Jayapura – Masalah dialog Jakarta-Papua, menurut
salah satu tokoh Papua yang dikenal cukup vokal, Pdt Socratez S Yoman,
telah diketahui dan didukung oleh dunia internasional.
Sekedar diketahui dialog tersebut, sempat diupayakan melalui penjaringan persepsi orang Papua dari sejumlah kabupaten di Papua oleh Jaringan Damai Papua (JDP) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan belakangan mendapat respon dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengirimkan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Albert Hasibuan dengan menemui sejumlah komponen rakyat Papua, baik di pemerintahan, MRp dan tokoh agama termasuk LSM.
Menurut Socratez, dukungan internasional atas pelaksanaan dialog tersebut didapat dari sejumlah kedutaan saat ia berkunjung di Jakarta.
“Amerika Serikat sudah dukung dialog, Inggris sudah dukung, Jerman sudah dukung, Swis sudah dukung, Australi sudah dukung, semua negara sudah dukung dialog. kenapa Jakarta tidak mau buka,” ungkapnya kepada Bintang Papua saat berkunjung ke kediamannya di Itha Wakhu Purom, Padang Bulan, Selasa (18/9).
Dan hal itu merupakan harapan Gereja dan rakyat Papua. “Posisi kami Gereja sudah jelas, rakyat Papua seluruhnya sudah jelas, persoalan Papua, otonomi khusus sudah gagal. Harapan kami kedepan adalah dialog tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yajg lebih netral,” jelasnya.
Tanpa syarat tersebut, menurutnya harus benar-benar netral. “Artinya bukan dalam bingkai NKRI, Pancasilan dan UUD 45, juga Otsus, juga bukan dalam bingkai Papua Merdeka. Tapi keluar dari kerangka itu. keluar dari konstruksi itu,” terangnya.
Menurutnya harus dibedah apa yang menjadi persoalan sebenarnya di Papua. “Jadi anda punya NKRI harga mati dikunci dulu di kamar, you punya Papua Merdeka harga mati dikunci dulu di kamar, baru kita datang tanpa syarat untuk melihat persoalan Papua ini apa. kita bedah dia baru kita lihat bahwa persoalannya begini, lalu kita memberikan suntikan yang tepat untuk mengobati penyakitnya. jadi harus dialog,” tegasnya. Ia pun menyatakan apresiasinya atas upaya JDP dan LIPI yang telah mengambil pergumulan rakyat Papua, dengan menyusun buku masalah dialog.
Disinggung tentang respon Presiden degan mengirim anggota Wantimpres, Albert Hasibuan ke Papua, Socratez mengatakan bahwa ia hanya menunggu saja reaksi selanjutnya. Karena menurutnya di Indonesia sekarang banyak Presiden.
Hal itu dicontohkan disaat ia bersama sejumlah tokoh agama yang sempat melakukan pertemuan dengan presiden SBY Bulan Deseber 2011, dan Presiden menyatakan kekerasan harus berhenti.
“Tetapi yang terjadi kami masih di Jakarta pembunuhan terjadi dan terus belangsung. ada berapa presiden di Republik ini?,” ungkapnya.
Menurutnya, bila benar Presiden SBY mau berdialog, ia sangat mendukung. “Tapi kalau kemauan Presiden SBY untuk dialog dengan hati, ini patut kami apresiasi, patut kami dukung,” ungkapnya lagi.
Jadi, menurutnya, sekarang harus ada dialog yang sah, dialog yang legal antara rakyat Papua dengan pemerintah Republik Indonesia.
“Pemerintah bilang di Papua tidak ada tokoh sentral, itu kan sebenarnya bagi kami sudah ada. Seperti yang terungkap dalam konferensi yang digelar Jaringan Damai Papua sudah tunjuk lima orang, seperti Otto Wame, Benny Wenda di inggris, Rex Rumaikik, Otto Mote di Amerika, Leoni Tanggama,” paparnya.
Persoalan dialog, menurutnya juga tidak bisa hanya melibatkan rakyat Papua di dalam negeri, tapi harus semua rakyat Papua yang ada di luar negeri.
