RESPEK dan PERSOALAN EKONOMI MASYARAKAT KAMPUNG DI PAPUA (Refleksi Pastoral atas penyalahgunaan dana Respek)

Respek Kebijakan yang lumpuh/Mama-Mama Papua Jualan 


Honaratus Pigai

1. Pengantar

Respek (Rencana Strategi Pengembangan Kampung) dan PNPM (Program nasional Pemberdayaan Masyarakat) merupakan sebuah program yang dikeluarkan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Program yang memiliki visi yang baik, demi pemberdayaan masyarakat di kampung-kampung. Dalam pernyataannya Gubernur pernah mengemukakan bahwa masyarakat kampung akan memperoleh bantuan pembangunan sampai “dunia kiamat”.
Dari beberapa daerah seperti warga Asmat meragukan ungkapan ini, mereka mengatakan ungapan itu hanyalah sebatas di mulut atau bahasa politis. Hal ini, rupanya bisa dikaji lebih mendalam, dengan pertanyaan bagaimana mungkin suatu program dapat berlaku hingga akhir zaman?
Dari pertanyaan itu muncul dua jawaban yang berbeda. pertama, program Respek bisa berlaku sampai “dunia kiamat”. (1) Karena dengan ungkapan itu secara tidak langsung mau mengatakan bahwa Barnabas Suebu, mau menjadi Gubernur sampai “dunia kiamat”. Maksud dunia kiaman mungkin sampai Bas meninggal dunia, atau ketika masih hidup dunia ini kiamat. (2) karena kalau para pengganti-penggantinya yang menduduki jabatan Gubernur melanjutkan program respek tanpa merubahnya. (3) para penggantinya bisa merubahnya, tetapi dalam visi yang sama yakni memberdayakan masyarakat kampung. Kedua, tidak bisa berlaku sampai “dunia kiamat”. (1) karena manusia antara satu dengan yang lain berbeda. tidak semua manusia memiliki pemahan yang sama atas objek tertentu. Objek itu bisa dilihat dari berbagai macam perspektif, sehingga program respek bukan hal yang mutlak. (2) Karena konteks masyarakat bukanlah statis, tetapi dinamis. Sehingga program yang direncanakan pun harus sesuai konteks, karena kalau tidak diberlakukan sesuai konteks masyarakat, maka program itu mati.
Dalam hal respek banyak penulis opini, artikel, berita dan akademisi selalu mengomentasi sisi baik dan buruknya pemberlakuan respek. Dalam tulisan ini, saya menulis dari sisi sebab-sebab dan perlu penanganan dan control yang intensif atas program ini. Pada bagian berikut saya focus melihat bagaimana pastoral yang cocok terhadap situasi pemberlakuan Respek di Papua, secara umum di masing-masing keuskupan dan khususnya di paroki masing-masing. Akhirnya tulisan ini diakhiri dengan penutup.

2. Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan

Pemerintah menekankan pada pembangunan berbasis kampung (Respek). Dalam program ini pemerintah provinsi menekankan pada tiga isu penting dalam pembangunan, yaitu keberpihakan, pemberdayaan dan kemandirian. Keberpihakan direncanakan karena orang asli Papua tidak menang bersaing secara terbukan dengan orang non Papua (pendatang), karena kualitas sumber daya manusia orang asli Papua yang masih rendah. Keberpihakan ini ditandai dengan dana Respek (Rencana Strategis Pengembangan Kampung) senilai 100 juta ke setiap kampung. Penggunaan uang tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan persyaratan yaitu harus ada perencanaan, pelaksanaan, pelaporan sebagai tanggungjawab penggunaan dana tersebut. Respek memang memiliki orientasi untuk memberdayakan masyarakat Papua yang tinggal di kampung, namun pelaksanaan belum menyentuh aspek pemberdayaan yang menjadi tujuan utama program tersebut. Hal ini disebabkan oleh (1) Sebagian dana Respek telah dicairkan pemerintah provinsi ke seluruh kampung sebanyak dua, namun sampai saat ini masyarakat kampung belum memiliki rencana pembangunan dari pengalokasian dana Respek tersebut. (2) Respek diharapkan dapat mendorong masyarakat dalam membangun perekonomiannya, namun kecenderungan dana Respek hanya untuk dibagi-bagi saja.[1] Di sisi lain dari Laporan Dr. Johanis Sumarto anggota DPR Papua dari partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) secara garis besar ia mengatakan “ Respek hanya menghambur-hamburkan uang”.[2] Terdapat enam program pokok dalam program respek yaitu gizi dan makanan, kesehatan, pendidikan, ekonomi, infrastruktur dan pemerintahan kampung. Namun tidak mengetinya masyarakat dan belum adanya pendampingan dalam perencanaan dan pengunaan dana tersebut, maka yang dilakukan oleh masyarakat adalah membagi-bagi dana itu. Hal ini dikarenakan oleh; pertama, masyarakat kampung belum mampu untuk merencanakan penggunaan dana respek tersebut. Kedua, fasolitator tidak memahami persoalan yang dihadapi oleh kampung-kampung yang ada di Papua. Ketiga, pendampingan sangat urgen dalam membantu masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan Respek belum memadai.[3] Hal ini mengakibatkan Respek belum jalan optimal, padahal dalam tataran konsep sudah sangat baik, namun dalam tataran implementasi bermasalah.

