Benarkah Orang Asli Papua Pengacau Negara Di Papua...?


Analisa Praktis Atas Opini-Opini dan Situasi Yang Sedang Berkembang di Papua

Oleh: HONARATUS PIGAI*

Papua sering dikenal dengan medan yang subur dengan konflik, entah kenflik horizontal maupun konflik vertikal. Situasi demikian memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang realistis bahwa siapa yang menciptakan situasi konflik? Apakah TPN-OPM? Apakah TNI/Polri? Apakah orang non-Papua? Apakah rakyat sipil? Atau siapa dia…?

Realitas konflik di Papua telah berlangsung cukup lama. Dalam media masa kita sering jumpai tulisan-tulisan yang mengemukakan bahwa konflik di Papua terjadi sejak Papua diintegrasikan ke dalam Negara Kesatuan Indonesia (NKRI), tahun 1961 hingga kini. Konflik itu diawali jauh sebelum Soekarno melancarkan Operasi Trikora dan membentuk Komando Mandala untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia (majalah Selangkah “Eksistensi OAP terancam”). Apalagi melalui maklumat TRIKORA dan Operasi-Operasi Militer dilancarkan ke Papua, demi mempertahankan Papua ke dalam kesatuan NKRI. Sejak itu pula orang Papua berada dalam situasi tegang dan menakutkan, karena setiap orang Papua diintimidasi, ditetor dan bahkan dibunuh.

Ketegangan dan konflik lama itu selalu terulang dan seperti tiada akhirnya. Dewasa ini, kita bisa lihat bahwa maraknya pembunuhan-pembunuhan misterius. Pelakunya selalu dikatakan OTK (Orang Tak Dikenal). Pada posisi ini memunculkan pertanyaan bahwa apakah benar OTK (Orang Tak Dikenal) atau OTK (Orang Terlatih Khusus)? Yang hanya sebagai strategi untuk bisnis militer di Papua. Karena dalam faktanya menyatakan bahwa droping militer di Papua sudah sangat banyak. Mereka datang dengan visi untuk mengamankan situasi konflik di Papua, tetapi apakah benar demikian?

Di satu sisi kita bisa mengakui bahwa kedatangan militer di Papua demi menjalankan visi keamanan dan menjaga kedaulatan negara. Sayangnya visi itu tidak sepenuhnya terpenuhi, karena kedatangan militer di Papua seringkali menciptakan ketegangan bagi masyarakat yang sementara berada dalam situasi damai. Sokrates Zofyan Yoman dalam opininya di media JUBI 16 Oktober 2011 mengatakan bahwa Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh TNI, misalnya di Timor Timur (sekarang: Timor Leste), Aceh, Papua Barat ini.  Zofyan menyatakan bahwa TNI berperan aktif membunuh warga sipil dan pelaku kejahatan dan kekerasan di Indonesia. Kejahatan yang dilakukan TNI ini adalah meruntuhkan dan menghilangkan kecintaan dan kepercayaan rakyat kepada Pemerintah Indonesia dan TNI. Ternyata doktrin yang dimiliki aparat TNI selama ini seperti:  tugas TNI adalah menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, sudah tidak relevan lagi dalam era demokrasi dan globalisasi dewasa ini.  Doktrin seperti itu sudah usang tidak cocok lagi dengan dunia modern sekarang ini.  Mereka datang malah menambah masalah baru dan melahirkan kembali trauma dan ketakutan lama yang pernah dialami orang Papua.

Dengan melibatkan TNI/Polri, berarti pemerintah menganggap situasi Papua akan aman. Tapi fakta mengatakan lain, bahwa dropnya TNI/Polri, sama sekali tidak membawa keamanan bagi Papua. Malah menambah ketidakamanan, karena trauma rakyat yang dialaminya pada tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, dengan melibatkan TNI/Polri berarti pemerintah secara tidak langsung menganggap bahwa rakyat Papua adalah pengacau. Yang selalu mengacaukan keamanan negara di tanah Papua. Tapi apakah benar demikian?

