Pembubaran paksa diskusi aliansi mahasiswa Papua di Surabaya – kontras.or.id |
Oleh: Jhon Gobai
Pembubaran diskusi film dokumenter “Biak Berdarah” yang digelar oleh mahasiswa Papua Surabaya dan direpresi oleh rombongan camat Tambaksari, TNI/Polri dan Satpol PP dengan alasan operasi yustisi, terlihat sangat berlebihan dan diskriminatif. Singkatnya, kronologi yang dihimpun oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasaan (Kontras) Surabaya (6 Juli 2018)— yang juga bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mengadvokasi korban (baca: Mahasiswa Papua)—ber-kesimpulkan bahwa camat Tambaksari menjalankan operasi yustisi dengan “pasukan” TNI/Polri, dan satpol PP. Atau singkatnya, pembubaran diskusi berkedok operasi yustisi.
Dengan kekuatan militer membubarkan diskusi 20 tahun “Biak Berdarah”. Lebih dari 100 anggota TNI/Porli itu datangi 30-an mahasiswa peserta diskusi itu dengan tampak dalam beberapa poto yang diunggah di medis sosial (facebook), beberapa anggota polisi mengenakan baju hitam membawa senjata laras panjang; dan semaunya anggota polisi melecehkan (memegang buah dadanya) satu orang peserta diskusi.
Tindakan represif dan diskriminasi seperti ini sering terjadi. Pada 1 Juli 2018, diskusi mahasiswa Papua di Malang, Jawa Timur dibubarkan paksa oleh TNI/Polri. Dalam rekaman video yang diunggah laman facebook Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), ungkapan rasis hingga makian ormas pun dilemparkan kepada mahasiswa Papua. Pada 27 Maret 2018, terjadi larangan dan pembubaran diskusi film “The Firts Grader” di asrama mahasiswa Papua Surabaya. Alasan TNI/Polri jelas atas tindakan ini. Tempo (28/03) mengabarkan kepala Kepolisian Tambaksari-Surabaya, Komisaris Prayitno, mengatakan ada indikasi film tersebut tentang kulit hitam. “… antisipasi ideologinya orang Papua”.
Realita ini menandakan adanya praktik rasial terhadap mahasiswa Papua oleh aparat negara. Rasisme merupakan pembedaan/memperlakukan berat sebelah berdasarkan keturunan bangsa atau ras; tindakan yang menganggap/perlakuan rendah terhadap bangsa/ras lain, atau terhadap manusia lain. Perlakuan yang menunjukkan bangsanya, rasnya lebih bermartabat dan manusiawi dari bangsa yang menjajah. Dan rasisme juga adalah produk dari kapitalisme.
Rasisme, tulis Alex Callinicos (Race and class; Summer 1992) bukan masalah ide-ide di kepala orang-orang, tetapi penindasan, ketidaksetaraan sistematis dalam kekuasaan dan peluang hidup yang berasal dari struktur sosial yang eksploitatif. Sehingga jelas, bahwasannya realita keberadaan sosial rakyat Papua yang dikoloni oleh kapitalisme, demokrasinya tetap rasis.
Maka wajar ketika diskusi mahasiswa Papua itu direpresi, diintimidasi dan didiskriminasi secara rasial karena isi kelapa aparat TNI/Polri—alat represif rezim--dan ormas reaksioner itu penuh dengan rasisme. Rasisme membentuk watak militer yang fasis, militeristik dan arogan untuk melanggengkan kekuasan rezim hari ini.
Rasisme yang tersistem
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 28E ayat (3) dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia pasal 24 ayat (1) memberikan jaminan atas kebebasan berserikat, berkumpul dan berserikat, “kecuali” bagi mahasiswa Papua. Kalau pun rezim kolonial membantah dengan dasar UU No. 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, realita membenarkan bahwa rasisme (di Indonesia) adalah ideologi yang sejatinya berkaitan dengan kaum penguasa di bumi west Papua. Rasisme kolonial hari ini tak mengsuperioritas biologi (gen), namun perbedaan kultur diantara kelompok-kelompok etnis, termasuk agama (Diponegoro dalam “Lawan Politik Rasis Dengan Politik Sosialis”, Arah Juang, Edisi 10; 2 November 2016).
Untuk melihat hubungan rasisme dan penjajahan, West Papua menjadi idola kaum pemodal asing dan Indonesia, sehingga kekuasaan yang menindas tetap dipertahankan demi mengeruk sumber daya alam Papua. Sehingga lembaga Pemerintah yang berfungsi untuk melahirkan kebijakan, peraturan dan undang-undang; TNI/Polri yang berfungsi sebagai alat represif untuk melanggengkan kepentingan kebijakannya. Jika hari ini tentara/polisi Indonesia kerap bertindak represif terhadap rakyat dan mahasiswa, ini tidak terlepas dari kedudukannya sebagai alat kekerasan dari rezim (Jokowi-JK) yang anti rakyat. Sebab pilar utama institusi negara adalah pemerintah, TNI/Polri; dan terakhir adalah penjara yang berfungsi sebagai alat membungkan perlawanan rakyat—bahkan tempat persinggahan terakhir bagi seorang pejuang.
