Sudah sejak 2010, ide dan upaya realisasi ‘dialog Jakarta-Papua’ diwacanakan. Namun, hingga kini, dialog ini yang dianggap sebagai jalan terbaik mengakhiri kekerasan dan membangun kepercayaan antara pemerintah pusat dan warga Papua belum ada tanda-tanda akan terealisasi.
Sejumlah upaya sudah dilakukan demi terlaksananya ide ini yang dirintis Pastor Neles Kebadabi Tebay, imam aktivis asal Papua bersama dengan sejumlah akademisi melalui Jaringan Damai Papua (JDP).
Pastor Neles misalnya, berupaya, baik lewat diskusi, seminar, artikel-artikel di media massa dan audiensi dengan para pejabat tinggi di Jakarta, termasuk dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tapi, fakta yang didapat, belum menunjukkan ada kabar baik.
Melihat mandegnya hal ini, sebuah buku baru, “100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua”, yang ditulis para akademisi, aktivis dan tokoh agama terbit baru-baru ini, menggemakan lagi tuntutan yang sama: segera lakukan dialog!
Mientje Roembiak, salah satu penulis buku ini mengatakan, dialog adalah hal mendesak, mengingat kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Papua, sejak tahun 1969 bergabung dengan Indonesia dalam sebuah proses yang disponsori PBB, dimana diyakini terjadi manipulasi selama jajak pendapat.
Selain mewujud dalam kasus pembunuhan, pemukulan, bentuk kekerasan, kata dia, muncul dalam bentuk stigma yang menganggap warga Papua sebagai kaum separatis, serta pembatasan kebebasan berekspresi.
“Kalau ada yang mengkritik pemerintah, minimal keluarga kami terancam. Sudah banyak yang dibunuh”, ujarnya.
Kekerasan demi kekerasan, menurut dia, hanya menyisakan luka bagi warga Papua dan kebencian terhadap pemerintah terus memuncak.
Jakarta masih mempertahankan kehadiran militer yang kuat di Papua yang masih ditempati suku-suku asli.
Meski memiliki kekayaan mineral yang tinggi, dimana terdapat tambang emas terbesar di dunia, yang dioperasikan PT Freeport asal Amerika Serikat, namun sebagian besar warga Papua tetap miskin, infrastruktur masih sangat minim, apalagi di daerah-daerah terpencil.
“Sumber daya alam Papua tidak dinikmati orang Papua, tetapi diambil untuk memperkaya orang non-Papua, sementara nasib kami tidak berubah”, kata Roembiak, yang juga dosen di Universitas Cenderawasih, Jayapura.
B Josie Susilo Hardianto, wartawan Harian Kompas yang beberapa tahun terakhir bekerja di Papua menggambarkan ironi situasi di sana dalam buku ini. Mengutip Amandus Giay, seorang tua adat dari kampung Bomomani di Dogiyai, ia menulis, warga Papua mengalami kehadiran pemerintah lewat aparat keamanan, entah itu polisi atau tentara.
“Mereka dengan mudah ditemui hingga di berbagai pelosok wilayah Papua, berseragam atau tidak. Sementara itu, dokter, perawat, guru, pejabat kecamatan hingga bupati justru lebih sulit ditemukan”, tulis Hardianto.
Laporan sejumlah lembaga HAM yang tergabung dalam Human Rights and Peace for Papua menunjukkan bahwa antara Oktober 2011 dan Maret 2013 terjadi peningkatan eskalasi kekerasan, dimana pelakunya yang merupakan polisi dan militer dalam banyak kasus tidak mau bertanggung jawab. Bentuk kekerasan berupa kasus pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang, dengan korban warga sipil, jurnalis, juga aktivis HAM.
Menurut laporan ini yang dirilis pada Juli lalu, “Di daerah dataran tinggi yang terpencil, kekerasan paling sering terjadi. Di sana, pasukan keamanan terus melakukan razia di desa-desa untuk mengintimidasi masyarakat setempat, sehingga membuat mereka harus mengungsi.”
Beberapa kali, pemerintah pusat merespons desakan untuk mengakhiri kekerasan di Papua. “Namun, hanya sebatas pernyataan ketika ada kejadian penembakan”, kata Roembiak.
