Socratez Sofyan Yoman
Pada tanggal 26 Juni 2013, saya ada
pertemuan dengan seorang teman wartawan asing di Jakarta. Dalam
percakapan saya dengan teman wartawan hampir satu jam itu, saya bertanya. Kapan
Anda berkunjung ke Papua untuk mendapat informasi langsung di lapangan di
Papua? Teman wartawan ini menjawab: “Kami dilarang pemerintah Indonesia
berkunjung ke Papua. Saya sudah mengajukan permohonan ijin ke Papua beberapa
kali tapi pemerintah Indonesia menolak permohonan saya.” Saya bertanya
lagi. Mengapa Pemerintah Indonesia melarang dan tidak diberikan ijin
kepada Anda berkunjung ke Papua? Jawabnya: “Pemerintah Indonesia
mengatakan bagi warga asing tidak ada jaminan keamanan di
Papua. Nanti OPM menculik dan membunuh kami orang asing.”
Setelah saya mendengar jawaban ini,
saya tertawa. Teman ini kaget dan bertanya. Mengapa Socratez tertawa?
Saya menjawab: Saya tertawa karena jawaban pemerintah Indonesia itu
sangat lucu dan tanpa alasan yang jelas. Jawaban seperti ini bukan satu kali
ini saja, namun setiap wartawan asing yang saya temui selalu
mengatakan alasan yang sama. Saya mengatakan kepada teman wartawan ini,
kalau demikian, pertanyaan kita semua ialah Pemerintah Indonesia sedang
menyembunyikan apa di Papua? Pemerintah Indonesia sedang melakukan apa
terhadap orang Papua?
Wartawan asing dilarang masuk ke
Papua berarti ada sesuatu tidak beres yang disembunyikan oleh pemerintah
Indonesia. Tapi sebaliknya, kalau memang Pemerintah Indonesia selama 50 tahun
telah membangun dan memajukan orang Papua, sebaiknya wartawan asing diijinkan
masuk ke Papua untuk memotret hasil-hasil kemajuan dalam bidang pendidikan,
kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan seluruh aspek pembangunan di Papua
supaya membantu dipublikasikan kepada masyarakat Internasional.
Tapi, yang pasti dan jelas:
Orang Papua bukan penculik. Orang Papua bukan pembunuh. Orang Papua adalah
manusia-manusia yang selalu cintai damai dan menghormati martabat manusia sejak
dulu. Contoh: Sebelum Pemerintah Indonesia menduduki dan menjajah Papua
melalui Perjanjian New York 15 Agustus 1962; penyerahan secara administratif
oleh PBB kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 dan kepalsuan PEPERA
1969; sejak 5 Februari 1855 sudah ada orang kulit putih, orang asing dari
Eropa datang ke Tanah Papua sebagai Missionaris, Utusan Injil dari Eropa,
yaitu: Johann Gotlob Geisler & Carl William Ottow. Dihitung
dari kedatangan kedua orang asing ini ke Papua sejak tahun 1855,
berarti 107 tahun sebelum Pemerintah Indonesia mencaplok (menganeksasi) wilayah
Papua ke dalam Indonesia tahun 1962, orang-orang asing sudah
ada bersama orang asli Papua di Tanah Papua.
Johann Gotlob Geisller dan Carl
William Ottow tiba di Tanah Papua pada hari Minggu pagi, tanggal 5
Februari 1855, tepatnya di Teluk Doreh Mansinam, Manokwari. Mereka berkata, “Di
dalam nama Tuhan Yesus Kristus, kami menginjakkan kaki di tanah ini!” Dua orang
asing ini membawa Injil Yesus Kristus.
Tanggal 5 Februari 1855 adalah hari
yang sangat bersejarah dan juga merupakan tonggak sejarah suci dan mulia di
mana hadirnya kabar baik: Injil Yesus Kristus yang memulai peradaban orang asli
Papua. Injil adalah kekuatan Allah yang membebaskan manusia dari belenggu dosa
dan membebaskan manusia dari penindasan dan kolonialisme. Injil menghargai hak
asasi manusia, mengangkat martabat manusia, merobohkan benteng-benteng
diskriminasi dan eksploitasi hidup manusia, menghapuskan tetesan air mata dan
cucuran darah orang-orang kecil yang tertindas. Injil Yesus Kristus adalah
Injil yang sempurna milik semua umat manusia, semua suku dan bangsa.
Dua misionaris dari Jerman itu datang
ke Tanah Papua, bertemu, bersahabat, tinggal, hidup bersama, makan bersama,
menghargai, menghormati hak hidup, mengakui martabat, dan mengangkat kesamaan
derajat orang Papua. Tidak pernah dan belum pernah melukai orang Papua secara
fisik maupun mental. Ottow dan Geissler benar-benar menjadi sahabat setia orang
Papua dalam suka dan duka. Tidak ada perbedaan dan jurang pemisah. Karena ada
kasih, keadilan dan kesadamaian yang bersumber dari Salib diwartawan.
