(Catatan Renungan Bagi Golongan Putih)
Peredaran uang di era Otsus, Otsus Plus dan UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua)
di Papua yang semakin melonjak hingga
kian hari melumpuhkan sikap sosial. “Kalau
orang sudah banyak duit, orang kadang lupa teman sekalipun apalagi sesama yang
lain” begitulah ungkapan yang sering terdengar di kalayak ramai.
Bagi orang yang ada di Papua sudah tidak asing lagi untuk
menyebut nilai rupiah. Mulai dari angka rupiah yang paling rendah sampai angka
besar sudah dengan mudah sangat disebutkan dari mulut orang. Realitas di
seluruh Papua yang kita bisa temukan, uang logam sampai lima ratus rupiah
hampir dan bahkan sudah tidak berlaku lagi. Yang nampak orang sudah menggunakan
uang dari angka seribu ke atas. Sementara di berbagai provinsi lain di
Indonesia tidak seperti di Papua.
Peredaran uang di Papua dalam jumlah rupiah yang sangat
besar, membuat orang agak lupa daratan. Yang memegang uang adalah punya sayap.
Bisa terbang kemana-mana dan bisa memiliki segala sesuatu. Entahlah sesuatu itu
baik atau pun buruk sekalipun. Tetapi sayang, karena ada juga sebagian besar
orang Papua masih merayap di dasar, karena tidak mendapat bagian dan tidak
seperti mereka yang punya uang banyak. Yang punya uang memiliki
kategori-kategori tertentu, tapi di sini kami sebut adalah para pemegang
kekuasaan atau elit politik. Entahlah para para konglomerat dan elit Papu itu
mendapatkan uang dengan cara halal atau tidak. Namun yang nampak jelas di
hadapan mata adalah dengan hasil korup. Para penguasa dan elit politik Papua,
menguras hak milik rakyat kecil. Lihat saja faktanya sekarang di era Otsus,
Otsus Plus dan UP4B serta dengan adanya Perusahan-perusahan raksasa di Papua.
Orang asli Papua sendiri ditelan oleh kapitalisme yang bermain tidak sehat,
demi membunjitkan perutnya sendiri. Rakyat menjadi miskin di atas tanahnya
sendiri.
Sebagai bukti akibat permainan kotor, pembuncitan perut
para penguasa dan elit politik serta kapitalis di Papua oleh media detik.com,
merilisnya bahwa angka kemiskinan di Papua sangat tinggi. Di media itu, pada
tahun 2013 Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Armida S.
Alisjahbana mengungkapkan tingkat kemiskinan di Papua mencapai 31,1% dari
jumlah penduduk. Angka yang dikutip dari BPS per Maret 2013, menunjukkan bahwa
presentase orang miskin di Papua dua kali lipat lebih tinggi dari tingkat
rata-rata kemiskinan di Indonesia yaitu 11,37%.
Inilah akibat egoisme dan kerakusan manusia untuk menjadi penguasa uang.
Lantas, kalau
terjadi demikian dimanakah nurani sosialisme para penguasa, elit Papua dan
kapitalis? Walau rakyat kecil tidak memaksakan untuk harus mendapatkan apa yang
menjadi haknya, tetapi yang harus dipertanyakan di sini adalah ada sebuah
sistim “kematian sosialisme” dalam diri para penguasa dan elit politik serta
kapitalis sangat nampak. Terlihat bukti keberpihakan dan penumbuhan sikap
sosial sangat lemah. Bagaikan sikap sosial sudah menjadi “almarhum” dalam diri
para penguasa dan elit politik serta kapitali di Papua.
Tokoh
Spritual Hindu Mahatma Gandhi pernah berucap: “Bumi ini cukup untuk melayani
keperluan manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan manusia.” Papua
termasuk salah satu daerah yang kaya. Sayangnya negeri yang kaya raya itu salah
urus. Kesalahan dalam mengurus sebagai salah satu akibat keserakahan yang telah
dilembagakan dan disahkan greeded has
been institutionalized and legitimised. Korupsi dan pengurasan hak milik
rakyat kian menggurita, membudaya, dan seolah tak bertepi lagi. Dari bangun
tidur, sampai tidur kembali, seolah tiada ruang hampa tanpa korupsi dan
pengurasan. Hal ini, tentu terkait dengan budaya negeri ini.
Orang asli Papua yang dahulu oleh leluhurnya telah
mewariskan sikap sosialisme semakin hari semakin tumpul. Aka akal budi untuk
berpikir, hari nurani untuk berasa, mata untuk melihat realitas dunia dengan
terang benerang kini semakin buta. Nilai moral bagi manusia harus
menjadi landasan utama dalam melakukan sesuatu. Mengapa? Karana etika,
moralitas, dan hati nurani akan terus mengawasi tindakan dan prilaku manusia.
Nafsu kebinatangan manusia cendrung mendominasi jika nilai dan hati nurani
berjalan tidak berimbang, sehingga nilai baik buruk sulit dipilah secara
terinci. Di sinilah etika dan kejernihan hati nurani itu diperlukan. Namun,
sayangnya Orang sudah hampir tidak mampu melihat
realitas dunia dengan baik dan benar. Untuk memilah dan memilih baik dan buruk
saja hampir tidak jelas. Hampir kebanyakan para elit Papua sudah dan sedang
terjerumus ke dalam kebutaan akal, nurani dan mata oleh karena uang dan
jabatan. Uang dan jabatan sudah dan sedang dipandang sebagai “dewa” yang mampu
membawa kehidupan kepada damai dan aman. Orang sudah dan sedang tidak sadar
lagi bahwa di dunia ini ada sesama lain yang membutuhkan pertolongan dan
penghargaan. Ini semua akibat sikap egoisme fundamental yang dikembangkan dalam
diri, sehingga menjadi buta untuk bersosialis dengan sesama. Sikap egoisme
fundamental menjadi akibat utama kebutaan yang meruntuhkan sikap sosialis.
Nilai-nilai moral yang luhur dari para leluhur Papua
semakin punah akibat perbuatan jahil. Sikap saling menolong, menghargai,
menghormati, memperhatikan dan sederetan nilai perhormatan terhadap harkat dan
martabat manusia sudah dan sedang menuju kepunahan. Terlihat jelas pada
masa-masa kini, orang tidak lagi menjunjung nilai-nilai itu dengan aksi
“perdagangan” sesama manusia Papua demi mendapatkan uang dan jabatan. Sesama
menjual sesama.
Para leluhur di dunia “ide” bisa saja sedang menyaksikan
segala perbuatan dan sikap buruk yang terjadi. Mereka dapat meratap dari dunia
“ide” kalau melihat para generasi penerusnya tidak mengindahkan warta luhur
yang pernah diwariskan. Mereka bisa sangat menyesal atas perbuatan yang tidak
terhormat dan terpuji.
Sungguh aneh kalau tongkat estafet yang ada pada kaum
muda disia-siakan. Apa yang akan diceritakan oleh generasi berikut kalau
sejarah norma hidup sosialis dari para leluhur terdahulu itu mati pada generasi
kita? Apa yang akan menjadi pegangan hidup bagi generasi berikut, kalau
generasi muda kini mematikan atau tidak meneruskan nilai luhur itu? Untuk
mengangkat nilai-nilai kebenaran, keadilan, penghormatan terhadap harkat dan
martabat manusia serta mengangkat jati diri kita sebagai manusia Papua adalah
tugas “para golongan putih.” Siapakah “para golongan putih itu?” jawaban ada
pada kita masing-masing, silahkan menjawabnya. (Fr. Honaratus Pigai)
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."