OLEH: Pastor Honaratus Pigai
Manusia dibekali kecerdasan oleh
Tuhan yang dengannya manusia bisa memilih benar-salah, baik-buruk. Kecerdasan
itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Manusia adalah makhluk
yang unik. Hewan memang mempunyai naluri, tetapi mereka tidak dibekali rasa
untuk menilai layaknya manusia. Naluri yang mereka miliki hanya sebatas untuk
bertahan hidup. Untuk bertahan inilah, terkadang manusia bertindak sebagai
pemangsa bagi yang lain. Terlalu banyak contoh untuk diajukan di sini.
Ada kesamaan antara manusia dan
hewan yaitu manusia cenderung menggunakan kekerasan dalam mempertahankan
hidupnya. Hewan terkadang bukan hanya dalam rangka mempertahankan hidup
kekerasan dipakai. Singa yang mempertahankan harga diri kelompoknya juga
menggunakan kekerasan, merebut wilayah kelompok singa lain.
Semestinya, kekerasan sudah lama
ditinggalkan, terlebih oleh bangsa-bangsa yang mengaku beradab. Selayaknya,
kekerasan hanya dapat ditoleransi ketika negara (sebagai organ yang sah) dalam
menghadapi apa yang oleh negara mengkategorikan sebagai kejahatan. Kekerasan
hanya boleh dilakukan oleh orang yang sah untuk berhadapan dengan kejahatan. Di
sinilah fungsi hukum pidana atau hukum positif sebagai hukum publik.
Negara Vs Rakyat
Negara memiliki kewenangan (secara
atributif) untuk melindungi dan menjadi pengayom masyarakatnya. Penggunaan
kekerasan oleh negara hanya dalam rangka melindungi rakyat dari kejahatan.
Kekerasan oleh negara bukan ditujukan untuk rakyatnya sendiri. Tetapi yang
terjadi khususnya di Papua adalah paradoks dari itu semua. Walaupun mungkin
tidak ditujukan untuk itu (melawan rakyat sendiri), tapi sering rakyat merasa
menjadi lawan negara ketika negara memaksakan kehendaknya kepada rakyat.
Kebijakan-kebijakan Negara misalnya hampir tidak mewakili konteks dan kebutuhan
rakyat setempat. Bahasa tepat yang sering terdengar di telinga kita “yang
diminta lain, ko’ yang diberi lain.” Ini sebuah fakta penerapan kebijakan
lumpuh yang tidak sesuai permintaan dan bahkan kehendak yang diharapkan rakyat.
Kasus
kekerasan yang terjadi dan sampai hari ini pemerintah Indonesia belum mampu
diselesaikannya adalah bukti kekerasan Negara terhadap rakyat Papua masih
berlangsung. Misalnya seperti; Pertama,
kasus Paniai berdarah, 8 Desember 2014 yang menewaskan 5 siswa pelajar; (1) Simon
Degei - 18 tahun pelajar SMA Negeri 1 Paniai, kelas 12, (2) Otianus Gobai - 18
tahun pelajar at SMA Negeri 1 Paniai, kelas 12, (3) Alfius Youw - 17 tahun
pelajar SMA Negeri 1 Paniai, kelas 12, (4) Yulian Yeimo - 17 tahun pelajar SMA
Negeri 1 Paniai, kelas 9, (5) Abia Gobay - 17 tahun pelajar SMA Negeri 1 Paniai, kelas 12. Kedua, Kasus Timika Berdarah, 28 Agustus
2015, yang menewaskan 2 warga Kamoro, Yulianus Okoare dan Herman Mairimau. Ketiga, Kasus Timika, 28 September 2015
yang menewaskan 1 Orang pelajar, Kaleb Bagau. Keempat, tidak terhitung kasus-kasus
pembunuhan dan luka-luka tembakan serta luka-luka bacokan oleh Negara melalui
TNI/Polri sejak September 2015 hingga kini, terlihat masih terjadi dan itu
dimulai sejak Papua diintegrasikan ke Indonesia hingga kini.
Kekerasan seolah menjadi solusi
satu-satunya dalam menyelesaikan permasalahan Papua. Ketika rakyat menjadi
lawan negara, tentu hal ini menjadi kontra produktif. Negara akan kehilangan
legitimasi dan kepercayaan dari rakyat: sebagai unsur terpenting dari negara,
perlu pendekatan dialogis, memanusiakan manusia.
Tentu saja kita adalah manusia dan
sudah selayaknya menggunakan cara-cara yang manusiawi. Cara-cara yang beradab.
Apakah tidak lebih baik, ketika pemerintah (sebagai representasi kekuasaan
negara) meminta pendapat rakyat terlebih dahulu ketika akan mengambil suatu
kebijakan? Jangan hanya berlindung dalam legalitas kekuasaan dengan mengatakan:
"Ini sudah sesuai prosedur hukum". Jangan memainkan kuasa terhadap
rakyat dengan mengatakan: “Ini sudah sesuai putusan hukum, maka harus
dijalankan.”
Harusnya Negara membawa kebaikan dan
kedamaian bagi manusia, bukan sebaliknya. Hukum hanya instrumen untuk mencapai
keadaban dan kebaikan bagi manusia, bukan pertumpahan darah dan kematian yang
tragis. Sejarah kemanusiaan di Papua memang banyak diisi dengan pertumpahan
darah dan kematian. Episode kehidupan manusia yang penuh damai dan bebas dari
kekerasan sama sekali tidak mendapatkan tempat. Kekerasan menjadi raja kecil di
Papua. Tidak salah genoside halus sedang menimpa rakyat Papua.
Mendengar Kemauan
Rakyat
Kekerasan di Papua sedang mengenakan
baju kelembutan. Pembuat kekerasan dan kekacauan memakai topeng keamanan dan
pengayom masyarakat. Ini fakta yang terjadi. “Keamanan dan pengayom”aspirasi,
bisa saja dimaknai dengan lembut sebagai penutup tindakan arogan yang ingin
ditampilkan.
Terserah, kita bebas menafsirkan
topeng tersebut sesuai fakta yang terjadi di Papua. Saya mengartikan topeng itu
sebagai kekerasan yang halus. Bisa melukai rasa kedamaian bagi rakyat. Bahkan
keadilan yang dijunjung dalam Undang-Undang Dasar 1945 terluka parah akibat
pengabaian dalam perwujudan.
Coba sesekali diadakan semacam jajak
pendapat untuk bertanya kepada rakyat tentang segala kebijakan yang akan
diambil oleh negara. Jika mayoritas rakyat setuju, silakan dilanjutkan, tetapi
kalau rakyat tidak setuju, jangan diteruskan. Namun, mekanisme semacam ini
adalah utopis karena peran rakyat sudah diwakili oleh DPR. Merekalah
representasi rakyat itu.
Hanya DPR memiliki kelemahan yang amat
nampak. Segala macam aspirasi yang masuk di meja kerjanya, semacam diabaikan.
Sebagai wakil rakyat yang duduk di kursi terhormat terasa dikebiri.
Keprihatinan dan keberpihakan terhadap rakyat tumpul.
Topeng “keamanan dan pengayom” harus
disingkirkan. Mengapa? Penambahan Militer di Papua bukan solusi. Kekerasan
bukan solusi. Uang bukan solusi. Solusinya adalah mendengar dan memberi kemauan
rakyat yang sebenarnya. Bukan kemauan para pejabat Papua yang tidak memiliki
kerihatinan atas derita rakyatnya.
*) Petugas Gereja di Timika, Papua