Memahami sikap, perilaku dan
kebijakan Pemerintah Indonesia yang melarang bagi para wartawan asing berkunjung
ke Papua sekarang ini sangat kontradiktif dengan misi Gereja dan
nilai-nilai hidup yang ada di tengah-tengah orang Papua.
Larangan itu lebih tepat adalah merupakan
kebijakan resmi Negara. Larangan ini dinilai sebagai pencerminan
dari (The Generative Politic) yang ditulis pak Nugroho tahun lalu
(The Jakarta Post, 10 Juli 2012). The generative politic
menurut pak Nugroho adalah pandangan-pandangan politik dan anggapan-anggapan
yang melumpuhkan, menghancurkan, dan memperburuk kondisi masyarakat Papua
yang dilaksanakan mendasari kebijakan publik oleh pemerintah Indonesia di
Papua selama 50 tahun. Untuk menyembunyikan keadaan sangat buruk,
kemiskinan telanjang dan kejahatan negara dari tahun ke tahun yang dialami
rakyat Papua, pemerintah Indonesia melarang dan tidak mengijinkan para wartawan
asing berkunjung ke Papua.
Untuk mengubah paradigma dan
kebijakan pemerintah Indonesia sudah berlangsung hampir lima dekade ini
membutuhkan perjuangan yang panjang. Seperti William Wilberforce, Anggota Parlemen
Inggris Tahun 1780, hampir 330 tahun lalu yang memperjuangkan penghapusan
perbudakan seorang diri di Parlemen Inggris selama 20 tahun, pada saat usia tua
dan masa pensiun mengatakan, “Saya memahami bahwa mengubah opini politik publik
tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi memerlukan waktu beberapa dekade.
Lagi pula, kesabaran dan ketekunan dalam mewujudkan tujuan keadilan dan
reformasi merupakan jalan menuju suatu perubahan permanen dan kemenangan
akhir!”
Lebih jauh, Wilberforce dalam
perjuangannya untuk menegakkan keadilan, mengungkapkan pesan-pesan indah
sebagai berikut: (1) Kekristenan adalah kunci bagi keadilan dan
kesejahteraan bangsa. (2) Hanya orang-orang yang benar-benar bertobat yang
dapat dipercaya untuk memperjuangkan kedamaian dan kesejahteraan umum. (3)
Bahwa satu-satunya pengharapan sejati bagi perbaikan bangsa terletak dalam
Kekristenan, maka saya tidak mempercayai ideologi apa pun yang bertentangan
dengan iman Kristen. (4) Jika kemajuan fisik dan mental menjadi satu-satunya kriteria
bagi suatu bangsa, maka bangsa tersebut akan kehilangan rohnya. (5) Tirani
dilakukan dengan alasan kestabilan sehingga penindasan semakin menjadi-jadi.
(6) Janji-janji Firman Allah telah meyakinkan saya bahwa suatu pencarian
keadilan yang didasarkan pada takut akan Allah tidak akan menimbulkan anarki,
dan sejarah membuktikan bahwa Dia benar. (7) Biarlah saya senantiasa mengingat
bahwa kewajiban saya selama di dunia bukanlah untuk bermeditasi, melainkan
untuk bertindak. (8) Yang menjadi dorongan bagi saya adalah pandangan mengenai
keberadaan manusia: Suatu pandangan yang berasal dari bagian pembukaan Kitab
Kejadian yang mengungkapkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah
[Kejadian,1:26-28].
Kalau larangan itu pemerintah
Indonesia menghubungkan dengan penyanderaan di Mapenduma tahun 1996,
penyendaraan warga Belgia di Ilaga bulan Juni 2001 dan dibebaskan Agustus
2001, penembakan turis warga Jerman, Pieper Dietmar Helmut
yangdikatakan ditembak oleh Orang Tak Dikenal OTK) di Pantai Base G
pada 29 Mei 2012. Dan berbagai bentuk kekerasan dan kejahatan kemanusiaan
di Papua hampir 50 tahun yang patut dipertanyakan di sini adalah: (1) Apakah
benar itu dilakukan oleh orang Papua? (2) Kalau itu benar, siapa yang
berdiri di belakang mereka? Siapa yang mendapat keuntungan?
Waktu saya berbicara dengan Jenderal
Maruf, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) di Jakarta pada pertengahan
bulan April 2013, saya mengatakan: “ Pak Maruf, di Papua itu ada banyak OPM
binaan. Coba pak bayangkan, apakah ada mesin jahit di hutan sehingga ada
bendera bintang Kejora yang baru dikibarkan di hutan-hutan? Apakah ada mesin
jahit di hutan sehingga ada yang menjahitnya di hutan? Apakah ada toko kain di
hutan-hutan sehingga kainnya di beli dan dijahit menjadi Bendera Bintang
Kejora? Kemudian bagaimana OPM itu mendapatkan senjata dan amunisi begitu
banyak? Sementara di seluruh Airport pintu masuk dan keluar pesawat dan
kapal di Papua dijaga ketat dan semua barang diperiksa oleh aparat keamanan
Indonesia yang bertugas. Pak Maruf menjawab: “ Saya baru tahu sekarang
ada juga OPM binaan di Papua.”
