Rakyat Merindukan Keadilan dan Kedamaian di Tanah Papua

Konggres Rakyat Papua III yang diadakan pada 16 – 19 Oktober 2011 dengan tema “membangun pemahaman secara jujur, adil, dan menyeluruh demi penegakan hak-hak dasar orang asli Papua, termasuk hak politik di masa depan yang lebih baik, maju, adil, demokratis, aman, damai, sejahtera, dan bermartabat”.

Kalau kita memahami baik tema di atas, sebenarnya tujuan yang mau dicapai rakyat Papua adalah situasi yang adil, demokrasi, aman, bermartabat dan lebih dari itu adalah situasi kedamaian. Orang asli Papua menuntut agar berlakunya aspek-aspek itu, tetapi dirasa bahwa aspek-aspek ini tidak tercapai dalam kesatuan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aspek-aspek itu sepertinya diabaikan atau bahkan dilupakan oleh pemerintah dalam penegakkannya di tengah masyarakat. Tidaklah mengherankan jika rakyat Papua menuntut kembali kepada pemerintah untuk menegakkan kembali beberapa aspek yang ditampilkan di atas. Walaupun tuntutan semakin berkembangn dengan gerakan nasionalisme rakyat Papua, namun sampai saat ini situasi tetap tidak berubah. Rakyat Papua masih terus mengalami penindasan dan pemarginalisasian di berbagai aspek kehidupan, ekonomi, sosial, budaya, politik dan lainnya.

Pengalaman-pengalaman pahit (operasi militer yang menelan ribuan korban di seluruh tanah Papua dan penambahan Militer dalam jumlah yang banyak di Papua), menambah banyak konflik baru. Diharapkan militer bisa menjamin keamanan bagi rakyat Papua, namun disatu sisi keamanan itu belum dan tidak tercipta. Di sisi lain tugas mulia militer melindungi, mengamankan dan membina masyarakat tidak nampak. Kondisi ini semakin memotivasi rakyat Papua mencari dan berusaha memperjuangkan hak hidupnya sebagai manusia untuk hidup dalam kedamaian itu. Dalam posisi ketidakdamaian bersama NKRI, membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Papua untuk ingin lepas dari NKRI. Rakyat Papua merasa pemerintahan Indonesia telah gagal menjamin kehidupan yang baik. Yang ada hanyalah stigma-stigma negative (orang Papua bodoh, Kotor, bau, dan sebagainya), yang memotivasikan rakyat untuk tidak ingin hidup bersama Indonesia. Lain lagi, di atas tanahnya sendiri rakyat Papua terpinggirkan atau dimarginalisasikan, karena memang tidak ada program Sumber Daya Manusia yang jelas. 

Hal lain, yang menjadi diskusi panjang dan sulit untuk memecahkan masalah adalah Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus tahun 2001 bagi Papua yang diterapkan agar; pertama, memberikan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak dasar dalam bidang politik, sosial, kebudayaan dan ekonomi. Kedua, penyelesaian pelanggaran Hak azasi manusia (HAM) dan upaya rekonsiliasi melalui klarifikasi sejarah Papua di dalam NKRI. Ketiga, peningkatan sumber daya manusia Papua melalui pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan ketenagakerjaan. Keempat, penataan kependudukan, penegakkan hokum, pembangunan berwawasan lingkungan. Kelima, penciptaan pemerintahan yang baik dan transparan. Keenam, pembangunan ifrastruktur yang memadai. Namun pelaksanaannya amanat UU 21/2001 tidak dilaksanakan secara konsekwen. Belum ada perubahan yang signifikan yang bisa dirasa oleh rakyat Papua, sejak tahun 2001 kebijakan Otsus diberlakukan di tanah Papua. 

Sampai dengan tahun 2011, Otsus sudah berjalan 10 tahun, namun banyak kalangan menilai Otsus telah gagal dan tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Otsus yang diperuntukkan untuk rakyat kecil hilang di tengah kalangan elit Politik Papua, yang juga orang asli Papua. Walaupun dengan sebagian pejabat Papua menilai Otsus sudah berjalan baik (baca selengkapnya; pacific post edisi, 25/11/2011). Tetapi yang menjadi persoalan atas tanggapan pejabat ini adalah jika kita melihat fakta sekarang di Jayapura, bahwa sebenarnya barometer kesejahteraan rakyat Papua ada di kalangan rakyat kecil, seperti ibu-ibu pedagang asli Papua dan lainnya. Lihat faktanya mereka masih berjualan di penggir-pinggir jalan, di emperan-emperan toko dan lainnya. Ini berarti pemerintah hanya mau menutup kegagalan Otsus dengan topeng yang membunuh rakyatnya sendiri. 

Kalau demikian terus adanya, orang asli Papua termarginalkan dan menjadi miskin di atas tanahnya yang kaya. Mereka menjadi miskin bukan karena ketidakmampuannya, melainkan dimiskinkan oleh pejabat Papua sendiri dengan menguras habis-habisan milik rakyat Papua. Karena itu, seruan penolakan atas Otsus disampaikan baik oleh rakyat sipil, organisasi-organisasi yang ada, dan berbagaik pihak lain.
Rakyat sadar bahwa berbagai kebijakan pemerintah selama ini yang diterapkan di Papua tidak memberikan perwujudan kehidupan yang adil, demokratis, aman, damai, sejahtera dan bermartabat. Rakyat menilai pemerintah cenderung bertindak secara sepihak di dalam memutuskan kebijakan pembangunan. Partisipasi rakyat dalam menetapkan kebijakan pembangunan di papua tidak terlihat. 

Setelah implementasi Otsus dianggap tidak berjalan maksimal, maka kini Negara menyiapkan Upaya Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) sebagai stimulator pelaksanaan Otsus. Pembentukan UP4B sendiri merupakan inisiatif pemerintah, tanpa konsultasi terbuka dengan rakyat di tanah Papua.

Berbagai situasi di Papua dianggap hanya mendatangkan berbagai macam persoalan dan kesenjangan yang mendalam antara pemerintahan Indonesia dan rakyat Papua. Walaupun berbagai macam program dibuat, tetapi selama program pemerintah itu belum terrealisasi secara maksimal akan terus terjadi konflik dan masalah. Masyarakat selalu menyarakan hak atas kebebasan, menurut saya karena kegagalan pemerintah dalam merealisasikan keadilan, kedamaian, demokrasi dan lainnya dalam sendi kehidupan masyarakat. Karena itu, tidak heran masyarakat merasa hidupnya tidak aman bersama NKRI sehingga salah satu jalan untuk menjamin kehidupan rakyat adalah lepas dari NKRI demi tujuan luhurnya membangun kedamaian masyarakat sendiri, tanpa campur tangan NKRI.
Honaratus Pigai


Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."

Copyright © Muye Voice. Designed by OddThemes