
menjadi lebih manusiawi dengan kasih terus menjiwai dinamika relasi
antarpribadi, warga masyarakat dan antarnegara. Berkaitan dengan gagasan dialog
(kasih) maka gagasan Cicero sangat tepat dengan konteks kita di Indonesia-Papua
yakni “Mengalahkan manusia dengan budi baik dan kasih (Benevolentia Devincere
Homines et Caritate) dan satu tanah air merangkul semua cinta kasih warganya.
Maksudnya bahwa kasih sebagai perekat kebersamaan antarwarga, antar perbedaan
pendapat, suku, ras dan budaya yang melahirkan nilai-nilai, kebenaran,
kebebasan, dan keadilan. Oleh karenanya tidak dibenarkan adanya diskriminasi
rasial, hukum, HAM, golongan sosial, agama, budaya dan segala macam lainnya
yang mengancam kekudusan martabat manusia Papua di atas tanah kelahirannya
sendiri secara terang-terangan, maupun diskriminasi secara sistematisasi
pemerintahan di erah otonomi khusus di tanah Papua yang keliru.
Tidak benar
pula, jika segala macam perbedaan sosial menjadi ukuran untuk membedakan,
bahkan meniadakn manusia Papua sebagai tumbal yang nilainya dengan hewani
dengan segala macam bentuk intimidasi dan rasial. Oleh karena dasar inilah
gereja berhak bersuara untuk mendesak dihapuskanya dari setiap bentuk
diskriminasi yang bersifat warna kulit, suku, agama, bahasa, keadaan sosial,
dan lainya yang rentan berlawanan dengan maksud dan kehendak Allah yang adalah
Bapa pencipta, penyelamat dan pembaharu hidup manusia.
Maka itu
tidak heran, Apabila dari pihak gereja memberi perhatian yang sangat besar
terhadap eksistensi manusia dengan mengeluarkan berbagai ensiklik seperti;
Mater Et Magistra dan Pacem in Terris yang merumuskan hak-hak asasi. Kemudian
konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes berulang kali berbicara mengenai HAM
dan panitia kepausan “Justitia et Pax” tentang gereja dan HAM dengan berbagai
ensiklik terus mengalir untuk melindungi dan memperjuangkan nasib, harkat dan
hakekat manusia yang luhur mulia di dunia ini, secara khusus orang Papua yang
ditindas dengan berbagai kepentingan dunia.
Dengan
berangkat dari pengalaman situasi di Papua yang semakin marak dengan beragam
konflik yang berujung pada korban nyawa tentu bagi saya adalah suatu tindakan
kebiadaban yang mesti dilawan dengan senjata lain, yakni menegakkan keadilan,
menjunjung tinggi hak-hak dasar sebagai manusia untuk hidup bebas dan
berserikat. Ingatan akan sejarah pembebasan bangsa Israel dalam perbudakan
tangan besi di Mesir yang penuh dengan penindasan dan hilangnya harapan hidup
sebagai bangsa pilihan Allah lalu Allah mendengar seluruh tangisan dan teriakan
bangsa Israel sampai di telingah Allah dan Allah mengabulkanya dengan memilih
Musa dan Harun sebagai tongkat menuju kebebasan (Ul 26: 5-9).
Prinsip
dasarnya bahwa dialog Jakarta –Papua diharapkan menjadi kesempatan untuk
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, secara bernartabat tanpa
merugikan salah satu pihak. Singkatnya dialog membuat hidup bersama dalam ruang
publik Indonesia menjadi indah dan memesona. Tiada kasih tanpa pengampunan dan
tiada pengampunan tanpa kasih, menghormati dan melindungi serta membelah hak,
harkat dan martabat manusia adalah tugas dan tanggung jawab yang diembankan
pada diri kita secara personal, kelompok, masyarakat, negara dan dunia hingga
disempurnakan oleh yang Maha Sempurna. Inilah cita-cita sekaligus tujuan hidup
manusia di dunia ini. (*)
Penulis
adalah mahasiswa dan anggota Kebadabi Voice Group di STFT Fajar Timur Abepura,
Papua
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."