Octovianus Mote: Memang Orang Papua Sungguh Mau Merdeka

Ilustrasi Perjungan Papua

 Judul dalam berita itu ditulis seperti berikut:

OCTOVIANUS MOTE, WAKIL KETUA ULMWP 
MEMANG ORANG PAPUA SUNGGUH MAU MERDEKA 
P. Frans Lieshout, OFM


Papua, law-justice.co - Di Papua dan Indonesia, kegiatan 1 Mei 2020 pun sepih, tidak ada aksi demo damai kecuali melalui jaringan social media.

Sementara di Kota Amsterdam, Frans Lishout, seorang rohaniwan Katolik dari Ordo Fransiskan yang sudah mengabdi 56 tahun di Tanah Papua meninggal dunia dengan damai di sebuah Biara yang dia tempati selama 5 bulan terakhir.

Sejak pada tahun yang sama 1963 seorang anak muda Belanda bernama Frans Lishout tiba di Hollandia menjadi saksi bisu aneksasi Indonesia atas Papua. Pemuda itu meninggal dunia kembali pulang ke rumah bapak dengan damai di kota Amsterdam dalam usia, 84 tahun.

Dengan Frans Lishout, saya tidak begitu dekat selama sekolah. Saya mengenalnya ketika saya sudah menjadi wartawan Kompas.

Kaka saya, Pater Jack Mote banyak cerita tentang Frans, sebagai imam Papua. Tapi bukan karena cerita kaka saya dan begitu banyak anak-anak Hubula yang dekat dengannya yang membuat saya percaya akan ke-Papuaan Frans, namun saya menyaksikannya.

Saya saksikan dan alami sebagai warga Paroki Katedral 1997/8 ketika kami bermukim di Jayapura maupun pertemuan resmi.

Kalah itu, 1998 sejalan dengan reformasi aspirasi politik, Papua menguak di permukaan. Orang Papua merdeka dari rejim orde baru yang menjajah rakyat Indonesia termasuk Papua.

Soal Papua merdeka menjadi pembicaraan hari-hari, masing masing keluarkan pengalaman buruknya. Aneka diskusi terjadi dimana mana how we deal with kolonial Indonesia. Ada yang usung ide federasi, sedikit yang usul otonomi khusus, mayoritas maunya merdeka.

Tidak muda bagi Commodore Freddy Numberi sebagai Gubernur Papua untuk kemudikan tanah Papua sebagai sebuah perahu bernama Propinsi Irian Jaya. Orang Papua tidak hiraukan omongannya bahwa yang mau merdeka itu jumlahnya sedikit. 
But he did it, seakan mempergunakan ilmu pelaut dari Serui mampu lalui gelombang tersebut. Tim Otsus dia bentuk dipimpin wakilnya, Bram Ataruri.

Team 100 yang anggotanya dipilih secara terbuka dari seluruh Papua, termasuk orang Papua di luar dan sekitar 20 orang yang diusulkan oleh KODAM. Tim seratus masuk istana ketemu Presiden BJ Habibie dan sampaikan dengan satu suara: ijinkan kami menata negeri kami sebelum kami punah dari negeri kami.

Dalam suasana itu WCC, dewan gereja sedunia kirim Tim yang dipimpin Sekjennya, Dr Clemens Jones. Mereka ketemu banyak pihak termasuk dengan pimpinan gereja.

Pdt Hermann Saud, sebagai Ketua Sinode dan Uskup Leo Laba Ladjar undang serta tokoh-tokoh awam gereja untuk ikut serta dalam rapat penting ini. Pimpinan gereja menyampaikan beberapa hal untuk membuka diskusi lalu disambung pembicaraan terbuka.

Dari pihak GKI hadir kaka August Rumansara, Nai Willy Mandowen, Nai Yappy Rumbrar dll. Beberapa dari Gereja Kingmi dan dari Katolik selain saya, hadir Agus Alua dan banyak lagi yang lainnya selain pejabat tinggi kantor Uskup juga Frans Lishout, pastor paroki Dok 5 Jayapura.

Clemens Jones tanya apakah benar-benar orang Papua mau merdeka? Masing-masing memberikan jawaban, umumnya katakan 100 persen, orang Papua mau merdeka. Lishout duduk di layer kedua dan diam dengar ikuti semua omongan.

Suara dominan dalam ruangan itu dipatahkan oleh suara Uskup Leo bahwa dia tidak melihat apa yang terjadi di Papua adalah istimewa. Uskup beri alasan: “Kalau pelanggaran HAM itu sama saja, terjadi dimana juga di seluruh Indonesia. Kalau soal aspirasi merdeka, tidak ada yang sampaikan kepada saya walau saya berkunjung ke kampung”. 
Agus Alua, Dosen STFT langsung angkat beberapa hal menanggapi pernyataan Uskup, kita yang lain tambah disana-sini.