Menjadi terang bagi para pembaca
opini ini, bahwa penculikan dan penembakan yang dilakukan di Papua itu bukan
OPM murni tetapi OPM binaan. Kalau para pembaca ada yang sudah membaca buku
saya berjudul: “Pemusnahan Etnis
Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat”
(2007) yang dilarang Pemerintah Indonesia melalui Kejaksaan Agung, pada halaman
255-256, saya mengulas secara singkat: OPM Sejati dan OPM Binaan Militer
dan Polisi Indonesia. Jadi, kekerasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan,
stigma orang Papua separatis, makar dan OPM itu sengaja diciptakan
sebagai mitos dan dipelihara dan dipupuk supaya Papua itu menjadi daerah
konflik dan tertutup bagi orang asing ke Papua, daerah latihan militer, untuk
naik pangkat, untuk dapat uang banyak dan menambah pasukan dengan alasan ada
separatisme di Papua. Sementara Ottow dan Geissler tidak pernah
memberikan stigma orang Papua seperti separatis, makar, OPM, primitif, kanibal,
terbelakang, terbodoh, termiskin, tertinggal, belum maju.
Pengamat intelijen AC Manulang,
Mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) mengakui: “Bukan
tidak mungkin dan jarang terjadi jika berbagai kerusuhan di berbagai daerah
terlepas dari aktor intelektual dari Jakarta. Sangat mungkin kerusuhan ini
didesain dari Jakarta dengan berbagai tujuan. Sangat tidak logis, aparat
kepolisian tidak bisa memanfaatkan tokoh lokal yang sangat berpengaruh dan
meminta warga agar tidak lepas kendali. Rekayasa kerusuhan SARA juga akan terus
dipelihara di Maluku maupun kawasan Indonesia bagian Timur. Sekarang mulai
merambah ke wilayah Barat. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, situasi
Ambon, Lampung, Poso maupun Papua masih terus bergejolak. Ini tidak lepas dari
kepentingan elit di Jakarta.” (Sumber: Indopos: Minggu, 04 November
2012).
Pertanyaan lain adalah (1) Mengapa
OPM tidak pernah menculik orang asing sebagai misionaris yang bertugas
bertahun-tahun di daerah-daerah terpencil di pedalaman-pedalaman Papua yang
jauh dari kota? (2) Mengapa OPM tidak pernah menculik para turis asing yang
datang ke Papua pedalaman perorangan maupun rombangan? (3) Mengapa OPM
tidak culik para transmigran yang ada di dekat-dekat hutan yang jauh dari kota
hampir merata di Papua seperti: di Sorong, Manokwari, Nabire, Merauke,
Keerom-Arso?
Ada keprihatinan yang dalam bahwa
kekerasan Negara terus terjadi di Tanah leluhur orang Papua. Kenyataan
ini membuktikan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia di Tanah Papua telah
gagal melindungi dan mengindonesiakan penduduk orang asli Papua.
Keprihatinan ini sudah disampaikan oleh orang Papua dalam (a) 11
rekomendasi Musyawarah Majelis Rakyat Papua Dan Masyarakat Asli Papua pada 9-10
Juni 2010; (b) Komunike bersama pimpinan Gereja pada 10 Januari 2011; (c)
Deklarasi teologi para pemimpin Gereja 26 Januari 2011; dan (d) pesan
profetis Pimpinan Gereja Papua kepada Presiden RI, 16 Desember 2011 di Cikeas,
Jakarta.
Keprihatinan yang sama juga
disampaikan oleh negara-negara anggota PBB (Amerika Serikat, Inggris, Swiss,
Kanada, Norwegia, Korea Selatan, Jepang, Prancis, Jerman, Meksiko, Selandia
Baru, Australia, Spanyol dan Italia) dalam Sidang HAM PBB (UPR) 23
Mei 2012 di Genewa, Swiss.
Berangkat dari
kenyataan itu dalam opini ini ditegaskan bahwa pemerintah dan
aparat keamanan Indonesia sebagai bagian dari masalah kekerasan ini;
yang Negara ciptakan, pelihara, biarkan untuk melegitimasi
kekerasan-kekerasan selanjutnya di Tanah Papua dan memanfaakannya untuk
memperkuat institusi keamanan. Alasan para wartawan asing dilarang ke
Papua sudah mejadi jelas bagi para pembaca opini, yaitu: supaya mereka
tidak mengetahui dan membongkar “borok” kekerasan Negara terhadap
kemanusiaan, kemiskinan telanjang dan pemusnahan etnis penduduk asli
Papua selama 50 tahun.
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan
Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua. Juga penulis buku:
Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Tanah Papua
Barat; Suara Bagi Kaum Tak Bersuara; Integrasi Belum Selesai; West Papua:
Persoalan Internasional; Otonomi Khusus Papua Telah Gagal; Saya
Bukan Bangsa Budak; Apakah Indonesia Menduduki dan Menjajah Bangsa Papua?