Tahun 2011, Presiden SBY pernah menyampaikan pernyataan untuk membangun Papua dengan hati, termasuk mengusulkan wacana komunikasi konstruktif. Faktanya hingga kini, Jakarta tidak mengambil langkah yang jelas untuk memasuki proses dialog dan tampaknya terus curiga bahwa dialog ini akan menjadi jalan bagi pemisahan Papua dari Indonesia.
Brigjen TNI Sumardi, Sekertaris Desk Papua Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) misalnya, mengatakan kepada ucanews.com, pemerintah menolak istilah dialog Jakarta-Papua. “Tidak ada istilah dialog Jakarta-Papua,” tegasnya.
Meski demikian, ia menolak tuduhan bahwa Jakarta tidak bersedia menggelar dialog dengan orang Papua. Selama ini, katanya, dialog sudah berjalan. “Dialog yang dimaksud adalah dialog interaktif yang bertujuan membicarakan pembangunan Papua ke depan”, ujarnya tanpa bersedia menjelaskan lebih lanjut siapa yang terlibat dan seperti apa metode dialog interaktif tersebut.
Ketika ditanya soal tanggapannya terkait esensi gagasan dialog Jakarta-Papua yang bertujuan membicarakan persoalan pelanggaran HAM, ia mengatakan, “Dialog untuk bahas kekerasan sudah sering, sejak reformasi sampai dengan sekarang ini”.
Ia juga menolak klaim adanya pelanggaran HAM di Papua. Tindakan kekerasan, dalihnya, terjadi karena oknum tertentu dan kelalaian aparat kemanan. “Itu pun sudah ditindak sesuai hukum,” tegas Sumardi.
Pihak Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kini masih bergerylia di hutan tampaknya juga masih tegas menolak dialog ini. Lambert Pekikir, salah satu komandan OPM di perbatasan Papua dan Papua Nugini mengatakan, dialog hanya membuang-buang waktu. Yang dibutuhkan, katanya, adalah perundingan.
“Akar persoalan di Papua adalah soal status politik Papua yang dimanipulasi sejak tahun 1963 dalam peristiwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat)”, tegasnya kepada ucanews.com.
Ia menjelaskan, perlu ada pelurusan sejarah dahulu dan setiap kubuh, yakni Indonesia dan Papua menyampaikan data sejarah masing-masing serta kemudian dibicarakan bersama untuk menemukan kebenaran.
“Selama ini tidak dilakukan, maka tidak ada titik temu antara pemerintah di Jakarta dan kami orang Papua”, tegasnya.
Di tengah situasi demikian, Pastor Neles tetap yakin, dialog Jakata-Papua mesti tetap diperjuangkan. Ia mengatakan, dialog tidak bermaksud mempertanyakan keberadaan Papua dalam negara Indonesia.
“Pertanyaan yang perlu dibahas dalam dialog adalah bukannya: apakah masa depan Papua berada di dalam atau di luar Negara Indonesia? Tetapi: masa depan Papua seperti apa yang akan dibangun dalam Negara Indonesia?”, katanya.
Ia menegaskan, semua pihak, terutama pemerintah tidak boleh memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi konflik Papua. Selama ini, kata dia, pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak lain.
“Solusinya harus duduk bersama, mempertemukan semua pihak, lalu bicara, apa yang harus dibuat untuk membuat Papua menjadi Tanah Damai. Itulah yang ingin dilakukan dalam dialog”.
Sementara itu, Cypri Jehan Paju Dale, peneliti isu-isu pembangunan, HAM dan gerakan sosial yang pada 2012 menulis buku Paradoks Papua bersama Romo John Djonga, imam aktivis Papua, mengingatkan semua pihak agar tidak terlena, menanti realisasi dialog baru berupaya mencari jalan keluar terhadap persoalan di Papua.
Menurutnya, memang dialog itu penting dan perlu segera dilakukan, namun kata dia, ada banyak sekali agenda konkret dan mendesak yang menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, LSM serta lembaga-lembaga agama.
“Apakah tungguh dialog untuk penuhi hak-hak orang Papua di pedalaman, akan guru dan sekolah berkualitas, akan dokter-dokter dan rumah sakit? Apakah tunggu dialog untuk memberhentikan kebrutalan militer?” kata Cypri kepada ucanews.com.
