Filep Karma dalam Buku “Seakang Kitorang Setengah Binatang”*

Hingga saat ini, Filep Karma masih dalam penjara di Lapas Abepura sejak sembilan tahun lalu. Pada Mei 2005, Pengadilan Negeri Abepura mendakwanya bersalah atas tuduhan “makar” setelah mengadakan aksi kemerdekaan Papua pada 1 Desember 2004. Pengadilan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara. Filep meneguhkan langkah perjuangannya walaupun di balik jeruji besi, Filep tidak pernah menerima remisi masa tahanan setiap tahun, dia menyakini bahwa menerima remisi sama dengan mengakui kesalahan atas aksinya.
Buku Seakan Kitorang Setengah Binatang, karya Filep Karma.
Setelah menyelesaikan kuliah di Jawa, Filep Karma kembali ke Papuadan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Filep Karma mengamati perlakuan diskriminasi rasial dari aparatus pemerintahan maupun dari masyarakat non Papua. Bahkan, “mereka” mengaggap dan memperlakukan manusia Papua seperti“setengah Binatang”. Filep Karma mengatakan:
“Di Jayapura, di Jalan Irian–kalangan pejuang sebut Jalan Merdeka—hampir semua toko yang dimiliki oleh orang Papua pada 1960-an, sekarang sudah bukan milik orang Papua lagi. Toko-toko tersebut sudah berpindah tangan kepada non-Papua. Diambil alih dengan cara kasar. Kadang dengan menuduh orang Papua tersebut OPM, maka saat orang itu ditangkap, semua asetnya berpindah tangan ke non-Papua”.
Filep Karma sempat sekolah di Manila, Filipina, dan merasakan perlakuan yang berbeda yang di berikan orang-orang Filipina terhadapnya dibandingkan dengan perlakukan orang Indonesia semasa kuliah di Solo.
Di Manila, saya dihargai sebagai manusia dan tak ada pelecehan, penghinaan atau perlakuan diskriminasi. Itu yang saya rasakan dalam pergaulan. Contoh ketika saya berbelanja di supermarket atau di pasar. Dalam pergaulan dengan masyarakat, saya merasa dihargai, sebagai sesama seperti mereka. Jadi saya dianggap bagian dari mereka atau dalam istilah Jawa diwongke atau dimanusiakan, tidak seperti yang pernah saya alami di Papua atau di Jawa.
Selama sekolah di Jawa, kitorang yang dari Papua, sering dianggap setengah binatang. Kitorang dianggap seakan-akan kitorang evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia.
Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah di Solo. Jadi mereka bukan dari masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari kalangan berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Seringkali orang Papua dikata-katai, “Monyet! Ketek! Begitu.”
Akan tetapi, perjuangan Papua tidak dapat dimenangkan jika dilandasi dengan rasialisme, perjuangan Papua harus mencontoh bagaimana pengalaman awal pembangunan bangsa Indonesia hingga merdeka. sehingga, sejak awal pembangunan nasionalisme Papua harus memiliki prinsip yaitu kemanusiaan, kebenaran dan keadilan.
“Bangsa Papua, bagi saya, orang yang mau mengorbankan jiwa raganya untuk kepentingan bangsa Papua dan tanah Papua. Itulah yang orang Papua. Tanpa melihat silsilah dan keturunan. Sebab dalam pengalaman saya, selama ini ada juga teman-teman saya, yang ciri – cirinya Melanesia tidak ada pada dirinya, tetapi hatinya Papua”
Menurut Filep Karma, bahwa bangsa Papua adalah tiap orang yang mengakui bahwa dirinya orang Papua, mencintai bangsa Papua dan rela berkorban bagi bangsa Papua. Ini tanpa melihat suku, etnis dan bahasa. Filep Karma dalam orasinya menegaskan secara sederhana tentang konsep nasionalisme Papua.