Sesudah kami bicara Frans Lishout berdiri dari tempat duduknya. Tentu saja biar terlihat oleh si penanya karena ia duduk dibagian belakang. Tapi tidak, dia berdiri untuk pidato.

Dalam pidato soal aspirasi Papua merdeka, ia tegaskan bahwa aspirasi itu benar-benar murni, tidak ada rekayasa. Mereka berjuang dengan seluruh kemampuan yang ada tapi musuh yang mereka hadapi begitu besar, karena itu tolong,tolong bantu mereka di tingkat internasional. Lishout lalu sambung memberi kesaksian.

Dia bilang, saya habiskan sebagian dari hidup saya di tanah Papua. Sambil menunjuk Uskup dia katakan, uskup ini baru datang dan tidak paham apa yang dia katakan tadi. Saya adalah saksi sejarah, sejak persiapan dan pelaksanaan PEPERA dan sesudahnya dalam pemerintahan indonesia.

Dia urai apa yang terjadi, segala manipulasi selama Pepera yang membuat Uskup Pertama Keuskupan Jayapura mengundurkan diri dan pulang ke Belanda. Ia pulang karena merasa gereja tidak berdiri membela umatnya, orang Papua yang dibantai hak-hak politiknya.

Dia berkisah aneka operasi militer termasuk peristiwa tahun 1977. Dan karena itu, sekali lagi Pak Clemens saya minta tolong bantu bangsa papua agar mereka bisa merdeka dan hidup damai di Tanah Papua yang Tuhan berikan bagi bangsa Papua.

That’s it. Laksana kata penutup, tidak ada yang berani omong, semua diam dan hening. Dia patahkan suara structural gereja dari mulut uskup dengan suara hati nurani bangsa Papua dari seorang imam papua asal Belanda, seorang misionaris sejati yang berani pasang badan untuk domba gembalaannya.

Pertemuan ini bersejarah bagi saya. Pertama karena keterbukaan kedua pimpinan gereja, Pdt Hermann Saud dan Uskup Leo Laba Ladjar untuk duduk bersama, bicara soal hidup umat gembalaannya dalam kehidupan social politik bersama sebuah team dari luar negeri.

Kedua mereka dua melibatkan kaum awam yang lebih tahu di dalam bidang ini, sehingga bisa memberikan gambaran yang utuh bukan sekedar apa yang mereka dua dengar dari yang berada di sekitar kantornya.

Ketiga, adalah kerendahaan hati Pdt Saud yang sekalipun WCC adalah tamunya, namun ia mengajak gereja Katolik dan orang Papua lain ikut bicara. 
Keempat, suasana ini berbeda dengan situasi ketika hak penentuan Papua dibicarakan pada tahun 1960an, dimana pimpinan GKI ketika itu tidak perduli dengan ajakan Uskup Katolik yang berkali meminta agar bersama sama seluruh gereja dan terutama GKI dan Katolik untuk menolak hasil dari sebuah proses yang menyimpang dari keputusan PBB.

Kelima, Frans Lishout memang hanya setahun di Jayapura namun dari Baliem dan kemudian Bilogai, ia mengikuti apa yang dilakukan pimpinannya, dan karena itu ia nekad lawan pimpinannya, baik sebagai Uskup maupun sebagai sesame anggota Ordo.

Namun dalam satu tahun itu dia menyaksikan perilaku tentara Indonesia yang masuk menguasai Papua, pada tanggal 1 Mei 1963. Ia menyaksikan bagaimana tentara-tentara merampok tanah Papua, laksana anjing kelaparan sebagaimana dilaporkan berbagai media dan buku. 

Orang Papua Akan Berakhir Seperti Aborigin di Australia 

Pater Frans Lishout yang begitu mencintai Papua memutuskan pulang ke Belanda bukan semata-mata karena usianya yang sudah mencapai 84 tahun. Namun lebih daripada itu penyakit cancer yang dia derita semakin mengganas.

Dalam situasi itu, ketika tiba di Belanda, walau Dokter sudah sampaikan kepadanya bahwa sudah tidak mungkin diobati, Frans tetap kerja. Tiga kali diwawancara tentang Papua selain melayani setiap obrolan dengan orang orang Papua melalui WA.

Bagian pertama dapat anda baca di sini Orang Papua Sungguh mau Merdeka dan bagian kedua dapat anda baca di sini Gereja semakin jauh dari Orang Papua.

