Derita warga adat Arso, berlanjut
hingga kini. Investasi sawit yang masuk ke Keerom, baik dalam wujud perusahaan
negara maupun swasta, makin menjauhkan Orang Arso dari lahan adat mereka. Foto:
Sapariah Saturi
“Penciptaan dunia terjadi dua kali.
Dunia pertama adalah dunia yang penuh kedamaian dan kesejahteraan. Manusia
sebagai ciptaan dan Kwembo-sang Pencipta, hidup bersama dalam artian manusia
dapat melihat, menyentuh dan berbicara dengan Kwembo. Namun, dunia dan
kehidupan yang penuh kedamaian ini berubah karena ulah manusia. Mereka lantas
dikutuk oleh Kwembo dengan mengirim air bah. Akibatnya, hubungan manusia
dan Kwembo terputus, tanah itu dikutuk.”
Dalam mitologi orang Arso, Kwembo lalu
mengutus Yonggwai sebagai mesianis yang menata kembali kehidupan dunia yang
telah rusak, maka terjadilah penciptaan kedua. Manusia yang tersisa setelah
bencana air bah, lantas diperintahkan Tuhan membuat kehidupan. Manusia bagian
dari Kwembo. Untuk itu, manusia membutuhkan bahan-bahan, mereka butuh air,
tanah dan lain-lain. Hingga alam sebenarnya bagian dari tubuh mereka. Jadi jika
kita potong pohon, itu seperti memotong tubuh sendiri,”kata Ferdinand Tuamis,
pemuda adat Arso.
Dalam mitologi mereka, manusia Arso
tidak datang dan pernah ke tempat lain di luar wilayah adat Suku Daiget.
Artinya, Orang arso diciptakan dan ditempatkan oleh Kwembo di wilayah
hukum adat Daiget sejak awal penciptaan hingga sekarang. Suku Daiget belakangan
lebih dikenal dengan sebutan Suku Arso.
Orang-orang Arso saat ini, termasuk
ketua Suku Daiget –Bapak Servo Tuamis adalah keturunan orang-orang
terpilih yang selamat dari bencana bah dan berhasil membangun kehidupan turun
temurun.
Namun, kehidupan aman tenteram itu
berubah setelah penentuan pendapat rakyat Papua pada 1969, setidaknya itu yang
diingat oleh Ferdinand Tuamis–generasi ketujuh marga Tuamis, salah satu warga
Keerom yang berhasil meraih gelar sarjana.
Penentuan pendapat rakyat Papua
disingkat Pepera merupakan penentuan nasib sendiri rakyat Papua untuk bergabung
dalam Indonesia atau tidak. Saat itu, suara sekitar 800 ribu penduduk Papua
hanya diwakili 1.025 orang yang duduk di Dewan Rakyat Pepera. Mereka bulat
menyatakan bagian dari NKRI. Keputusan ini digugat tokoh-tokoh dam masyarakat
Papua. Mereka menuduh Pepera dengan cara curang dan di bawah tekanan militer.
Situasi ini melatari lahirnya gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Human Right Watch (2007) menyebutkan sejak 1969, ketika menjadi
bagian Indonesia, hingga Oktober 1998, lima bulan setelah mantan Presiden
Soeharto, jatuh, status Papua adalah Daerah Operasi Militer (DOM).
“Setelah Pepera orang-orang Arso
ketakutan dan lari ke hutan. Ada yang mati ditembak. Mereka tinggal di
hutan lama sekali. Ada yang sampai dua puluhan tahun. Ada yang lari ke Papua
Nugini. Sebagian baru kembali pada 2003, saat repatriasi antara Indonesia
dengan Papua Nugini.”
Di dalam hutan, mereka tak berani
beraktivitas seperti di Kampung Arso. “Kami tak berani menyalakan api karena
takut tentara Indonesia tahu. Kami lari ke hutan pasti mereka tuduh OPM.
Jika kami tinggal di desa pasti mereka masih tuduh kami mata-mata OPM.
Begitupun saat berhadapan dengan OPM, mereka tuduh kami mata-mata TNI.
Demikianpun ketika kami berupaya menyebrang ke wilayah negara tetangga
harus berhadapan dengan tentara Indonesia dan tentara Papua Nugini di
perbatasan.”
“Kami serba salah, mundur kena maju
kena,” katanya.
Selama di hutan, mereka tak bisa
melakukan ritual-ritual adat di lokasi-lokasi keramat hampir dua puluh
tahun. Tak hanya ritual adat yang ditinggalkan, banyak orang tua yang
mengetahui sejarah wilayah Keerom, meninggal saat mengungsi di hutan.
