Cinta (mencintai-dicintai) akan membuat kita memiliki pesona dalam kehidupan. (Foto: Ist) |
Hidup adalah mencinta, karena jika kita kehilangan cinta, kasih sayang dan kebaikan dalam hidup ini, maka kita kehilangan semua yang dapat memberi pesona pada kehidupan.
Oleh: Nova Lumempouw
Realitas dan pengalaman hidup
manusia kini menunjukkan begitu banyak konflik yang terjadi dalam hubungan
antarmanusia. Benarlah yang dikatakan seorang filsuf Jean Paul-Sartre, manusia
adalah “neraka bagi orang lain”. Konflik merupakan inti setiap hubungan antar
manusia. Begitu banyak konflik dalam hubungan antarmanusia yang kini bisa kita
lihat, mulai dari konflik antar negara sehingga terhadi peperangan, konflik antar
agama dan suku dan budaya, konflik dalam pekerjaan, konflik antara suami dan
isteri sehingga terjadi begitu banyak perceraian, konflik orang tua dan anak,
konflik antar kelompok, konflik antar sahabat, dan konflik antara sepasang
kekasih yang saling mencintai. dan begitu banyak konflik lain yang terjadi.
Jika begitu banyak konflik yang
terjadi, apakah ada rasa saling menghargai? Menghormati? Adakah cinta? Apakah
cinta masih bernilai? Berangkat dari pemikiran seorang Gabriel Marcel, kita
mencoba memahami konflik dari sudut pandangan hidup yang bermakna, sebagai
titik pijak mendalami pertanyaan selanjutnya tentang cinta. Tulisan ini juga
kiranya mungkin menjadi tambahan refleksi di momen Hari Kasih Sayang (Valentine
Day), yang tepat dirayakan pada hari ini.
Hidup bermakna dalam konflik
Saya pertama-tama mulai dari
gagasan Marcel tentang hidup bermakna. Hidup yang “bermakna” bagi Marcel,
terwujud apabila situasi-situasi fundamental saya melibatkan seluruh eksistensi
saya sehingga memuaskan budi serta pikiran dan mencapai kemungkinan optimalnya.
Manusia seringkali cenderung individualistis dengan mengutamakan ke
“aku”-annya. Akibatnya, muncul ketidakpekaan terhadap keberadaan orang lain di
sekitarnya. Jean-Paul Sartre merumuskan manusia sebagai seorang “bagi dirinya”,
yaitu makhluk yang hidup dengan sadar dan bebas untuk diri sendiri. Itulah
sebabya ia sedemikian berpangkal pada dirinya, sehingga orang lain dilihat
sebagai ancaman bagi kebebasannya.
Dengan mengingat bahwa tiap
orang adalah seorang “bagi-dirinya”, maka manusia harus mencoba untuk
mempertahankan otonomi itu dan menolak tiap-tiap pendekatan orang lain yang
bermaksud mengurangi kemandiriannya dan kebebasannya. Maka dari itu hubungan
antarpribadi adalah medan yang penuh ketegangan dan konflik terus-menerus
antara oknum-oknum yang masing-masing bertekad dan memang mesti begitu untuk
mempertahankan diri. Ego atau “aku” mempunyai peran utama untuk menghidupkan
situasi kebersamaan serta persekutuan yang baik dan bermakna. Artinya diri kita
sendiri memiliki peran penting dalam membangun hidup yang lebih bermakna.
Marcel meyakini bahwa “aku”
hanya mungkin mencapai kesempurnaan, kalau ia mengarahkan diri kepada orang
lain atau “engkau”. Pada dasarnya manusia itu terbuka terhadap orang lain,
sehingga tanpa menghayati itu hidupnya mustahil memadai bagi panggilannya yang
paling inti. Ada dua bentuk refleksi dalam hidup, refleksi yang pertama adalah
yang bersifat objektif di mana semua yang terjadi dalam hidup di pandang dengan
terpilah-pilah dalam ruang dan waktu, di pandang sebagai problem/konflik.
Sedangkan refleksi yang kedua,
memandang bahwa kehadiran orang lain dalam hidup adalah misteri. Kehadiran yang
dimaksud tidak hanya hadir begitu saja, tetapi kehadiran yang sunguh-sungguh
mempengaruhi hidup Yang lain, sebaliknya Yang lain juga hadir mempengaruhi
hidupku. “Kehadiran” ini direalisasikan secara istimewa dalam cinta.
Keterbukaan adalah suatu sikap dari subjek untuk dapat dengan rela mengenal dan
dikenal oleh orang lain. Jika individu telah bersedia untuk bersikap terbuka
terhadap diri sendiri dan orang lain maka berbagai tendensi untuk
mengobjektivikasi dan memanipulasi diri sendiri dan orang lain mutlak tidak
akan dilakukan.
Fundamen dari cara berada
manusia adalah dorongan untuk selalu mengarah kepada keterbukaan kepada yang
lain sehingga manusia tak dapat hidup sendiri dan terisolasi. Manusia harus
berada dalam hubungan kekeluargaan atau yang oleh Marcel disebut sebagai hubungan
intersubjektif (kehadiran, perjumpaan, dan kebersediaan) kita untuk mencintai
orang lain.