3. Respek dan Persoalan Dalam Hidup Masyarakat

Respek merupakan salah satu program yang dicanangkan di masa kepemimpinan Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu (2006-2011). Kendatipun diklaim sebagai sebuah strategi pemberdayaan masyarakat, Respek masih bertumpu pada inisiatif pemerintah. Karena itu, bila Respek tidak dipahami dan dilaksanakan dengan baik, Respek berpotensial menciptakan, empat bentuk akibat pembangunan bagi masyarakat Papua.
Pertama, sikap ketergantungan. Sumber pembiayaan utama Respek adalah dana transfer pemerintah Provinsi Papua ke rekening masyarakat di kampung-kampung. Dana sebesar Rp 100 juta per kampung itu dialokasikan setiap tahun. Juga, berkerja sama dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)-Mandiri, dana APBN pun ditambahkan ke dalam Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Dana yang diberikan bisa mencapai Rp 200-300 juta per kampung. Dengan dana PNPM Respek-Mandiri, fasilitas kampung cepat direalisasikan secara murah. [4] Namum, tanpa sadar cara ini menggiring masyarakat ke dalam situasi ketergantungan pada bantuan (dana) pemerintah. Tercipta suatu kebiasaan masyarakat bahwa tanpa kerja keras pun, mereka tetap mendapatkan uang dari pemerintah. Kebiasaan bekerja keras akan makin punah oleh budaya harap gampang. Masyarakat kampung menjadi penerima hadiah atau gula-gula manis dari pemerintah.[5] Pernyataan Gubernur Barnabas Suebu bahwa masyarakat kampung akan memperoleh bantuan pembangunan sampai “dunia kiamat”. Warga Asmat meragukan ungkapan ini, mereka mengatakan ungapan itu hanyalah sebatas di mulut atau bahasa politis.[6]
bisa diterjemahkan oleh mereka sebagai bantuan itu akan diberikan selamanya. Dalam jangka panjang, Respek hanya akan berujung pada situasi ketidakberdayaan dan melulu bergantung pada belas kasihan pemerintah. Sayangnya, jika bantuan ini tidak sesuai dengan pernyataan Gubernur, maka masyarakat pasti akan mengalami “musim kelaparan” dan banyak masyarakat yang mati.
Kedua, pemaksaan Kerja. Penyaluran dana Respek terhadap masyarakat bukan diberikan secara gratis. Masyarakat diharuskan untuk bekerja sesuai dengan tuntutan yang diberlakukan oleh pemerintah. Bagi keluarga atau kampung yang mau menerima dana Respek diharuskan untuk bekerja, misalnya di Sugapa paroki Bilogai diharuskan membuat kolam dan kandang kelinci. Program Respek seperti ini sering tidak kena konteks, karena tidak sesuai dengan pola kerja orang setempat. Kalau tidak sesuai dengan konteks maka hasilnya pun tidak maksimal, misalnya kolam. Apakah dalam kolam itu ada ikan atau tidak, bagi pemerintah itu tidak menjadi persoalan yang penting secara fisik kolam itu ada.
Ketiga, Penyalagunaan Uang. Walaupun Respek bertujuan untuk menyejahterahkan rakyat, tetapi dana yang diberikan digunakan untuk minuman keras (Miras), main judi dan lainnya. Dengan Respek secara umum boleh dikatakan menimbulkan banyak persoalan baru dalam hidup masyarakat. Dalam pengelolahan Respek saja tidak maksimal dilaksanakan masyarakat. Uang Respek kebanyakan digunakan untuk membayar maskawin dan meyelesaikan masalah-masalah. Sebab terjadi demikian, karena tidak ada control yang intensif dari pihak yang berwenang. Karena itu, masyarakat tidak megelola uang itu dengan baik pula. Masyarakat gunakan tidak sesuai dengan visi Respek yang dicanangkan. Mungkin sebenarnya tujuan dari Respek sangat bagus di atas kertas, namun kenyataannya tidak sejalan. Tetapi pemerintah mengharuskan untuk membuat laporan, sesuai dengan pengelolahan uang di lapangan.
Kadang masyarakat membuat laporan yang sebenarnya tidak benar. Ini berarti masyarakat menipu pemerintah dan pemerintah menipu rakyat. Kalau realitas demikian adanya, maka boleh dikatakan dan memang realitas menunjukkan bahwa masyarakat sangat belum siap menerima perubahan yang terjadi.
Ketiga, konflik. Dana yang disalurkan pemerintah provinsi Papua ke kampung-kampung, di satu sisi, menjadi sumber pembiayaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, tapi di sisi lain, potensial melecut konflik dalam masyarakat dan benturan-benturan kewenangan pada tingkatan-tingkatan pemerintahan. Ini dapat terjadi ketika penyalurannya dirasakan tidak adil kepada masyarakat. Potensi ketidakadilan program Respek memang telah diantisipasi melalui mekanisme musyawarah di tingkat kampung. Kerapkali juga mekanisme ini dimanipulasi oleh para elite kampung, baik dalam pemerintahan formal maupun adat. Hal ini diperburuk oleh rendahnya tingkat pemahaman, informasi yang tidak utuh. Bila hal ini tidak diatasi, bukan tidak mungkin dana Respek bisa menciptakan konflik atau memperlebar konflik yang mungkin telah ada.[7]
Keempat, politik. Sepintas program Respek tampak sebagai program pembangunan biasa, tapi bila diteliti maka merupakan bagian dari politik pemerintah mengatasi gejolak politik di Tanah Papua. Status otonomi khusus yang diterima Provinsi Papua melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 berorientasi politik “pembungkaman” aspirasi Papua merdeka. Hal ini diberlakukan untuk menghindarkan masyarakat Papua dari membicarakan hal-hal substansial dan multidimensional yang melilit mereka. Kendatipun banyak hal yang berusaha didekati Undang-Undang No. 21 Tahun 2001, seperti isu identitas, sejarah, sosial-budaya, ekonomi, politik dan hak asasi manusia, ternyata lebih ditonjolkan pendekatan moneter: triliunan rupiah dikucurkan ke Papua.[8] Program Respek bisa menjadi instrumen untuk meraih dukungan masyarakat guna mempertahankan kekuasaan. Pengucuran dana ke kampung-kampung tampak pro-rakyat, namun menjadi investasi politik yang besar. Karena itu, otoritas kekuasan yang sedang berjalan harus dipertahankan demi tetap jalannya aliran dana. Hal ini akan jelas saat pemilihan gubernur.

