Orang Arso, Pepera 1969 dan Perkebunan Sawit



Derita warga adat Arso, berlanjut hingga kini. Investasi sawit yang masuk ke Keerom, baik dalam wujud perusahaan negara maupun swasta, makin menjauhkan Orang Arso dari lahan adat mereka. Foto: Sapariah Saturi
 
“Penciptaan dunia terjadi dua kali. Dunia pertama adalah dunia yang penuh kedamaian dan kesejahteraan. Manusia sebagai ciptaan dan Kwembo-sang Pencipta, hidup bersama dalam artian manusia dapat melihat, menyentuh dan berbicara dengan Kwembo. Namun, dunia dan kehidupan yang penuh kedamaian ini berubah karena ulah manusia. Mereka lantas dikutuk oleh Kwembo dengan mengirim air bah. Akibatnya,  hubungan manusia dan Kwembo terputus, tanah itu dikutuk.”

Dalam mitologi orang Arso, Kwembo lalu mengutus Yonggwai sebagai mesianis yang menata kembali kehidupan dunia yang telah rusak, maka terjadilah penciptaan kedua. Manusia yang tersisa setelah bencana air bah, lantas diperintahkan Tuhan membuat kehidupan. Manusia bagian dari Kwembo. Untuk itu, manusia membutuhkan bahan-bahan, mereka butuh air, tanah dan lain-lain. Hingga alam sebenarnya bagian dari tubuh mereka. Jadi jika kita potong pohon, itu seperti memotong tubuh sendiri,”kata Ferdinand Tuamis, pemuda adat Arso.

Dalam mitologi mereka, manusia Arso tidak datang dan pernah ke tempat lain di luar wilayah adat Suku Daiget. Artinya,  Orang arso diciptakan dan ditempatkan oleh Kwembo di wilayah hukum adat Daiget sejak awal penciptaan hingga sekarang. Suku Daiget belakangan lebih dikenal dengan sebutan Suku Arso.

Orang-orang Arso saat ini, termasuk ketua Suku Daiget –Bapak Servo  Tuamis adalah keturunan orang-orang terpilih yang selamat dari bencana bah dan berhasil membangun kehidupan turun temurun.

Namun, kehidupan aman tenteram itu berubah setelah penentuan pendapat rakyat Papua pada 1969, setidaknya itu yang diingat oleh Ferdinand Tuamis–generasi ketujuh marga Tuamis, salah satu warga Keerom yang berhasil meraih gelar sarjana.

Penentuan pendapat rakyat Papua disingkat Pepera merupakan penentuan nasib sendiri rakyat Papua untuk bergabung dalam Indonesia atau tidak. Saat itu, suara sekitar 800 ribu penduduk Papua hanya diwakili 1.025 orang yang duduk di Dewan Rakyat Pepera. Mereka bulat menyatakan bagian dari NKRI. Keputusan ini digugat tokoh-tokoh dam masyarakat Papua. Mereka menuduh Pepera dengan cara curang dan di bawah tekanan militer. Situasi ini melatari lahirnya gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).  Human Right Watch (2007) menyebutkan  sejak 1969, ketika  menjadi bagian Indonesia, hingga Oktober 1998, lima bulan setelah mantan Presiden  Soeharto, jatuh, status Papua adalah Daerah Operasi Militer (DOM).

“Setelah Pepera orang-orang Arso ketakutan  dan lari ke hutan. Ada yang mati ditembak. Mereka tinggal di hutan lama sekali. Ada yang sampai dua puluhan tahun. Ada yang lari ke Papua Nugini. Sebagian baru kembali pada 2003,  saat repatriasi antara Indonesia dengan Papua Nugini.”

Di dalam hutan, mereka tak berani beraktivitas seperti di Kampung Arso. “Kami tak berani menyalakan api karena takut tentara Indonesia tahu.  Kami lari ke hutan pasti mereka tuduh OPM. Jika kami tinggal di desa pasti mereka masih tuduh kami mata-mata OPM. Begitupun saat berhadapan dengan OPM, mereka tuduh kami mata-mata TNI.  Demikianpun ketika kami berupaya menyebrang ke wilayah negara tetangga harus berhadapan dengan tentara Indonesia dan tentara Papua Nugini di perbatasan.”

“Kami serba salah, mundur kena maju kena,” katanya.

Selama di hutan, mereka tak bisa melakukan ritual-ritual adat di lokasi-lokasi keramat  hampir dua puluh tahun. Tak hanya ritual adat yang ditinggalkan, banyak orang tua yang  mengetahui sejarah wilayah Keerom, meninggal saat mengungsi di hutan.