Ia menjelaskan, yang jadi masalah sekarang adalah dialog itu diagung-agungkan sedemikian rupa seakan-akan itu adalah solusi atas semua soal. Padahal, dalam proses menanti dialog ini, sejumlah persoalan terus terjadi seperti pembangunan yang tidak menyasar orang asli Papua di kampung-kampung, korupsi, perampasan dan pencaplokan sumber daya alam serta marginalisasi.
Ketidakadilan, kata dia, adalah fakta telanjang yang perlu segera disikapi. “Sentralisasi pembangunan di kota dan pusat-pusat migran jalan terus. Fasilitas-fasilitas di kota-kota umumnya hanya dinikmati oleh orang Papua kelas menengah ke atas dan orang-orang Indonesia yang terus-menerus membanjiri Papua tanpa terbendung.”
Bagi alumnus Institute of Social Studies, Erasmus University, Belanda ini, hal yang urgen adalah kebijakan pembangunan yang tepat, komprehensif dan benar-benar adil bagi orang papua. “Contohnya, guru dan sekolah-sekolah berkualitas untuk orang Papua di pedalaman. Dokter dan pelayanan kesehatan yang prima. Hentikan pembabatan hutan dan pencaplokan tanah, karena itu lumbung pangan orang Papua”.
Selain itu, katanya, berantas tuntas korupsi di kalangan birokrat dan politisi di Papua. “Yang korupsi bukan hanya orang Papua seperti yang selama ini distigmakan. Birokrat dan politisi di Papua itu terdiri dari orang asli dan bukan orang asli, sehingga yang korup juga dua-duanyanya. Korupsi ini halangan besar untuk keadilan di Papua.”
Upaya lain, menurut Cypri, adalah gerakan masyarakat sendiri untuk menjadi mandiri, mengusut pelanggaran HAM, perampasan sumber daya dan penghancuran ekosistem.
“Itu tidak perlu tunggu dialog yang sedang digembar-gemborkan itu”, tegasnya. “Apalagi gagasan dialog juga sudah dibajak sebagian politisi dan dipakai sebagai jargon untuk kepentingan mereka.”
indonesia.ucanews.com
Ryan Dagur, Jakarta
Sejumlah upaya sudah dilakukan demi terlaksananya ide ini yang dirintis Pastor Neles Kebadabi Tebay, imam aktivis asal Papua bersama dengan sejumlah akademisi melalui Jaringan Damai Papua (JDP).
Pastor Neles misalnya, berupaya, baik lewat diskusi, seminar, artikel-artikel di media massa dan audiensi dengan para pejabat tinggi di Jakarta, termasuk dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tapi, fakta yang didapat, belum menunjukkan ada kabar baik.
Melihat mandegnya hal ini, sebuah buku baru, “100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua”, yang ditulis para akademisi, aktivis dan tokoh agama terbit baru-baru ini, menggemakan lagi tuntutan yang sama: segera lakukan dialog!
Mientje Roembiak, salah satu penulis buku ini mengatakan, dialog adalah hal mendesak, mengingat kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Papua, sejak tahun 1969 bergabung dengan Indonesia dalam sebuah proses yang disponsori PBB, dimana diyakini terjadi manipulasi selama jajak pendapat.
Selain mewujud dalam kasus pembunuhan, pemukulan, bentuk kekerasan, kata dia, muncul dalam bentuk stigma yang menganggap warga Papua sebagai kaum separatis, serta pembatasan kebebasan berekspresi.
“Kalau ada yang mengkritik pemerintah, minimal keluarga kami terancam. Sudah banyak yang dibunuh”, ujarnya.
Kekerasan demi kekerasan, menurut dia, hanya menyisakan luka bagi warga Papua dan kebencian terhadap pemerintah terus memuncak.
Jakarta masih mempertahankan kehadiran militer yang kuat di Papua yang masih ditempati suku-suku asli.
Meski memiliki kekayaan mineral yang tinggi, dimana terdapat tambang emas terbesar di dunia, yang dioperasikan PT Freeport asal Amerika Serikat, namun sebagian besar warga Papua tetap miskin, infrastruktur masih sangat minim, apalagi di daerah-daerah terpencil.