4. Kurangnya Kontrol Pemerintah Terhadap Penyaluran Dana Respek

Tidak dipungkiri bahwa di kampung-kampung dana Respek sudah menjadi sumber datangnya uang bagi masyarakat lokal. Setiap tahun dana itu dikucurkan kepada rakyat, tanpa memperhitungkan berhasil atau tidaknya penggunaan dana Respek teresebut. Dalam hal ini pemerintah tidak berhasil dan gagal total. Terkesan ada proses pembiaran pengolahan ekonomi rakyat. Sehingga masyarakat secara bebas menggunakan dana Respek yang diterimanya. Seharusnya pemerintah yang berwenang harus mengontrol apakah masyarakat atas berhasil-tidaknya mengelolah ekonominya, tetapi hal ini pun tidak dilakukan, maka dengan sebebas-bebasnya masyarakat menggunakan dana itu sesuai kebutuhan yang diperlukan. Dana itu digunakan entah kapan saja, ia mau gunakan.
Kebebasan menggunakan uang berawal dari penyerahan uang oleh pendamping respek kepada masyarakat, melalui kepala kampung (langsung diserahkan kepada Ketua team yang sudah ditunjuk oleh Masyarakat). Setelah penyerahan itu, para pendamping meninggalkan tempat itu, sehingga tidak ada proses selanjutnya yang dilakukan oleh pendamping Respek. Setetelah penyerahan mereka menganggap tugasnya selesai. Hal ini berakibat fatal dengan tujuan Respek yang sebenarnya. Oleh karena itu, pemerintah harus mengevaluasi cara kerja para pendamping Respek, agar tidak terkesan dari sisi konsep RESPEK memang program yang ideal, tapi dari sisi penyerapan tidak kena pada sasaran yang sebenarnya.[9]

