Honaratus Pigai(*
Penderitaan rakyat
Papua sejak Integrasi ke dalam Indonesia hingga dewasa ini, dapat disimpulkan
sebagai “rakyat yang tersalib”. Rakyat belum mengalami kedamaian dan kebebasan
secara fisik maupun moral/psikis atas pendertiaan yang dialami. Penderitaan ini
selalu dialami dan dirasakan atas ketidakadilan, ketidakbenaran hukum,
pelanggaran Hak azasi Manusia dan berbagai nilai kekerasan lain yang selalu
menghantui gerak langkah kehidupan.
Rakyat Papua
tersalib itu,
dilihat sebagai rakyat yang mengalami penderitaan dan penindasan dalam segala
segi kehidipan ekonomi, politik, pendidikan, budaya, pembangunan dan lainnya.
Walaupun diakui bahwa dibeberapa bidang lain ada perkembangan dan perubahan,
namun perubahan itu belum membebaskan rakyat Papua dari salib. Rakyat Papua
masih tergantung di salib yang dibuat oleh negara demokrasi yang penuh dengan
hukum.
Selain penindasan
di segala bidang kehidupan manusia di Papua, rakyat Papua juga tersalib dalam
sejarah kehidupannya. Fakta menunjukkan bahwa sejak Papua diintegrasikan ke
dalam pangkuan Indonesia melalui Maklumat TRIKORA, di Jogjakarta, 1 Desember
1961, Perjanjian New York 15 Agustus 1963 yang dibuat dan ditanda tangani
oleh Indonesia dan Belanda yang dimediasi Amerika tanpa melibatkan penduduk
asli Papua, penyerahan Papua melalui United
Nations Temporary Administration (UNTEA) ke dalam wilayah Indonesia secara
administrasi 1 Mei 1963, dan pelaksanaan PEPERA 1969 yang cacat hukum
dengan kekuatan militer Indonesia, kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang
menyebabkan pelanggaran HAM berat dan kematian penduduk asli Papua di tangan
TNI dan POLRI, kegagalan pelaksanaan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus, marginalisasi penduduk asli Papua, eksploitasi sumber daya alam,
penghancurkan hutan dan perampasan tanah milik rakyat untuk lahan pemukiman
Transmigrasi, lahan kelapa sawit, pengambilan kayu secara illegal yang dibeking
aparat TNI dan POLRI, dan dominasi ekonomi para migran. Selain itu, juga UP4B (unit percepatan
pembangunan Papua dan Papua Barat) yang diprogramkan pemerintah untuk membangun
Papua, yang tidak melibatkan masyarakat untuk menentukan progam ini. karena
itu, banyak opini dan perdebatan serta penolakan yang dipublikasikan oleh
masyarakat kepada pemerintah.
Ketua Kaukus
Parlemen Pegunungan Tengah menilai bahwa “rakyat Papua sebenarnya dari dulu sampai
sekarang sudah sejahtera dan jika orang luar melihat orang Papua masih ada
yang hidup di honai di dusun dan itu merupakan bagian dari tradisi dan
adat istiadat orang asli Papua. Oleh karena itu, Unit Percepatan Pembangunan
Papua dan Papua Barat [UP4B] tidak akan berarti bagi masyarakat Papua.” Hal ini bisa dibenarkan, karena mungkin
pemerintah menilai dari sisi pembangunan fisik (perumahan, jalan-jalan raya,
dan lainnya) tanpa memperhatikan kemanusiawian manusia. Manusia sepertinya
tidak penting bagi pemerintah dari pada hasil kekayaan yang ada. Maka terkesan
bahwa pemerintah bukan membangun sumber daya manusia, melainkan membangun
perumahan mewah di atas tulang-beluang manusia Papua.
Anehnya, pemerintah
Indonesia masih menyembunyikan seluruh dosa dan kejahatan ini, dengan berlindung dalam
stigma orang Papua separatis, anggota OPM, dan pembuat makar tanpa bertanya dan
melihat substansi akar masalah Papua.
Deretan fakta ini
menunjukkan bahwa rakyat Papua disalibkan dengan tindakan-tindakan negara yang
tidak memihak rakyat. Rakyat disalibkan dengan kepentingan-kepentingan negara
yang tidak manusiawi dan tidak beradab. Rakyat dianggap sebagai manusia yang
bukan manusia, sehingga mengorbankan hak kemanusiawiannya dengan kepentingan
yang mengorbankan hak rakyat. Oleh karena itu, tidaklah heran rakyat Papua tiba
pada kesempulan bahwa Indonesia telah gagal membangun rakyat Papua. Dengan
demikian, rakyat Papua telah kehilangan kepercayaan kepada Pemerintah
Indonesia.
*) adalah mahasiswa STFT Fajar Timur
Abepura-Jayapura-Papua
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."