Paska Pepera 1969 ini babak penting
bagi masyarakat adat Arso, saat mereka tak melakukan ritual adat di
tempat-tempat keramat hingga bertahun-tahun kemudian. Ini seperti terlepas dari
ikatan, dengan tanah, ikatan dengan ibu, ikatan dengan Ma.
“Ma, punya tiga makna bagi masyarakat
adat Arso Kabupaten Keerom Papua, bisa berarti tanah, susu ibu, dan bermakna
ibu,” kata Ferdinand Tuamis. Saat ikatan dengan tanah melemah, maka ikatan
sebagai masyarakat adat juga melemah. Apalagi, banyak orang-orang tua yang
meninggal saat lama hidup di hutan.
Menurut dia, situasi ini tak hanya
terjadi di Keerom juga hampir seluruh Papua kala itu, khusus wilayah
perbatasan.
“Kepala suku kami, Pak Servo umur
sekitar 62 tahun, namun orang-orang berumur di atas dia, sudah banyak yang
meninggal. Orang-orang yang lahir tahun 1960-an saja yang masih banyak,”
ucap Ferdinand.
Saat belum semua orang Arso kembali ke
kampung setelah mengungsi bertahun-tahun dalam hutan, pada 1982, mereka
kedatangan tamu, PT Perkebunan Nusantara II. “Sehari sebelumnya, saya
disuruh tanda tangan karena besok doser[1] akan
datang. Mereka bilang Sagu dan sawit bisa hidup berdampingan karena sama-sama
punya duri,”, ujar Pak Servo di depan Komisoner Inkuiri Adat, 26 November 2014
di kantor Kementerian Hukum dan HAM Jayapura. ”Hanya sebagian yang tanda
tangan, sisanya masih banyak lari di hutan. Kami ditodong pakai senjata oleh
tentara agar mau tanda tangan.”
Akhirnya, kala itu sekitar 500 hektar
lahan dilepaskan untuk PTPN II. Perusahaan perkebunan milik negara ini mulai
menebas hutan, meratakan lahan dan membuat pembibitan tanaman sawit. Banyak
orang Arso bekerja di pembibitan, mereka mendapat bayaran Rp500–Rp2.000
perpolibag bibit sawit.
Namun ketenangan di sekitar kebun sawit
ini tak lama. Tiga tahun kemudian, pada 1985, masyarakat Arso menemukan fakta
ada surat pernyataan pelepasan lahan yang diberikan pemerintah kepada PTPN II
dan luas mencapai 50.000 hektar. Sejak itu, masyarakat mulai protes baik
kepada instansi pemerintah dan perusahaan.
Setelah Pepera, yang membuat Orang Arso
menjauh dari wilayah hidup mereka, muncul transmigrasi dan investasi sawit yang
makin menghimpit dan memperpanjang penderitaan mereka. Foto: Sapariah Saturi
Meski berkali-kali protes, orang-orang
Arso tak bisa berbuat banyak. Wilayah perbatasan Papua selalu menjadi wilayah
yang khusus, wilayah operasi militer perbatasan negara, lengkap dengan
penempatan pos-pos tentara dengan jarak tertentu. Wilayah ini juga menjadi
pelarian anggota OPM. Lengkap sudah, keberadaan PTPN II, OPM dan hutan
perbatasan negara tetangga menjadi alasan cukup bagi tentara Indonesia
menjadikan wilayah Keerom salah satu prioritas pengamanan.
Masalahnya, pengamanan menurut
negara, bukan berarti rasa aman bagi warga Keerom.
Yang pasti, yang merasa aman
adalah PTPN II dan perkebunan sawit skala besar lain di Keerom yang tumbuh
pesat. Pada 2012, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Papua, Melkias Monim
mengumumkan kebun sawit terluas di Papua berada di Keerom. Total 38.000 hektar,
masing masing dimiliki 13.000 hektar oleh PTPN II, 23.000 hektar PT
Tandan Sawita Papua itu grup PT Rajawali Grup, sisanya milik PT Palai Abadi.
Meski Rajawali Group paling luas kebun
sawitnya, namun sang pionir tetap PTPN II yang mulai membuka lahan sawit sejak
1982. Perusahaan dan pemerintah juga memprakarsai transmigran dari Jawa melalui
program transmigrasi perkebunan inti rakyat (PIR) pada 1989. Transmigrasi PIR
menyedikana buruh murah bagi PTPN II.
Saat itu usia Ferdinand Tuamis dua
belas tahun. “Tiap keluarga mendapat dua hektar lahan sawit, rumah kecil,
pekarangan juga lahan usaha.” Kala itu, umur pohon sawit mencapai 6-7 tahun.
Pada umur 4–5 tahun sebenarnya sawit sudah berbuah. “Buah muda namanya, dia
masih pendek dan buah bisa dipetik langsung.”