Dialog tersebut, dikatakan diharapkan dapat menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di Papua, yang menurut Socratez, seluruh rangkaian kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di tanah Papua pada umumnya dan Jayapura pada khususnya, baik itu korbannya orang-orang asli Papua maupun non asli Papua, dilakukan oleh orang-orang yang punya keterampilan khusus, dan orang-orang yang punya agenda dan misi khusus di Papua ini.
“Saya sebagai orang asli Papua, sebagai orang yang sekolah dan mengerti sedikit dinamika seperti itu, dan pemimpin umat, tidak percaya sama sekali, tidak percaya, dan sampai kapanpun saya tidak percaya, bahwa kekerasan itu dilakukan oleh OPM. Itu dilakukan oleh OTK, orang bilang orang tak dikenal, tapi saya bilang orang terlatih khusus,” ungkapnya.
Hal itu, menurutnya hanya untuk menjustifikasi, untuk pembenaran terhadap orang-orang yang punya agenda khusus di Tanah Papua ini.
“Siapa orangnya, saya pikir tidak rahasia lagi. Untuk orang Papua sudah selama 50 tahun ini sudah tidak rahasia siapa yang buat kerusuhan. Siapa yang pelihara OPM. Ada OPM binaan banyak di sini,” lanjutnya.
Ia juga menyatakan sama sekali tidak percaya, bahwa kekerasan yang terjadi di Kota Jayapura beberapa waktu lalu dilakukan oleh Mako Tabuni, dan juga oleh Dany Kogoya.
“Kalaupun mereka lakukan, siapa dibelakang mereka. Sangat kecil dilakukan mereka. Siapa memediasi dan memfasilitasi mereka,” lanjutnya lagi.
Ia menyatakan bahwa aparat kemanana untuk tidak melakukan kebohongan di Papua. “Kebohongan itu akan berpotensi menghancurkan Republik ini. Menghancurkan negara yang selalu dipuji-puji, NKRI ini bisa runtuh kalau kebohongan itu menjadi pilar. Yang sebenarnya bisa menjadi pilar itu adalah kejujuran, keadilan, kebenaran, kedamaian dan kesamaan derajat. Itu harus menjadi pilar bangsa. harus hidup di tengah tengah rakyat,” tegasnya.
Sehingga ia minta aparat kepolisian harus bisa mengungkap siapa sebenarnya pelakunya. Namun menurutnya aparat kepolisian juga dalam posisi tertekan.
“Seperti dulu saya mengambil contoh, kasus Freeport dulu, tahun 2001 atau 2002, penembakan guru orang Amerika, itu katanya dilakukan oleh OPM, tapi setelah diselidiki ternyata diketahui dilakukan oleh TNI. Mengapa Pak Made Mangku Pastika dipindahkan cepat, juga pak Raziman Tarigan, karena dia katakan bahwa itu dilakukan bukan oleh OPM,” ungkapnya.
Lanjutnya “Jadi aparat kepolisian juga dibawah ketakutan. Itu contoh kasus yang tidak bisa kita pungkiri,” tegasnya.
Ia menekankan, bahwa seperti kekerasan di Nafri 1 Agustus, pembunuhan di Skayland, hal itu dilakukan secara kilat, dan tidak mungkin seorang Dany Kogoya yang melakukan. “Kalaupun ada yang mereka lakukan, dia dengan siapa? ,” ungkapnya lagi.
Dikatakan bahwa kejadian tersebut sempat dibahasnya dengan orang-orang di kedutaan sejumlah negara di Jakarta.
“Saya ketemu kedutaan Jerman, Amerika, Ingris dan beberapa kedutaan. Yang di kedutaan Eropa mengatakan ‘lucu kan, masak taro bendera baru pergi, taro panah baru pergi, ini lucu. bagi kami lucu. Aneh’. Mereka katakan itu,” lanjutnya.
Dan dunia internasional, menurutnya sudah tahu bahwa perjuangan menggugat integrasi, perjuangan menggugat Pepera Tahun 1969 itu bukan perjuangan kekerasan. Perjuangan dialog, perjuangan damai. Dan ini mau diopinikan perjuangan radikalisasi dan kekerasan,” jelasnya yang menyatakan upaya menciptakan opini tersebut telah terlambqt. (aj/don/l03)
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."