5 September 2024
Perjumpaan dengan Yesus
mengundang kita untuk menghidupi dua sikap mendasar yang memampukan kita
menjadi murid-murid-Nya: yaitu mendengarkan sabda dan menghidupi sabda.
Pertama, mendengar sabda, karena semua hal berasal dari mendengarkan, dari
membuka diri kita kepada-Nya, dari menyambut anugerah berharga dari
persahabatan dengan-Nya. Lalu, penting untuk menghidupi sabda yang telah kita
terima, bukan sekadar menjadi pendengar yang sia-sia dan menipu diri kita
sendiri (Yak 1:22); untuk tidak mengambil resiko sekadar mendengar dengan
telinga tanpa membuat sabda itu masuk ke dalam hati dan mengubah cara pikir
kita, cara merasa, dan bertindak. Sabda yang dianugerahkan, dan yang kita
dengar, butuh untuk menjadi kehidupan untuk mengubah kehidupan, untuk berinkarnasi
di dalam hidup kita.
Kedua sikap
dasar inilah: mendengar sabda dan menghidupi sabda yang dapat kita renungkan
dalam Injil Injil yang baru saja diwartakan.
Pertama,
mendengarkan sabda. Penginjil bercerita bahwa banyak orang mengerumuni Yesus
dan “hendak mendengarkan sabda Allah” (Luk 5:1). Mereka mencari Dia, mereka
lapar dan haus akan sabda Tuhan dan mereka mendengarnya bergema dalam sabda
Yesus. Nah, adegan ini, yang diulang berkali-kali dalam Injil, memberitahu kita
bahwa hati manusia selalu mencari kebenaran yang dapat memenuhi dan memuaskan
hasratnya akan kebahagiaan; yang tidak dapat memuaskan kita hanya oleh sabda
manusia, oleh kriteria-kriteria dunia ini dan oleh penilaian-penilaian duniawi.
Kita selalu membutuhkan sebuah terang yang datang dari atas untuk menyinari
langkah-langkah kita; akan air kehidupan yang memuaskan dahaga padang gurun
jiwa, akan sebuah penghiburan yang tidak mengecewakan karena ia berasal dari
surga dan bukan dari hal-hal fana dunia ini. Di tengah kekacauan dan kefanaan
kata-kata manusia, ada kebutuhan akan sabda Allah, satu-satunya kompas bagi
perjalanan kita, yang di tengah begitu banyaknya luka dan kehilangan, mampu
menuntun kita menuju arti kehidupan sejati.
Saudara dan saudari, janganlah kita lupa hal ini: tugas pertama seorang murid bukanlah mengenakan jubah kerohanian yang sempurna secara luar, atau melakukan hal-hal luar biasa atau mengerjakan usaha-usaha besar. Sebaliknya, langkah pertama terdiri dari tahu menempatkan diri di dalam mendengar satu-satunya sabda yang menyelamatkan, yaitu sabda Yesus. Seperti yang kita lihat dalam episode Injil, ketika Sang Guru menaiki perahu Petrus untuk sedikit menjauhkan diri dari danau dan dengan demikian bisa berkhotbah dengan lebih bagus kepada orang banyak (bdk. Luk 5:3). Hidup iman kita berawal ketika kita menerima Yesus dengan rendah hati di atas perahu kehidupan kita, menyediakan ruang untuk-Nya, dan menempatkan diri dalam mendengarkan sabda-Nya dan dari situ kita berefleksi, diguncangkan, dan berubah.
Pada saat yang sama, sabda Tuhan menuntut untuk berinkarnasi secara nyata dalam
diri kita: oleh karena itu, kita dipanggil untuk menghidupi sabda. Sejatinya,
setelah selesai berkhotbah kepada orang banyak dari atas perahu, Yesus
berpaling kepada Petrus dan menantangnya untuk mengambil risiko dengan bertaruh
pada sabda ini: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk
menangkap ikan” (ay. 4). Sabda Tuhan tidak hanya tetap tinggal sebagai gagasan
abstrak yang indah atau hanya membangkitkan emosi sesaat. Sabda Tuhan menuntut
perubahan cara pandang kita, membiarkan kita mengubah hati menjadi hati
Kristus; Ia memanggil kita untuk berani menebarkan jala Injil ke lautan dunia,
“berlari dengan risiko menghidupi kasih yang telah Ia ajarkan kepada kita dan
yang telah Ia hidupi terdahulu. Juga kepada kita, Tuhan, dengan kekuatan yang
membakar dari sabda- Nya, mengundang kita untuk membuka jalan kehidupan, untuk
melepaskan diri dari pantai-pantai mandek kebiasaan-kebiasaan buruk, dari rasa
takut dan suam-suam kuku, serta berani untuk menjalani kehidupan baru.