Paska Pepera 1969 ini babak penting bagi masyarakat adat Arso, saat mereka tak melakukan ritual adat di tempat-tempat keramat hingga bertahun-tahun kemudian. Ini seperti terlepas dari ikatan,  dengan tanah, ikatan dengan ibu, ikatan dengan Ma.

“Ma, punya tiga makna bagi masyarakat adat Arso Kabupaten Keerom Papua, bisa berarti tanah, susu ibu, dan bermakna ibu,” kata Ferdinand Tuamis. Saat ikatan dengan tanah melemah, maka ikatan sebagai masyarakat adat juga melemah. Apalagi, banyak orang-orang tua yang meninggal saat lama hidup di hutan.

Menurut dia, situasi ini tak hanya terjadi di Keerom juga hampir seluruh Papua kala itu, khusus wilayah perbatasan.

“Kepala suku kami, Pak Servo umur sekitar 62 tahun, namun orang-orang berumur di atas dia, sudah banyak yang meninggal.  Orang-orang yang lahir tahun 1960-an saja yang masih banyak,” ucap Ferdinand.

Saat belum semua orang Arso kembali ke kampung setelah mengungsi bertahun-tahun dalam hutan, pada 1982, mereka kedatangan tamu, PT Perkebunan Nusantara II.  “Sehari sebelumnya, saya disuruh tanda tangan karena besok doser[1] akan datang. Mereka bilang Sagu dan sawit bisa hidup berdampingan karena sama-sama punya duri,”, ujar Pak Servo di depan Komisoner Inkuiri Adat, 26 November 2014 di kantor Kementerian Hukum dan HAM Jayapura.  ”Hanya sebagian yang tanda tangan, sisanya masih banyak lari di hutan. Kami ditodong pakai senjata oleh tentara agar mau tanda tangan.”

Akhirnya, kala itu sekitar 500 hektar lahan dilepaskan untuk PTPN II. Perusahaan perkebunan milik negara ini mulai menebas hutan, meratakan lahan dan membuat pembibitan tanaman sawit. Banyak orang Arso bekerja di pembibitan, mereka mendapat bayaran Rp500–Rp2.000 perpolibag bibit sawit.

Namun ketenangan di sekitar kebun sawit ini tak lama. Tiga tahun kemudian, pada 1985, masyarakat Arso menemukan fakta ada surat pernyataan pelepasan lahan yang diberikan pemerintah kepada PTPN II dan luas mencapai 50.000 hektar. Sejak itu, masyarakat  mulai protes baik kepada instansi pemerintah dan perusahaan.

Setelah Pepera, yang membuat Orang Arso menjauh dari wilayah hidup mereka, muncul transmigrasi dan investasi sawit yang makin menghimpit dan memperpanjang penderitaan mereka. Foto: Sapariah Saturi

Meski berkali-kali protes, orang-orang Arso tak bisa berbuat banyak. Wilayah perbatasan Papua selalu menjadi wilayah yang khusus, wilayah operasi militer perbatasan negara, lengkap dengan penempatan pos-pos tentara dengan jarak tertentu. Wilayah ini juga menjadi pelarian anggota OPM. Lengkap sudah, keberadaan PTPN II, OPM dan  hutan perbatasan negara tetangga menjadi alasan cukup bagi tentara Indonesia menjadikan wilayah Keerom salah satu prioritas pengamanan.

Masalahnya,  pengamanan menurut negara, bukan berarti rasa aman bagi warga Keerom.

Yang pasti, yang  merasa aman adalah PTPN II dan perkebunan sawit skala besar lain di Keerom yang tumbuh pesat. Pada 2012, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Papua, Melkias Monim mengumumkan kebun sawit terluas di Papua berada di Keerom. Total 38.000 hektar, masing masing dimiliki 13.000 hektar oleh PTPN II,  23.000 hektar PT Tandan Sawita Papua itu grup PT Rajawali Grup, sisanya milik PT Palai Abadi.

Meski Rajawali Group paling luas kebun sawitnya, namun sang pionir tetap PTPN II yang mulai membuka lahan sawit sejak 1982. Perusahaan dan pemerintah juga memprakarsai transmigran dari Jawa melalui program transmigrasi perkebunan inti rakyat (PIR) pada 1989. Transmigrasi PIR menyedikana buruh murah bagi PTPN II.

Saat itu usia Ferdinand Tuamis dua belas tahun. “Tiap keluarga mendapat dua hektar lahan sawit, rumah kecil, pekarangan juga lahan usaha.” Kala itu, umur pohon sawit mencapai 6-7 tahun. Pada umur 4–5 tahun sebenarnya sawit sudah berbuah. “Buah muda namanya, dia masih pendek dan buah bisa dipetik langsung.”

