MEMBANGUN DIALOG UNTUK PAPUA BARU

Honaratus Pigai***


Rakyat Papua mempercayakan perbaikan kondisi konflik di masa depannya kepada Presiden Jokowidodo. Dalam Pemilu Presiden 2014, hampir 90 persen rakyat Papua memberikan suara untuk Jokowi. Besarnya persentase pemilih itu menunjukkan pesan terang-benerang, bahwa tumbuh harapan akan ada perbaikan dan perdamaian Papua melalui tangan Jokowi.

Kebijakan penanganan masalah Papua yang selama ini diusulkan oleh pemerintah, melalui Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Marwan Ja’far) dan Menteri Dalam Negeri (Tjahjo Kumolo), perlu diganti dengan pendekatan baru. Karena kebijakan transmigrasi dan pemekaran yang diusulkan kedua menteri itu, malah banyak akan menimbulkan masalah baru ketimbang mengurai masalah di Papua.

Presiden terpilih perlu segera menrekonstruksi perubahan dan mengambil siasat penanganan masalah Papua dengan tepat. Siasat operasi penegakan hukum dan pemberian dana otonomi khusus (Otsus) yang dikombinasikan dengan tindakan represi militer di Papua ternyata tidak menghasilkan perbaikan situasi kekerasan di Papua. Apalagi siasat transmigrasi dan berbagai pemekaran yang dialamatkan ke tanah Papua. Sisat ini tidak akan menyelesaikan masalah yang selama ini sudah dan sedang berlangsung. Malah bisa terjadi konflik baru yang signifikan antara Papua dan pemerintah pusat. Hal ini penting diperhatikan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini Presiden sendiri, agar tidak terjadi penyalahan perwujudan kebijakan yang malah mengorbankan dan bahkan memarginalkan rakyat asli Papua.

Kita jangan heran kalau bentuk perlawanan rakyat Papua akan terus mengalir. Sebagai bentuk perlawanan akan tampak kian seringnya bendera Bintang Kejora berkibar di seantero tanah Papua, akan juga tampak aksi perlawanan dengan demonstrasi dan akan pula ada tindakan-tindakan kekerasan. Bentuk-bentuk perlawanan semacam demikian merupakan ketidaksepakatan rakyat Papua terhadap kebijakan pemerintahan, yang dianggap tidak membawa perubahan atau tidak membawa keuntungan bagi rakyat atau tidak sesuai dengan harapan, kerinduan dan dambaan rakyat Papua.

Reaksi pemerintah, melalui polisi dan TNI, menanggapi aksi perlawanan itu sudah dari puluhan tahun lalu sampai sekarang sama, yaitu menggelar operasi polisional dan militer untuk melumpuhkan kelompok-kelompok bersenjata dan menangkap siapa saja yang menampakkan sikap konfrontatif kepada Jakarta. Hasilnya, kelompok yang berkonfrontasi dengan Jakarta tidak pernah berkurang, malah berkembang dengan pendukung yang kian meluas dan mendalam. Selain itu juga, reaksi pemerintah melalui kebijakan Otonomi Khusu (Otsus), Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), Otonomi Khusus Plus (Otsus Plus) dan Peraturan Pemerintah yang mengatur kesejahteraan rakyat. Namun reaksi ini tidak satu pun dapat meredam kekerasan yang berlangsung sejak 1963 hingga kini. 

Di mata komunitas internasional, reaksi tersebut membuat Indonesia dipandang sebagai negara yang gemar memenjarakan orang, khususnya yang berpandangan politik berbeda di Papua (prisoner of concerns). Dan dimata Internasional Indonesia dianggap tidak mampu dan bahkan melakukan tindakan pembiaran karena tidak bertanggung jawanb untuk menjawab kerinduan rakyat Papua yang sebenarnya. Gejala ini harus dihentikan jika Indonesia tidak ingin terus-menerus memberikan amunisi kepada komunitas internasional untuk menekan Indonesia. Indonesia harus bersikap tegas untuk menyelesaikan persoalan Papua. Harapannya, melalui pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla, bisa membuka mata hati untuk membuka diri berdialog dengan rakyat Papua.

Bangun Papua Baru

Seturut dengan momentum presiden baru disarankan dan diharapkan mengambil langkah baru. Presiden baru harus turun langsung ke lapangan (Papua) melihat dan mengambil langkah baru untuk penyelesaian masalah Papua. Untuk menyelesaikan masalah Papua, tidak harus melihat dari jauh. Presiden dan kabinetnya jangan asal-asalan mengambil langkah untuk Papua. Disarankan harus turun lapangan dan mengambil langkah jitu dan tepat dalam menyelesaikan masalah Papua agar Papua Baru terwujud. 

Langkah tepat dan jitu menuju Papua baru itu adalah presiden sendiri datang ke Papua dan mendengar harapan mereka. Kedatangan Presiden untuk mendengar harapan rakyat dan melihat situasi sebenarnya di Papua akan menambah nilai plus. Nilai plusnya adalah bisa mengetahui secara langsung dari dekat situasi konflik sebenarnya dan kemauan rakyat Papua. Selama kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono dan sebelumnya, tidak pernah dilakukan hal ini, sehingga terkesan kebijakan dan solusi untuk Papua berbuah nihil. Papua baru atau Papua tanah damai yang di deklarasikan pun tidak berbuahkan hasil yang maksimal.