Hidup adalah mencinta
Dalam pandangan Marcel, cinta
berasal dari hakikat terdalam dalam diri manusia. Cinta masuk ke dalam diri
manusia seperti sebuah panggilan: cinta memanggil manusia untuk mencintai orang
lain. Cinta merupakan sebuah pengalaman konkret dan personal yang hanya dapat
dirasakan dan dipahami oleh orang yang terlibat di dalamnya, orang yang
dicintai dan orang yang mencintai.
Marcel memberikan distingsi
antara mencintai sebagai sebuah fakta objektif dan cinta sebagai sebuah
aktivitas eksistensial. Cinta sebagai sebuah kegiatan eksistensial berarti,
cinta adalah suatu “proses gerakan batin yang tidak kelihatan” (Haryadi, 1994,
p.76). Mencintai mengandung makna kesinambungan bahwa mencintai adalah suatu
proses yang terus berlangsung dan tak pernah berhenti. Saya mencintai kamu
berarti saya mencintai kamu sepanjang waktu, dan disepanjang waktu itu pula lah
saya tidak akan pernah berhenti mencintaimu.
Marcel mengatakan bahwa
mencintai berarti mengatakan “kamu tidak akan mati” artinya, meskipun orang
yang kita cintai telah meninggal, ia akan tetap ada, di cintai dalam hati kita.
Sementara itu, sebagai sebuah fakta objektif mencintai berarti mencintai telah
terjadi, kelihatan, dan bisa diamati. Karena itu, cinta bisa ditempatkan dalam
kategori ruang dan waktu dan bisa dideskripsikan.
Memandang cinta sebagai sebagai
fakta berarti kita melihat cinta sebagai problem karena jika kita hanya
mencintai karena apa yang kelihatan, dia ganteng, dia kaya, dia cantik, dia
sexy, dan lain-lain. Maka jika kegantengan, kekayaan, kecantikan itu hilang
maka cintapun ikut lenyap. Sedangkan apabila cinta dipahami sebagai suatu
aktivitas eksistensial, cinta akan menjadi misteri. Kita mencintai dengan hati,
mencintai dari kekurangan, selalu hadir, terbuka, bersedia untuk selalu setia.
Mencintai seperti gambaran
Marcel mungkin terlalu ideal, karena seperti yang dikatakan oleh Sartre bahwa
hidup adalah pertentangan semata-mata, namun konflik itu jelas bukan merupakan
hubungan yang autentik. Kita harus melihat apa yang bermakna, karena pada
dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain, manusia selalu terarah
kepada orang lain. Bahwa dalam hidup, ketika kita bersedia, terbuka, dan
menghargai keberlainan dengan sesama maka kita tidak hidup dengan sia-sia. Kita
memberi makna. Kita menghargai, mencintai, menghormati, dan berlaku setia untuk
orang-orang yang kita cintai yang hadir dalam kehidupan kita.
Dalam kehidupan bermasyarakatpun,
dari satu sisi konflik-konflik juga bisa memperlihatkan dinamika kehidupan
masyarakat yang tampil secara nyata dalam pengalaman kita sehari-hari dimana
nilai-nilai saling diperjuangkan dan bertabrakan satu sama lain. Namun, perlu
disadari bahwa konflik-konflik itu seharusnya bermuara pada upaya pembangunan
manusia agar bisa hidup bersama, perlu saling menghormati sebagai “manusia” dan
bukan sebagaimana dikhawatirkan Marcel menjadi arena unjuk rasa, semacam
“teknik degradasi” dimana orang memperlakukan orang lain, bukan sebagai
“sesama”nya yang mampu berbicara dan berpendapat, tetapi sebagai “barang
rongsokan” yang bisa diperlakukan semena-mena untuk bisa dimanipulasi.
Marcel menegaskan bahwa hidup
bersama seharusnya menjadi kesempatan dialogal, saling berbagi antarpribadi.
Kehadiran orang lain tidak berada dalam posisi mengeliminasi tetapi sebagai
partner dialog. Dalam hubungan antargamapun masih di lihat sebagai
“problem-problem” yang harus dipecahkan, seolah-olah sama dengan ketika orang
harus berhadapan dengan lawan politiknya dalam kancah persaingan atau perebutan
kuasa dan pengaruh.
Bagi Marcel, hubungan
antarmanusia dalam level religius kiranya harus merasuki dunia hubungan
antarpribadi, yaitu di mana yang ada hanyalah keinginan terdalam setiap orang
untuk saling menaruh hormat dan cinta serta menerima yang lain sebagai
“engkau”. Kebersediaan untuk menerima keberlainan, keunikan orang lain. Hidup
adalah mencinta, karena jika kita kehilangan cinta, kasih sayang dan kebaikan
dalam hidup ini, maka kita kehilangan semua yang dapat memberi pesona pada
kehidupan.
*Nova Lumempouw adalah
Mahasiswa Magister Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."