Celakanya, para transmigran tak bisa memetik tandan sawit karena pabrik minyak sawit mentah PTPN II baru dibangun dan beroperasi 1992. Sawit menjadi tak terawat hingga batang menjulang  tinggi mencapai 10 meteran. Selama menunggu sawit bisa dipanen, mereka tak punya penghasilan, selain menanam di lahan usaha. Lahan yang disediakan perusahaan untuk menanam jenis hortikultura, macam cabai , tomat, sayuran dan lain-lain.

Tak hanya transmigran yang masuk program PIR. Perusahaan ternyata memasukkan masyarakat adat Arso juga menjadi bagian program PIR. Mereka juga mendapatkan lahan bersertifikat. “Kami punya tiga sertifikat, sertifikat lahan sawit, perumahan dan pekarangan sertifikat lahan usaha.”

Bayangkan. Orang Arso,  ”tuan rumah” wilayah Keerom harus menyerahkan lahan kepada PTPN II. Lantas tanah ini melalui program PIR sawit diberikan perusahaan kepada orang-orang Arso seluas dua hektar, beserta rumah, pekarangan dan lahan usaha- total tak sampai tiga hektar. Mereka harus merawat kebun sawit itu tanpa bayaran. Jika panen menjual kepada PTPN II sebagai penguasa satu-satunya pabrik sawit di lokasi itu.

“Seperti mas Joko  dan mas Susilo dari Jawa yang dapat jatah rumah.  Saya juga dapat jatah rumah , mereka bayar kredit, saya juga harus bayar kredit atas utang yang dibuat oleh perusahaan,”kata Bapa Servo.

Tak hanya itu, mereka juga harus membayar cicilan kepada PTPN II, baik transmigran maupun orang Arso. Sebab mereka tinggal di lahan sawit yang telah disiapkan PTPN II, tak perlu membersihkan lahan dan menanam. Itu semua oleh perusahaan dihitung sebagai utang. Utang ini bervariasi sesuai umur tanaman sawit. Pembayaran baik perkelompok–tiap afdeling dan perkeluarga.

“Tiap afdeling terdiri dari 20 keluarga, biasa berbeda-beda marga. Kami harus membayar Rp100 juta. Baru selesai dibayar enam sampai tujuh tahun kemudian,” ujar Ferdinand. Dia mencermati model afdeling dan membuat perpecahan antar marga, yang tak terjadi sebelumnya. Sebab marga A bisa memiliki lahan sawit di wilayah milik warga B, pun sebaliknya yang memicu perseteruan antarmarga.

Pepera 1969 membuat orang Arso meninggalkan kampung, hingga membentangkan jarak masyarakat adat dengan tempat-tempat keramat mereka di kampung. Meskipun kini mereka kembali ke Arso, namun tak serta merta mereka bisa memulihkan hubungan mereka dengan Penciptanya, dengam Ma, dengan tempat-tempat keramat. Kehadiran transmigrasi PIR dan PTPN II  justru menghilangkan tempat-tempat keramat itu.

Dulu, masyarakat Arso memiliki tempat-tempat sakral, tempat melaksanakan ritual adat Suku Diaget. Gunung Sanggerya yang sekarang dikenal dengan nama Arso 1 merupakan tempat pemujaan kepada Yongwai  atau leluhur yang tertinggi.  Kini, tempat itu berganti nama menjadi Arso 1, perkampungan transmigran. Kampung Tua atau Yakrabu, tempat keramat lain yang diyakini sebagai tempat peristirahatan atau persinggahan para leluhur yang melakukan perjalanan. Lambat laun berubah nama, sekarang  lebih dikenal sebagai PIR 1, atau singkatan PIR 1. “Gunung Sanggerya  masih ada puncak, tapi hutan-hutan di kaki gunung sudah terbongkar,” kata Bapa Servo.

Meskipun telah berjuang puluhan tahun menuntut hutan adat yang dirampas perusahaan sawit, orang Arso baru mengetahui jika PTPN II ternyata tak memiliki hak guna usaha (HGU) perkebunan sebagai syarat membuka kebun sawit. Perusahaan baru memiliki izin HGU setelah 16 tahun alih fungsi hutan adat menjadi kebun sawit. Fakta ini baru terungkap saat DKU Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum adat di wilayah hutan, yang digelar di Jayapura, 26–28 November 2014.  Atau  setelah 32 tahun PTPN II beroperasi  di Keerom.

 *Siti Maimunah, Penulis adalah Fellow Researcher Sajogyo Institute dan anggota Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT).  Artikel ini merupakan opini penulis.


Copyright © Muye Voice. Designed by OddThemes