“Sumber daya alam Papua tidak dinikmati orang Papua, tetapi diambil untuk memperkaya orang non-Papua, sementara nasib kami tidak berubah”, kata Roembiak, yang juga dosen di Universitas Cenderawasih, Jayapura.
B Josie Susilo Hardianto, wartawan Harian Kompas yang beberapa tahun terakhir bekerja di Papua menggambarkan ironi situasi di sana dalam buku ini. Mengutip Amandus Giay, seorang tua adat dari kampung Bomomani di Dogiyai, ia menulis, warga Papua mengalami kehadiran pemerintah lewat aparat keamanan, entah itu polisi atau tentara.
“Mereka dengan mudah ditemui hingga di berbagai pelosok wilayah Papua, berseragam atau tidak. Sementara itu, dokter, perawat, guru, pejabat kecamatan hingga bupati justru lebih sulit ditemukan”, tulis Hardianto.
Laporan sejumlah lembaga HAM yang tergabung dalam Human Rights and Peace for Papua menunjukkan bahwa antara Oktober 2011 dan Maret 2013 terjadi peningkatan eskalasi kekerasan, dimana pelakunya yang merupakan polisi dan militer dalam banyak kasus tidak mau bertanggung jawab. Bentuk kekerasan berupa kasus pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang, dengan korban warga sipil, jurnalis, juga aktivis HAM.
Menurut laporan ini yang dirilis pada Juli lalu, “Di daerah dataran tinggi yang terpencil, kekerasan paling sering terjadi. Di sana, pasukan keamanan terus melakukan razia di desa-desa untuk mengintimidasi masyarakat setempat, sehingga membuat mereka harus mengungsi.”
Beberapa kali, pemerintah pusat merespons desakan untuk mengakhiri kekerasan di Papua. “Namun, hanya sebatas pernyataan ketika ada kejadian penembakan”, kata Roembiak.
Tahun 2011, Presiden SBY pernah menyampaikan pernyataan untuk membangun Papua dengan hati, termasuk mengusulkan wacana komunikasi konstruktif. Faktanya hingga kini, Jakarta tidak mengambil langkah yang jelas untuk memasuki proses dialog dan tampaknya terus curiga bahwa dialog ini akan menjadi jalan bagi pemisahan Papua dari Indonesia.
Brigjen TNI Sumardi, Sekertaris Desk Papua Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) misalnya, mengatakan kepada ucanews.com, pemerintah menolak istilah dialog Jakarta-Papua. “Tidak ada istilah dialog Jakarta-Papua,” tegasnya.
Meski demikian, ia menolak tuduhan bahwa Jakarta tidak bersedia menggelar dialog dengan orang Papua. Selama ini, katanya, dialog sudah berjalan. “Dialog yang dimaksud adalah dialog interaktif yang bertujuan membicarakan pembangunan Papua ke depan”, ujarnya tanpa bersedia menjelaskan lebih lanjut siapa yang terlibat dan seperti apa metode dialog interaktif tersebut.
Ketika ditanya soal tanggapannya terkait esensi gagasan dialog Jakarta-Papua yang bertujuan membicarakan persoalan pelanggaran HAM, ia mengatakan, “Dialog untuk bahas kekerasan sudah sering, sejak reformasi sampai dengan sekarang ini”.
Ia juga menolak klaim adanya pelanggaran HAM di Papua. Tindakan kekerasan, dalihnya, terjadi karena oknum tertentu dan kelalaian aparat kemanan. “Itu pun sudah ditindak sesuai hukum,” tegas Sumardi.
Pihak Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kini masih bergerylia di hutan tampaknya juga masih tegas menolak dialog ini. Lambert Pekikir, salah satu komandan OPM di perbatasan Papua dan Papua Nugini mengatakan, dialog hanya membuang-buang waktu. Yang dibutuhkan, katanya, adalah perundingan.
“Akar persoalan di Papua adalah soal status politik Papua yang dimanipulasi sejak tahun 1963 dalam peristiwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat)”, tegasnya kepada ucanews.com.