Penyelesaian konflik Papua adalah tugas besar Presiden Jokowi. Demi Papua, sekali lagi, kebijakan transmigrasi dan pemekaran amat sangat tidak bisa selesaikan persoalan Papua. Maka Presiden dan kainetnya harus membentuk tim kecil yang bertugas mempersiapkan dialog. Tugas pokoknya adalah merancang dialog menyangkut penyelesaian konflik antara Jakarta dan Papua. Untuk langkah ini, Dr Neles Tebay, dalam bukunya, Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, mengemukakan bahwa prinsip dasar dari dialog adalah mempertemukan perwakilan dari kedua pihak yang berseteru. Faktor yang membuat dialog penting dan mendesak adalah, pertama, langkah kekerasan tidak membuat jarak Jakarta-Papua mendekat, tetapi sebaliknya kian menjauh; kedua, inkonsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan Undang-Undang Otsus membuat tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah kian menipis karena gagal menyejahterakan rakyat Papua.

Kombinasi dua faktor di atas meningkatkan ketegangan di kedua belah pihak. Dari kacamata pemerintah, ketegangan itu dikategorikan sebagai menguatnya gerakan separatis. Dari kacamata Papua, hal ini dilihat sebagai kian tidak acuhnya pemerintah terhadap nasib rakyat Papua yang berimplikasi pada terus terbenamnya orang Papua dalam ketidakberuntungan.

Kondisi yang digambarkan oleh Tebay itu jika dibiarkan lama akan membuat Indonesia kehilangan muka di mata komunitas internasional karena mengingkari janji konstitusional sendiri yang ada di dalam UU Otsus. Sementara orang-orang Papua akan terus merugi karena tidak ada yang bisa diperbaiki dalam kondisi yang serba tidak menentu ini. Itulah yang membuat dialog Papua-Jakarta menjadi sangat mendesak dan penting. Tak ada waktu untuk menunggu lebih lama lagi jika ingin membangun situasi aman di Papua.

Dialog: Solusi Damai dan Bermartabat

Kita harus akui bahwa negara Iindonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Sistem kedemokrasian ini harus dijunjung tinggi.Mesti kita sadari dan merenungkan kembali seluruh isi hukum, Undang-Undang Dasar (UUD) dan PANCASILA yang ada dan berlaku sekarang. Ini penting supaya kita bisa mengerti dan membangun negara sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Nilai keadilan, kedamaian dan kebebasan yang termuat rapih di dalamnya, sehingga sikap kita terhadap rakyat pun bisa mengena pada konteks dan ukan kena kosong.

Dalam Negara yang menganut sistem demokrasi suara rakyat harus di dahulukan. Mendengarkan harapan dan kehendak rakyat adalah nilai yang harus dijunjung tinggi.

Di Papua kehendak dan harapan rakyat adalah kedamaian dari konflik yang selama ini sudah mengakar. Kedamaian yang diminta harus ditempuh dengan jalan yang bermartabat. Oleh karena itu, dialog tidak bisa digunakan sebagai siasat saling mengakali. Bagi pemerintah, dialog bukan sebagai pembuka jalan bagi represi atau operasi militer. Sementara bagi Papua, dialog bukan arena untuk memancing kekerasan dan menebarkan teror.

Kunci utama dialog tentu adalah dari kedua bela pihak yang bertikai (Jakarta-Papua) masing-masing untuk saling membangun kepercayaan. Jika dalam unsur-unsur pemerintah masih berkecamuk stigma ”orang Papua tidak bisa dipercaya” dan dalam masyarakat Papua masih berkembang wabah pemahaman bahwa utusan pemerintah hanya ”tukang tipu”, tentu dialog tidak bisa dijalankan. Dan juga bila Indonesia dan Papua masih bertahan pada “Harga Mati” atau NKRI Harga Mati dan Papua Meredeka Harga Mati, lalu kapan kedamaian bisa tercapai.

Solusi bermartabat untuk meredam prasangka dan stigma dalam menyelesaikan ”permasalahan Papua” adalah sikap tegas dan jelas dari Presiden tentang perlunya langkah ”damai dan dialog” demi mewujudkan Papua baru. Ketegasan dan kejelasan sikap dan tindakan presiden dalam permasalahan Papua akan sangat menguntungkan kita semua demi terciptanya kedamaian.

Menyelesaikan masalah Papua melalui dialog akan menempatkan Indonesia sebagai negara demokratis terhebat di kawasan Asia Pasifik. Hal itu sekaligus juga akan menempatkan Presiden sebagai tokoh demokrat sejati yang mampu menerjemahkan Undang-Undang Dasar 1945 dan PANCASILA yang selama ini hanya slogan menjadi kenyataan. (di sadurkan dari beberapa sumber bacaan)
Share:
spacer