“Bahwa orang Papua bukan selalu kulit hitam, rambut keriting. “Di Jawa, ada orang rambut lurus, orang Jawa asli, dia juga peduli pada kita orang. Suatu saat kalau Indonesia kejar dan bunuh orang ini, Sobat kau datang!”
tegas Filep Karma dalam  orasinya dilansir dari Youtube.com
Filep Karma menyadari bahwa perjuangan kemerdekaan Papua butuh berbagai macam siasat, salah satunya mendapatkan pengakuan dari negara-negara di dunia. Pada sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dihadiri sebanyak 194 negara mensyaratkan bila papua serius ingin merdeka maka setidaknya harus mendapatkan dukungan 130 negara. Sementara, sekarang ini hanya negara Vanuatua (salah satu negara di Kepulauan Pasifik) yang secara terbuka mendukung kemerdekaan Papua.
Filep Karma juga menekankan pentingnya demokratisasi di dalam alat perjuangan (persatuan) untuk kemerdekaan Papua, karena masih terdapat ego sentris yang kuat di berbagai kelompok suku Papua.
Penekanan Filep Karma tentang pentingnya alat politik, harus ada pembenahan organisasi – organisasi perjuangan di Papua. Saat ini, persatuan antara faksi-faksi organisasi Papua masih sulit. Masih ada nuansa saling menjelekan cara berjuang dan masih saling menjatuhkan metode perjuangan.
Filep Karma meyakini bahwa Papua dapat dimenangkan dengan cara-cara demokratis/damai, damai dalam pengertian berjuang memenangkan gagasan dalam masyarakat minsalnya menyampaikan aspirasi secara damai, sopan dan santun, tanpa menindas orang lain.
“Cara berdemokrasi Ini yang sangat perlu bagi orang Papua. Kita mau duduk bersama, saling mendengar, saling mengalah dan kalau kita mau memilih pemimpin, mari kita tempuh cara demokratis,” kata Filep dalam buku “Seakan Kitorang Setengah Binatang”.
Filep Karma juga  menekankan pentingnya melakukan penyadaran/ideologisasi terus menerus terhadap masyarakat Papua. Bahwa perbedaan tetaplah perbedaan tidak dapat di paksakan menjadi satu. Misalnya, orang gunung tetap pada karakteristiknya tidak mungkin dipaksa untuk mengikuti karakter orang pantai. Yang penting adalah rasa solidaritas terhadap penderitaan di Pantai orang Gunung juga merasakannya.
Saat ini lembaga-lembaga pendidikan resmi, dari Sekolah Dasar (SD) sampai Universitas, dari surat kabar sampai media-media di Internet, dikuasai oleh pemerintah Indonesia. Bahkan saat ini pemerintah Indonesia memblokir salah satu media internet Papua (Papuapost.com) atas permintaan tentara. Filep Karma menggaris bawahi pentingnya melakukan pendidikan-pendidikan sederhana dari mulut ke mulut, atau lewat pertemuan-pertemuan sederhana, arisan keluarga atau pelatihan khusus untuk kader politik. Merekalah nantinya yang akan bertanggung jawab untuk menyebarkan gagasan perjuangan pada masyarakat luas dalam demonstrasi, rapat akbar, panggung orasi, dll.
Sejak awal, perjuangan mesti dilandasi dengan kepentingan perjuangan kelas masyarakat lain yang ditindas, dengan melakukan dan meningkatkan solidaritas terhadap seluruh masyarakat yang tertindas, persoalan perburuhan, mahasiswa, tani dll.
“Kitorang di Papua juga harus belajar untuk mengubah pola-pola. kalau di Jakarta saat ini ada demonstrasi buruh menuntut perbaikan gaji, kitorang di Papua juga harus turun jalan mendukung apa yang teman-teman buruh di Jakarta suarakan. Ada ketidakadilan pada perempuan di Jakarta kita di Papua juga harus ikut aksi itu. Menyatakan solidaritas!”
tulis Filep dalam bukunya.
***
*Diambil dari: solidaritas.net
Copyright © Muye Voice. Designed by OddThemes