Warga asli dan pendatang di Papua sebenarnya adalah korban dari konflik yang terjadi di sana.
Konflik Papua dinilai bukan sekedar persoalan antara orang asli Papua dengan pendatang karena keduanya sama-sama menjadi korban. Akar masalah sebenarnya terjadi karena belum adanya diskusi Jakarta-Papua untuk mendamaikan Papua.
“Pesan yang ingin saya sampaikan adalah seperti yang dikatakan selama ini, konflik Papua kan persoalan orang asli Papua dengan pendatang. Mereka sama-sama jadi korban,” kata Muridan Sastro Widjojo, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Jakarta dalam pertemuan dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hari ini, Jumat (21/9).
Menurutnya, isu Papua yang sampai saat ini masih belum terselesaikan memberikan dampak yang kurang baik untuk keutuhan, keadilan, dan kedamaian di tanah Papua. Pemerintah, katanya, belum menunjukkan tindakan signifikan agar adanya diskusi Jakarta-Papua seperti yang diinginkan rakyat Papua.
Muridan juga menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada media massa yang telah membantu memberitakan perkembangan mengenai Papua.
Ia menjelaskan, persoalan di Papua yang sejak tahun 1999 sudah ada dialog, hingga kini tidak ada hasil yang nyata.
“Bukan masalah pendatang di Papua. Di Jakarta, sudah didorong untuk ada dialog, tapi tidak setuju,” tuturnya menyayangkan.
Menurutnya, sekarang ini sudah banyak yang memperbincangkan meminta adanya dialog penyelesaian Papua. Hal ini membuatnya sedikit mengerem, dalam arti mengurangi pembicaraan mengenai dialog Jakarta-Papua.
“Penting supaya pemerintah pusat bisa melakukan perbincangan secara ramah kemudian baru mengarah kepada perbincangan mengenai dialog Jakarta-Papua,” tuturnya.
Dirinya sebagai intelektual publik, memiliki tanggung jawab menyumbangkan pemikirannya terkait masalah Papua. Hingga saat ini pun dirinya bersama JDP masih mencari strategi terbaik agar ada kesepakatan melakukan dialog.
“Selain dialog, penting memperhatikan pengelolaan keamanan di Papua. Kekerasan yang terjadi di Papua malah tidak ada penegakan hukum, ketidakpastian hukum,” ujarnya.
Menurutnya, pembicaraan mengenai konflik yang terus terjadi di Papua ini adalah masalah pola pikir yang kurang tepat.
“Aparatur negara menjadi bagian dari konflik,” ungkap Muridan.
Terkait orang pendatang di Papua, menurutnya, pendatang juga harus berkontribusi membangun kedamaian disana. Kedamaian di Papua adalah damai dari politik, dari ekonomi, dari agama, dari peperangan, dan faktor lainnya.
“Ketika orang pendatang merasa dimusuhi, pendatang mulai melindungi dirinya. Melindungi diri tidak dengan cara mempersenjatai diri, tapi bagaimana membangun pemahaman bersama,” katanya menegaskan.
Ia mengatakan, JDP selama tiga tahun terakhir telah membuat konsultasi publik di Papua dengan harapan rakyat Papua mengerti dialog itu seperti apa dan bagaimana mendukung hal itu.
“Dengan begitu keadilan dan kedamaian di Papua bisa terjadi,” katanya penuh pengharapan.
Konflik Papua dinilai bukan sekedar persoalan antara orang asli Papua dengan pendatang karena keduanya sama-sama menjadi korban. Akar masalah sebenarnya terjadi karena belum adanya diskusi Jakarta-Papua untuk mendamaikan Papua.
“Pesan yang ingin saya sampaikan adalah seperti yang dikatakan selama ini, konflik Papua kan persoalan orang asli Papua dengan pendatang. Mereka sama-sama jadi korban,” kata Muridan Sastro Widjojo, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Jakarta dalam pertemuan dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hari ini, Jumat (21/9).
Menurutnya, isu Papua yang sampai saat ini masih belum terselesaikan memberikan dampak yang kurang baik untuk keutuhan, keadilan, dan kedamaian di tanah Papua. Pemerintah, katanya, belum menunjukkan tindakan signifikan agar adanya diskusi Jakarta-Papua seperti yang diinginkan rakyat Papua.
Muridan juga menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada media massa yang telah membantu memberitakan perkembangan mengenai Papua.
Ia menjelaskan, persoalan di Papua yang sejak tahun 1999 sudah ada dialog, hingga kini tidak ada hasil yang nyata.
“Bukan masalah pendatang di Papua. Di Jakarta, sudah didorong untuk ada dialog, tapi tidak setuju,” tuturnya menyayangkan.
Menurutnya, sekarang ini sudah banyak yang memperbincangkan meminta adanya dialog penyelesaian Papua. Hal ini membuatnya sedikit mengerem, dalam arti mengurangi pembicaraan mengenai dialog Jakarta-Papua.
“Penting supaya pemerintah pusat bisa melakukan perbincangan secara ramah kemudian baru mengarah kepada perbincangan mengenai dialog Jakarta-Papua,” tuturnya.
Dirinya sebagai intelektual publik, memiliki tanggung jawab menyumbangkan pemikirannya terkait masalah Papua. Hingga saat ini pun dirinya bersama JDP masih mencari strategi terbaik agar ada kesepakatan melakukan dialog.
“Selain dialog, penting memperhatikan pengelolaan keamanan di Papua. Kekerasan yang terjadi di Papua malah tidak ada penegakan hukum, ketidakpastian hukum,” ujarnya.
Menurutnya, pembicaraan mengenai konflik yang terus terjadi di Papua ini adalah masalah pola pikir yang kurang tepat.
“Aparatur negara menjadi bagian dari konflik,” ungkap Muridan.
Terkait orang pendatang di Papua, menurutnya, pendatang juga harus berkontribusi membangun kedamaian disana. Kedamaian di Papua adalah damai dari politik, dari ekonomi, dari agama, dari peperangan, dan faktor lainnya.
“Ketika orang pendatang merasa dimusuhi, pendatang mulai melindungi dirinya. Melindungi diri tidak dengan cara mempersenjatai diri, tapi bagaimana membangun pemahaman bersama,” katanya menegaskan.
Ia mengatakan, JDP selama tiga tahun terakhir telah membuat konsultasi publik di Papua dengan harapan rakyat Papua mengerti dialog itu seperti apa dan bagaimana mendukung hal itu.
“Dengan begitu keadilan dan kedamaian di Papua bisa terjadi,” katanya penuh pengharapan.
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."