Maka represi dan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua Surabaya berindikasi melanggengkan kekuasan yang merendahkan rakyat West Papua sebagai obyek yang inferior. Rakyat Papua lebih rendah dari sebuah arti hak dan kebebasan; bahkan nyawa manusia Papua pun tak bernilai di mata rezim yang reaksioner ini.
Diskusi 20 tahun peristiwa Biak Berdarah (1998) adalah bentuk melawan lupa atas peristiwa pembantaian manusia Papua di Biak itu; dan melihat dengan jelas bukti-bukti perlakuan militer terhadap rakyat Papua yang negara lupakan sampai detik ini bahwa, sekali lagi, kami melawan lupa!
Biak Berdarah adalah satu peristiwa dari dua belas rangkaian operasi militer yang dilancarkan sejak tahun 1962 atas perintah Presiden Soekarno. Komando membubarkan negara West Papua (Trikora 19 Desember 1961); dan secara paksa Indonesia menduduki West Papua (Aneksasi 1 Mei 1962) dengan cara militeristik.
Perintah (Trikora) Soekarno itu membuka keran darah hingga membanjiri tanah West Papua. Sejak perintah operasi Trikora itu dialamatkan untuk menduduki dan memenuhi bumi west Papua dengan cara militeristik, kelompok kerja HAM lokal maupun internasional memperkirakan 100 ribu orang West Papua telah terbunuh oleh kekuatan militer sejak invasi hingga tahun 2004 (Yobe Piet dalam tabloidjubi.com, 9 Oktober 2017). Belum terhitung korban kekerasan militer selanjutnya hingga detik ini.
Perlakuan rasis itu kerap dilontarkan juga oleh para petinggi negara. Jend. Ali Moertopo (1966) membenarkan bahwa pendudukan Indonesia di West Papua demi kepentingan akses pasar modal asing dan barang. Tidak untuk manusianya. Sehingga Freeport McMoran milik Amerika Serikat (AS) menduduki Gunung Nemangkawi, Mimika-Papua (7 April 1967) atas kebijakan Soeharto tentang undang-undang Modal Asing (UU No 1 Tahun 1967); dan militer memenangkan Act of Free Choice atau penentuan pendapat suara rakyat (Pepera) 1969 agar proyek kapital AS dan Indonesia terus berkuasa di atas tanah West Papua; terus menguras SDA-nya dan menghabisi rakyat West Papua. Maka wajar saja Luhut Panjahitan mengatakan kepada orang Papua untuk “… Pergi saja ke MSG” saat ia menjabat sebagai Menteri Politik, Hukum dan HAM Indonesia (2016).
Bahwasannya rasisme terhadap rakyat West Papua itu terstruktur dalam sistem rezim kolonial (Indonesia). Sehingga tak diragukan lagi mengapa fungsi dan tugas pokok TNI/Polri itu bergeser dari azasnya. Realitanya, TNI/Polri pelaku pembunuh manusia Papua, pelaku pembungkaman ruang demokrasi; pelaku pengejar, pemukul, penangkap hingga mengurung perlawanan rakyat West Papua di dalam penjara.
Bahkan keberadaan rakyat West Papua diasingkan oleh kekuasaan yang mendominasi. Ironisnya itu terjadi di atas negerinya sendiri. Rasisme rezim Indonesia melegitimasi orang kulit putih di West Papua sebagai NKRI harga mati dan orang Papua sebagai separatis. Separatis dianggap sebagai golongan yang lebih rendah bahkan di tempat-tempat tertentu separatis dianggap sama dengan anjing yang tak diperbolehkan untuk masuk di tempat tersebut.
Sehingga untuk menyingkirkan/mengasingkan rakyat West Papua, kebijakan transmigasi bagi orang kulit putih dialamatkan ke Papua, menyebar dan menguasai pesisir pantai hingga daerah pegunungan Papua, setelah mereka tak disadarkan mengapa mereka harus “dibuang” ke West Papua dan mengapa lahan-lahan pertanian mereka dikuasai oleh korporasi asing bersama kapitalis birokrat. Program pemekaran desa, distrik, kabupaten, dan provinsi membuka lahan bisnis bagi TNI/Polri serta tempat pembuangan non-Papua agar mereka tetap melegitimasi kekuasan rezim di West Papua dengan dalih negara bertanggung jawab lahan hidup baru (yang penuh madu) bagi mereka. Rakyat Papua yang, kini, semakin minoritas ini tetap termiskin, terbelakang, dan tersingkir; dan ketidakberdayaan mereka menggantungkan hidup rezim. Sehingga rasisme menjadi salah satu dasar kolonialisme Indonesia di West Papua. (*)
Yogyakarta, 10 Juli 2018
Penulis adalah Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Papua
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."