5. Pastoral Partisipatif Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat

Membangun karya pastoral bertujuan untuk perubahan sosial di tengah masyarakat. Perubahan yang berfocus pada kehidupan sehari-hari dan masalah-masalah riil yang dihadapi umat. Untuk melasksanakan pastoral partisipatif bersama umat, tidak harus memulai dari kekosongan. Sudah ada banyak pemikiran dan kebiasaan baik ada dalam umat kita, yang dapat kita kembangkan untuk memperkuat sosial ekonomi tersebut. Ekonomi umat ini hanya dapat dibangun di atas dasar saling percaya.[10]
Demikian pula, patut kita menghargai sejumlah inisiatif dan program yang diambil pemerintah dan kekuatan ekonomi berskala besar, misalnya Respek. Untuk berpartisipasi dalam memberdayakan umat, agar tidak melahirkan pola ketergantungan kepada pemerintah, diperlukan pola pastoral bisa memantau secara kritis dari penggunaan dana respek itu. Dasar untuk memberdayakan ekonomi umat mestinya dibangun dalam kerangka Komunitas Basis, dan Koperasi-koperasi umat. Kerangka ini pasti ada di tiap-tiap Paroki di Papua.
Komunitas Basis, sebagai cara menggereja secara baru yang perlu menjadi wadah saling menguatkan dalam iman, yang membuahkan usaha-usaha yang nyata. Dalam konteks ini pastoral partisipatif memiliki peran yang penting. Para pastor atau timpas memiliki peran untuk menjelaskan atau melakukan pembinaan atau pelatihan atau dana Respek yang dikucurkan dalam jumlah yang tinggi. Kalau ada penjelasan, pembinaan dan pelatihan tentang pemberdayaan ekonomi terhadap umat di kombas, pasti mereka memiliki pemahaman baru. Hal ini harus dijadwalkan, agar tidak terputus dan tidak berhasil.
Koperasi-koperasi Umat, hendaknya dikelola sebagai bentuk usaha bersama yang memperhatikan secara umum Orang Muda Katolik, Wanita Katolik dan lainnya. Lebih khusus kepada kaum lemah (mereka yang secara materil berkekurangan) dan mampu secara aktif melakukan usaha ekonomi. Pastosal partisipatif sangat memiliki peran dalam memdorong dan memberdayakan umat. Khususnya saat diberkan dana Respek, pastor atau yang memiliki tugas ini harus bekerja keras untuk melakukan pemotongan atau sumbangan demi koperasi mereka. Hal ini tidak terlepas dari proses pembinaan, pelatihan dalam mengatur keuangan dan banyak kegiatan lainnya yang bisa dilakukan.[11]

6. Penutup

Dalam tilisan ini, sudah banyak ditulis berbagai macam kekuarangan dan kelebihan terhadap pemberlakuan Respek. Di satu sisi, Respek bisa membagi uang kepada rakyat, yang sebelumnya tidak tahu-menahu tentang uang. Boleh dikatakan demikian karena respek diberlakukan bukan di kota-kota, melainkan di kampung-kampung. Kalapun masyarakat tahu uang, tetapi dalam angka yang tidak setinggi Respek. Hal ini sebagai sala satu pemahaman baru bagi masyarakat local. Di sisi lain, respek tidak membawa perubahan, karena jika diteliti lebih jauh ada sebab-sebab baru yang timbul dalam masyarakat, judi, miras (minum minuman keras), seks bebas (uang dari dana respek) dan berbagai macam persoalan lain yang muncul.
Dalam hal ini, Respek Gagal total. Sebab terjadinya kegagalan karena kurangnya control pemerintah terhadap cara pakai masyarat atas uang itu. Kalau kurangnya control jelas bahwa masyarakat menggunakannya sesuai kebebasannya. Maka perlu ada evaluasi pemerintah terhadap implementasi Respek dan melihat sisi baik dan buruknya. Kalau demikian terus adanya, Respek gagal.
Padahal Gubernur sudah menyatakan bahwa Respek berlaku sampai “dunia kiamat” dan apakah masyarakat akan hidup terus dalam ketergantungan kepada pemerintah? Apakah pemerintah akan manja terus, walaupun masyarakat menggunakan uang tidak sesuai dengan visi respek? Pemerintah perlu diskusi dan jangan membiarkan situasi ini berlalu. Jika anda pemimpin pemerintah adalah orang asli Papua, seharusnya menunjukkan sikap untuk mau membangun. Sayangnya realisasinya tidak demikian, hanya ingin membunuh dan mengelabui rakyat dengan program yang tidak kontekstual.