Tentu saja,
selalu akan ada kesulitan-kesulitan dan alasan-alasan untuk mengatakan tidak.
Tetapi, marilah kita melihat sekali lagi sikap Petrus: datang dari satu malam
yang sulit ketika Ia tidak menangkap apa-apa, lelah dan kecewa, tetapi,
daripada tinggal seolah-olah dilumpuhkan di dalam rasa hampa atau terhalang
oleh kegagalannya sendiri, ia berkata: “Guru, telah sepanjang malam kami
bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa. Tetapi atas perintah-Mu aku
akan menebarkan jala juga” (ay. 5). Atas perintah-Mu aku akan menebarkan jala
juga. Kemudian, sesuatu yang mengejutkan terjadi, yakni mukjizat penuhnya
perahu dengan ikan sampai hampir tenggelam (bdk. Ay. 7).
Saudara dan
saudari, dalam menghadapi berbagai tugas hidup sehari-hari, menghadapi
panggilan yang kita semua rasakan untuk membangun masyarakat yang lebih adil,
untuk melangkah maju di jalan perdamaian dan dialog, yang telah lama dipetakan
di Indonesia, kita kadang-kadang merasa tidak mampu, merasakan beratnya
komitmen yang begitu besar yang tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan,
atau kesalahan-kesalahan kita yang tampaknya menghambat perjalanan hidup kita.
Namun, dengan kerendahan hati dan iman yang sama seperti Petrus, kita juga
diminta untuk tidak tetap menjadi tawanan kegagalan kita, dan alih-alih tetap
menatap jala kita yang kosong, untuk memandang Yesus dan percaya kepada-Nya.
Kita selalu dapat mengambil risiko untuk bertolak ke tempat yang dalam dan
menebarkan jala lagi, bahkan ketika kita telah melewati malam kegagalan, masa
kekecewaan di mana kita tidak menangkap apa pun.
Santa Teresa
dari Kalkuta, yang peringatannya kita rayakan hari ini, yang tanpa lelah peduli
pada orang-orang termiskin dan memajukan perdamaian dan dialog, pernah berkata:
“Ketika kita tidak memiliki apa pun untuk diberikan, hendaklah kita memberikan
ketiadaan itu. Dan ingatlah, bahkan ketika kamu tidak menuai apa-apa, jangan
pernah lelah menabur”.
Saudara dan
saudari, saya juga hendak berkata kepada Anda, kepada bangsa ini, kepada
nusantara yang mengagumkan dan beranekaragam ini: janganlah lelah berlayar dan
menebarkan jalamu, janganlah lelah bermimpi dan membangun lagi sebuah peradaban
perdamaian! Beranilah selalu untuk mengimpikan persaudaraan! Dengan dibimbing
oleh sabda Tuhan, saya mendorong Anda semua untuk menaburkan kasih, dengan
penuh keyakinan menempuh jalan dialog, terus memperlihatkan kebaikan budi dan
hati dengan senyum khas yang membedakan Anda untuk menjadi pembangun persatuan
dan perdamaian. Dengan demikian, Anda akan menyebarkan aroma harapan di
sekeliling Anda.
Ini adalah
keinginan yang diungkapkan baru-baru ini oleh Uskup-Uskup Indonesia dan saya
juga ingin untuk melibatkan seluruh umat Indonesia: berjalanlah bersama untuk
kebaikan Gereja dan masyarakat! Jadilah pembangun harapan, pengharapan Injil,
yang tidak mengecewakan (Rm 5:5) melainkan membuka kita menuju sukacita tanpa
akhir.
***
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."