Ia menjelaskan, perlu ada pelurusan sejarah dahulu dan setiap kubuh, yakni Indonesia dan Papua menyampaikan data sejarah masing-masing serta kemudian dibicarakan bersama untuk menemukan kebenaran.
“Selama ini tidak dilakukan, maka tidak ada titik temu antara pemerintah di Jakarta dan kami orang Papua”, tegasnya.
Di tengah situasi demikian, Pastor Neles tetap yakin, dialog Jakata-Papua mesti tetap diperjuangkan. Ia mengatakan, dialog tidak bermaksud mempertanyakan keberadaan Papua dalam negara Indonesia.
“Pertanyaan yang perlu dibahas dalam dialog adalah bukannya: apakah masa depan Papua berada di dalam atau di luar Negara Indonesia? Tetapi: masa depan Papua seperti apa yang akan dibangun dalam Negara Indonesia?”, katanya.
Ia menegaskan, semua pihak, terutama pemerintah tidak boleh memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi konflik Papua. Selama ini, kata dia, pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak lain.
“Solusinya harus duduk bersama, mempertemukan semua pihak, lalu bicara, apa yang harus dibuat untuk membuat Papua menjadi Tanah Damai. Itulah yang ingin dilakukan dalam dialog”.
Sementara itu, Cypri Jehan Paju Dale, peneliti isu-isu pembangunan, HAM dan gerakan sosial yang pada 2012 menulis buku Paradoks Papua bersama Romo John Djonga, imam aktivis Papua, mengingatkan semua pihak agar tidak terlena, menanti realisasi dialog baru berupaya mencari jalan keluar terhadap persoalan di Papua.
Menurutnya, memang dialog itu penting dan perlu segera dilakukan, namun kata dia, ada banyak sekali agenda konkret dan mendesak yang menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, LSM serta lembaga-lembaga agama.
“Apakah tungguh dialog untuk penuhi hak-hak orang Papua di pedalaman, akan guru dan sekolah berkualitas, akan dokter-dokter dan rumah sakit? Apakah tunggu dialog untuk memberhentikan kebrutalan militer?” kata Cypri kepada ucanews.com.
Ia menjelaskan, yang jadi masalah sekarang adalah dialog itu diagung-agungkan sedemikian rupa seakan-akan itu adalah solusi atas semua soal. Padahal, dalam proses menanti dialog ini, sejumlah persoalan terus terjadi seperti pembangunan yang tidak menyasar orang asli Papua di kampung-kampung, korupsi, perampasan dan pencaplokan sumber daya alam serta marginalisasi.
Ketidakadilan, kata dia, adalah fakta telanjang yang perlu segera disikapi. “Sentralisasi pembangunan di kota dan pusat-pusat migran jalan terus. Fasilitas-fasilitas di kota-kota umumnya hanya dinikmati oleh orang Papua kelas menengah ke atas dan orang-orang Indonesia yang terus-menerus membanjiri Papua tanpa terbendung.”
Bagi alumnus Institute of Social Studies, Erasmus University, Belanda ini, hal yang urgen adalah kebijakan pembangunan yang tepat, komprehensif dan benar-benar adil bagi orang papua. “Contohnya, guru dan sekolah-sekolah berkualitas untuk orang Papua di pedalaman. Dokter dan pelayanan kesehatan yang prima. Hentikan pembabatan hutan dan pencaplokan tanah, karena itu lumbung pangan orang Papua”.
Selain itu, katanya, berantas tuntas korupsi di kalangan birokrat dan politisi di Papua. “Yang korupsi bukan hanya orang Papua seperti yang selama ini distigmakan. Birokrat dan politisi di Papua itu terdiri dari orang asli dan bukan orang asli, sehingga yang korup juga dua-duanyanya. Korupsi ini halangan besar untuk keadilan di Papua.”
Upaya lain, menurut Cypri, adalah gerakan masyarakat sendiri untuk menjadi mandiri, mengusut pelanggaran HAM, perampasan sumber daya dan penghancuran ekosistem.
“Itu tidak perlu tunggu dialog yang sedang digembar-gemborkan itu”, tegasnya. “Apalagi gagasan dialog juga sudah dibajak sebagian politisi dan dipakai sebagai jargon untuk kepentingan mereka.”
indonesia.ucanews.com
Ryan Dagur, Jakarta