Krisis Budaya Papua di Era Globalisasi


Honaratus Pigai(*


Sesuai dengan perkembangan era globalisasi budaya tidaklah menjadi statis, melainkan dinamis (akan berkembang dan mengalami perubahan). Budaya mengalami perubahan untuk menyesuaikan dengan tata kehidupan manusia menurut zaman yang berkembang. Jadi, budaya tidak dapat keluar dari pengaruh luar, sehingga nilai-nilai budaya pun ikut mengalami pergeseran tersebut.

Yang sangat mengkawatirkan dewasa ini, terutama dalam era globalisasi, adalah terbukanya “pintu” budaya lokal terhadap seluruh pengaruh teknologi, transportasi dan komunikasi. Maka Kelestarian budaya lokal dan nilai-nilai luhurnya terancam serta kekhasan dari masing-masing budaya tersingkirkan oleh nilai universal yang dijungjung oleh globalisaasi. Budaya tidak diakui lagi oleh orang yang berbudaya. Yang menjadi masalah utama adalah kekhasan budaya itu sendiri, akan menipis dan bahkan budaya menjadi tidak berguna lagi. Apalagi dewasa ini tengah berlangsung revolusi 4T (teknoligi, telekomunikasi, transportasi, tourism=kepariwisataan). Revolusi globalisasi ini sangat kuat sehingga batas-batas antar daerah dan antar negara semakin sempit yang akan menuju ke suatu globalisasi.

Dalam perkembangan terakhir dari generasi ke generasi, budaya Papua mengalami kemunduran yang sangat drastis. Dalam arti penduduk Papua semakin menipis pengetahuannya tentang budaya. Yang lebih lagi adalah penduduk papua dipengaruhi realitas sosial yang mengancam nyawa (Miras, seks bebas HIV/AIDS dan lainnya), membuat orang asli Papua semakin kurang jumlahnya, akibatnya budaya semakin hari hilang jejak. Dapat dikatakan orang Papua sudah kehilangan jatidiri budayanya. Kemerosotan atau degradasi budaya Papua atau krisis budaya Papua telah dan sedang serta akan terjadi di bumi Papua yang terdapat pluralisme budaya ini.

Apabila dianalisis lebih lanjut sebenarnya terjadi perbedaan pola pemahaman budaya Papua antar generasi. Pola pemahaman generasi pendahulu adalah traditional dan pemahaman generasi penerusnya bercorak pada pemikiran modern. Pola pemahaman tradisional melihat budaya Papua sebagai produk, yakni suatu hasil yang diangap benar dan harus dipegang secara ketat. Sedang pemahaman modern melihat budaya Papua sebagai proses yang memerlukan penggalian dan analisis yang lebih rasional. Sehingga tidaklah heran bahwa orang asli Papua suka mengikuti kebiasaan budaya luar seperti; menarik rambut, para wanita Papua mengenakan jelana jeans, liftik, dan berbagai hiasan tubuh lainnya. 

Selain itu, anak muda memang tidak lagi tertarik kepada kebudayaan asli. Mereka lebih senang hura-hura dengan kualitas hidup yang sangat memprihatinkan dan so’ keasing-asingan. Apakah itu diperoleh di bangku sekolah atau di dalam lingkungan pergaulan hidupnya? Yang pasti bahwa mereka jauh lebih tertarik pada nuansa seperti itu. Kenapa begitu, karena kebudayaan orang Papua “sangat terbuka” dan mudah terkontaminasi dengan kebudayaan lain. 

Situasi ini mengakibatkan orang asli Papua yang berbudaya menjadi korban di segala bidang, ekonomi, politik, sosial-budaya, dan lainnya. Entah hidup baik, entah tidak. Semuanya dibarengi korban di atas tanahnya sendiri. Mulai luntur pula spritualitas keagamaan dalam budaya-budaya. Bergesernya nilai-nilai budaya, masyarakat dari pedesaan ke arah perkotaan. Mulai menipisnya budaya tradisional. Memudarnya pendidikan non-formal kepada kaum muda. Akibatnya, anak-anak muda terjebak dalam lingkungan setan. Dan berkurangnya memahami makna dan nilai filosofi budaya, yang telah berakar dalam budaya. Orang muda tidak lagi memaknai pedoman hidup, yang memadai. Karena itu, orang Papua hidup sebagai orang tidak berbudaya dan atau orang yang tidak berpendidikan. Ia hidup sesuai dengan kehendaknya dengan bersenang-senang. Maka orang kehilangan harga dirinya sebagai orang Papua. Ini yang biasanya membawa kerusakan nama Papua. Lain lagi bahwa penghargaan terhadap nilai budaya, solidaritas sosial, kekeluargaan dan rasa cinta dirasakan semakin terkikis. Resiko dan pembiaran pemerintah ini yang harus ditanggung secara bersama, terjadi ketimpangan sosial. Akibatnya orang kehilangan harga diri. Ketimpangan ini harus diakui, sebagai proses pembiaran, yang mengikis budaya orang asli Papua.

Perlu juga diakui bahwa masuknya budaya asing bersama dengan budaya materialistik dan fasilitas lain mudah diterima oleh masyarakat, yang lambat laun mengurangi kepekaan terhadap budaya Papua. Akhirnya masyarakat kita hanya menjadi pemakai (konsumen) daripada pengolah (produktor). Kalau kondisi budaya Papua, terdesak oleh kepentingan ekonomi nasional (seperti PT. Freport) yang mengglobal, maka jelas Budaya Papua menjadi korban pemuasan konsumsi internasional. Padahal, untuk menghadapi era global diperlukan kesiapan dari dalam yang menyangkut maksimalisasi sumber daya manusia yang handal. Namun usaha untuk mempersiapkan SDM yang handal dan memadai di Papua tidak ada tanda-tanda satu pun, walaupun itu diperlukan waktu yang tidak singkat.

Maka krisis budaya dalam globalisasi harus dibangun atas dasar kehendak bersama dan demi kebaikan bersama, (1)tanpa mengabaikan salah satu budaya dunia, termasuk Papua dan perlu membangun penghargaan atas budaya setiap orang atau tidak meremehkan budaya dan orang-orangnya. (2)membangun budaya solidaritas dan menghormati sesama sebagai manusia, bukan sebagai benda. (3) membangun penghargaan antara sesama manusia dan pengakuan atas setiap jati diri manusia. (4) membangun kerja sama, kesetaraan sebagai manusia dan kepercayaan antara sesama. Budaya dalam globalisasi mesti membangun empat kesadaran ini, bahwa setiap orang memiliki budaya masing-masing, maka harus saling menghargai kekhasan dalam budaya itu.

*) adalah mahasiswa STFT "Fajar Timur" Abepura-Jayapura-Papua


Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."

Copyright © Muye Voice. Designed by OddThemes