Kepada Mitchel Mass, Wartawan De Volkskrant, harian terbesar Belanda mengisahkan kehidupannya sebagai biarawan Fransiskan di tengah umatnya, di lembah Balim dan daerah gunung pada khususnya dan Papua secara umum. Kesaksian hidup selama 56 tahun itu diterbitkan pada tanggal 10 Januari 2020 dalam sebuah feature utama koran rakyat tersebut.

Ia mengawali wawancara dengan gambarkan betapa situasi tidak berubah dan menuju kehancuran dengan kisah bagaimana sebuah kapal Angkatan laut besar memasuki Pelabuhan Jayapura. Kapal ini dipenuhi tentara yang akan bertugas di tanah Papua.

Melihat kehadiran mereka, dua orang sejoli Indonesia berkomentar kami bangga, prajurit itu telah diutus untuk melindungi kami. Sebaliknya seorang Papua mendekati Frans yang menyaksikan di Pelabuhan itu berkata, mereka datang untuk memukul kami.

Anekdot diatas merupakan inti sari dari obrolan dengan Frans kata sang Wartawan Belanda. Betapa tidak. Sikap orang Indonesia tidak berubah sejak 1963. Saya hadir dalam seluruh perubahaan orang Papua, kata Frans.

Hadir di Hollandia mempergunakan penerbangan KLM terakhir dari Belanda Ke Hollandia. Menyaksikan pemerintah Indonesia masuk mengambil alih pemerintahan pada tanggal 1 Mei 1963.

Ia lukiskan, mereka masuk laksana segerombolan perampok, tentara-tentara itu mengerikan. Seolah olah di Jakarta mereka begitu saja di pungut dari pinggir jalan. Saya menyaksikan amukan mereka. 

Mereka menjarah barang-barang bukan hanya di tokoh, tetapi juga di rumah rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapan itu ke Jakarta. 

Dimana mana ada kayu api unggun, buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda dibakar. Dari awal sudah diperlihatkan bagaimana mereka akan tangani, yakni wajah sebuah kekuasaan militer yang bengis.

Ia gambarkan situasi politik Papua yang tidak berubah dari waktu ke waktu. Sekalipun orang orang Papua menghadapi tindakan brutal militer, aspirasi merdeka tetap hidup.

Sekalipun tahu akibatnya, orang Papua tetap merayakan 1 Desember sebagai hari kemerdekaannya. Ribuan orang Papua yang masuk keluar penjara sejak 1 Mei 1963 hingga saat ia meninggalkan tanah Papua tidak membuat orang Papua jerah dan mundur sebaliknya mempertebal rasa nasionalisme.

Orang-orang Indonesia sangat tidak menghormati budaya orang asli Papua, mereka menghina dan menyebutkan monyet. Perilaku ini dilawan dengan damai walau mereka ditindas balik oleh aparat keamanan dan banyak menimbulkan korban.

Ia memberikan contoh apa yang terjadi sebagai buntut dari rasisme yang dilakukan di Kota Surabaya terhadap mahasiswa bermuara pada demonstrasi di seluruh Papua termasuk di Wamena.

Indonesia tidak perduli dengan orang Papua. 
Yang mereka peduli adalah tanahnya yang kaya, emas yang terdapat di Erestburg.

Ia tidak melihat ada niat baik dari pemerintah, melainkan menghancurkan orang Papua dan mengambil tanah Papua. Semua itu diawali dengan rekayasa pelaksanaan penentuan pendapat rakyat, dimana 1025 orang yang yang dipilih, dibawah tekanan militer disuruh mendukung menjadi bagian dari Indonesia dengan suara bulat. Orang Papua menuju penghancuran laksana orang aborigin di Australia.

Ia memberikan gambaran yang detail suka dukanya menjadi misionaris pionir memasuki daerah pedalaman Papua, khususnya lembah Baliem. Daerah ini yang dia masuki bukanlah daerah kafir sebagaimana dipahami dari luar.

Orang Dani adalah orang spiritual. Dalam budaya mereka banyak nilai-nilai adat yang sama dengan ajaran Katolik seperti pengakuan dosa, ekaristi. 
Maka, pendekatannya adalah bagaimana melakukan inkulturasi, memasukan nilai nilai lama menjadi bagian dari ajaran gereja. Orang Papua adalah orang baik, kalau mereka diperlakukan secara manusia, ia yakin orang papua mungkin saja melupakan aspirasi merdeka.

Namun ia tidak melihat cela tersebut. Selamat jalan Pater, terima kasih atas hidupmu yang engkau abdikan untuk kami.

Sumber: https://www.law-justice.co/artikel/85961/memang-orang-papua-sungguh-mau-merdeka/
4 Mei 2020

(Tim Liputan News\Editor)
Share:
spacer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."