Sumber Bacaan
Bisei, Abdon “Mewartakan Injil Dalam Situasi Peralihan: Pastoral transformatis bersama Rakyat Papua”, Limen, Jurnal Agama dan Kebudayaan, Th. 5, No. 2 April 2009, hal. 109-112 .

http://aurapapua25.wordpress.com/tag/aura-papua/

http://bintangpapua.com/opini/13207-respek-vs-kapitalisme

http://centraldemokrasi.com/info-regional/01042011/diduga-masalah-dana-respek-kantor-distrik-dirusak/

http://tanahpapua.com/index.php/Berita-Terkini/warga-asmat-ragukan-respek-hingga-akhir-kiamat.html

Musa Y. Sombuk, Opini: “Respek Pagar Pembangunan” Suara Perempuan Papua.
Nota Pastoral, “Habitus Baru Ekonomi Yang Berkeadilan,” Sidang KWI 6-16 November 2006, hal. 40-41 Pigai,
Honaratus. Laporan TOP (tahun orientasi Pastoral) paroki Bilogai, tahun 2010.
Tim SKP Jayapura, Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi: Dasar Menangani Konflik di Papua,SKP Jayapura, 2006.
Widjojo, Muridan S. dkk., “Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing The Future,” Jakarta: Kerja sama LIPI, Yayasan Tifa, dan Yayasan Obor Indonesia, 2009.


Catatan Kaki
[1]Muridan S. Widjojo dkk. Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing The Future, Kerja sama LIPI, Yayasan Tifa, dan Yayasan Obor Indonesia, 2009. Hal. 127-129.
[3] Muridan S. Widjojo dkk. Op.Cit., hal. 128.
[4] Opini Suara Perempuan Papua oleh Musa Y. Sombuk Pengajar program studi Agribisnis, Universitas Negri Papua.
[5]Tentang ketergantungan masyarakat terhadap Respek atau uang, baca selengkapnya pada laporan Tahun Orientasi Pastoral (TOP), Honaratus Pigai di Paroki Bilogai tahun 2010. Pada laporan ini saya menilai Respek sebagai pembunuh mental kerja orang Papua khususnya umat Bilogai, sehingga umat jarang bekerja, misalnya bertani atau berburu sebagai sumber uang. Sehingga pasar Bilogai sunyi dengan jualan sayur, petatas, dan hasil kebun lainnya, karena masyarakat selalu mengharapkan dana respek. Tidak disadari masyarakat bahwa respek sedang membunuh mental kerja dan kebun-kebun mereka sudah banyak ditumbuhi rumput.
[7]Bisa lihat situs ini http://centraldemokrasi.com/info-regional/01042011/diduga-masalah-dana-respek-kantor-distrik-dirusak/ sebagai contoh, bahwa sebuah kantor distrik dirusakan karena dana respek yang dibagi secara tidak adil.
[8]Baca selengkapnya, Tim SKP Jayapura, Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi: Dasar Menangani Konflik di Papua,SKP Jayapura, 2006. hal 7-16.
[10]Bdk. Abdon Bisei, “Mewartakan Injil Dalam Situasi Peralihan: Pastoral transformatis bersama Rakyat Papua”, Limen, Jurnal Agama dan Kebudayaan, Th. 5, No. 2 April 2009, hal. 109-112
[11]Nota Pastoral, “Habitus Baru Ekonomi Yang Berkeadilan,” Sidang KWI 6-16 November 2006, hal. 40-41.
Share:
spacer