Celakanya, para transmigran tak bisa
memetik tandan sawit karena pabrik minyak sawit mentah PTPN II baru dibangun
dan beroperasi 1992. Sawit menjadi tak terawat hingga batang menjulang
tinggi mencapai 10 meteran. Selama menunggu sawit bisa dipanen, mereka
tak punya penghasilan, selain menanam di lahan usaha. Lahan yang disediakan
perusahaan untuk menanam jenis hortikultura, macam cabai , tomat, sayuran dan
lain-lain.
Tak hanya transmigran yang masuk program
PIR. Perusahaan ternyata memasukkan masyarakat adat Arso juga menjadi bagian
program PIR. Mereka juga mendapatkan lahan bersertifikat. “Kami punya tiga
sertifikat, sertifikat lahan sawit, perumahan dan pekarangan sertifikat lahan
usaha.”
Bayangkan. Orang Arso, ”tuan
rumah” wilayah Keerom harus menyerahkan lahan kepada PTPN II. Lantas tanah ini
melalui program PIR sawit diberikan perusahaan kepada orang-orang Arso seluas
dua hektar, beserta rumah, pekarangan dan lahan usaha- total tak sampai tiga hektar.
Mereka harus merawat kebun sawit itu tanpa bayaran. Jika panen menjual kepada
PTPN II sebagai penguasa satu-satunya pabrik sawit di lokasi itu.
“Seperti mas Joko dan mas Susilo
dari Jawa yang dapat jatah rumah. Saya juga dapat jatah rumah , mereka
bayar kredit, saya juga harus bayar kredit atas utang yang dibuat oleh
perusahaan,”kata Bapa Servo.
Tak hanya itu, mereka juga harus
membayar cicilan kepada PTPN II, baik transmigran maupun orang Arso. Sebab
mereka tinggal di lahan sawit yang telah disiapkan PTPN II, tak perlu
membersihkan lahan dan menanam. Itu semua oleh perusahaan dihitung sebagai
utang. Utang ini bervariasi sesuai umur tanaman sawit. Pembayaran baik
perkelompok–tiap afdeling dan perkeluarga.
“Tiap afdeling terdiri dari 20
keluarga, biasa berbeda-beda marga. Kami harus membayar Rp100 juta. Baru
selesai dibayar enam sampai tujuh tahun kemudian,” ujar Ferdinand. Dia
mencermati model afdeling dan membuat perpecahan antar marga, yang tak terjadi
sebelumnya. Sebab marga A bisa memiliki lahan sawit di wilayah milik warga B,
pun sebaliknya yang memicu perseteruan antarmarga.
Pepera 1969 membuat orang Arso
meninggalkan kampung, hingga membentangkan jarak masyarakat adat dengan
tempat-tempat keramat mereka di kampung. Meskipun kini mereka kembali ke Arso,
namun tak serta merta mereka bisa memulihkan hubungan mereka dengan
Penciptanya, dengam Ma, dengan tempat-tempat keramat. Kehadiran transmigrasi
PIR dan PTPN II justru menghilangkan tempat-tempat keramat itu.
Dulu, masyarakat Arso memiliki
tempat-tempat sakral, tempat melaksanakan ritual adat Suku Diaget. Gunung
Sanggerya yang sekarang dikenal dengan nama Arso 1 merupakan tempat pemujaan
kepada Yongwai atau leluhur yang tertinggi. Kini, tempat itu
berganti nama menjadi Arso 1, perkampungan transmigran. Kampung Tua atau
Yakrabu, tempat keramat lain yang diyakini sebagai tempat peristirahatan atau
persinggahan para leluhur yang melakukan perjalanan. Lambat laun berubah nama,
sekarang lebih dikenal sebagai PIR 1, atau singkatan PIR 1. “Gunung Sanggerya
masih ada puncak, tapi hutan-hutan di kaki gunung sudah terbongkar,” kata
Bapa Servo.
Meskipun telah berjuang puluhan tahun
menuntut hutan adat yang dirampas perusahaan sawit, orang Arso baru mengetahui
jika PTPN II ternyata tak memiliki hak guna usaha (HGU) perkebunan sebagai
syarat membuka kebun sawit. Perusahaan baru memiliki izin HGU setelah 16 tahun
alih fungsi hutan adat menjadi kebun sawit. Fakta ini baru terungkap saat DKU
Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum adat di wilayah hutan, yang digelar di Jayapura,
26–28 November 2014. Atau setelah 32 tahun PTPN II beroperasi
di Keerom.
*Siti Maimunah, Penulis
adalah Fellow Researcher Sajogyo Institute dan anggota Tim Kerja Perempuan dan
Tambang (TKPT). Artikel ini merupakan opini penulis.