Diperkuat dengan kenyataan bahwa, bila ada orang asli Papua yang hidupnya selalu menggunakan perlengkapan adat, entah pakaian (koteka/cawat) dan atau membawa busur. Selalu dipandang sebelah mata dan menganggapnya sebagai pengacau, sehingga harus dipertanyakan, ditangkap atau dibunuh. Apakah adat budaya itu menentukan orang asli Papua sebagai pengacau? Mengapa  harus dipertanyakan? Orang asli Papua adalah yang beradat budaya, sama dengan daerah lain di Indonesia. Malah harus diproses semena-mena. 

Dewasa ini kita bisa cermati, di daerah-daerah yang dianggap rawan konflik seperti Kabupaten Puncak Jaya, Jayapura, Kerom, Paniai, Timika, Manakwari dan beberapa tempat lain di Papua. Pemerintahan Negara ini, mengizinkan untuk mendroping pasukan bersenjata (militer) dalam jumlah yang banyak demi keamanan. Di satu sisi memang keamanan tercipta, tetapi di sisi lain faktanya berbicara lain, malah mereka menciptakan masalah baru di sana.

Pada Desember 22/2011 lalu, seorang ibu di Paniai pernah bercerita bahwa,  ia pernah ditanya oleh militer bahwa dirinya adalah istri orang pengacau.“saya ditanya oleh tentara bahwa, kamu orang yang pengacau punya istri ka?” kata ibi itu. Pertanyaan ini muncul karena melihat seorang ibu itu menggunakan pakaian adat budayanya. Pertanyaan seperti ini bukan membawa kedamaian, tetapi malah menciptakan ketegangan terhadap rakyat kecil yang tidak tahu menahu tentang pertanyaan yang disampaikan itu,  

Hal lain juga bahwa saya di teror melalui Short Message Service (SMS), dengan nomor “delap” yang berbunyi “kamu dan rombonganmu orang pengacau negara kesatuan, maka harus dihukum sampai mati”. Kalimat SMS ini mengandung sebuah teror yang sangat keras. Ini bukan sesuatu yang biasa-biasa. Pernyataan ini, menunjukkan bahwa orang Papua dianggap sebagai pengacau dan memandang dengan negative thingking yang berlebihan. Selayaknya orang ini harus sadar diri dan merenungkan kembali bahasa dan tindakannya. Dia tidak memandang dosa-dosa sejarah yang diperbuatnya, hingga saat ini.

Tudingan-tudingan seperti demikian hal yang luar biasa. Sudah sejak lama ada hal seperti itu. Sejak awal integrasi politik Irian Barat (Papua Barat) masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia (1 Mei 1963). Saat itu, kebanyakan orang asli Papua buta aksara. Ini menjadi alasan ampuh untuk menentukan bentuk politik integrasi dalam New Agreement 1962 yang mengisyaratkan praktek internasional one man one vote menjadi konsultation (musyawarah) dalam pelaksanaan referendum (PEPERA, Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969. (Agus A. Alua. kamu bodoh kamu serakah: Suatu tudingan antara Papua dan Non Papua, 1999).

Sejak itu pula tudingan bahwa orang asli Papua adalah pengacau negara, fatanya bukan seperti itu. Padahal segala kebenaran dibungkam semena-menanya oleh negara. Lalu menuding secara tidak benar atas manusia yang tidak bersalah, dipandang sebagai yang bersalah. Hingga orang asli Papua dihilangkan jejak satu per satu. Untuk itu, diciptakan situasi yang demikian licik. Demi membungkam kebenaran. (Sem Karoba dkk. Papua menggugat: Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat Bagian I=PAPUA MENCATAT, 2004)

Menurut berbagai opini, artikel dan komentar-komentar di media masa local, nasional maupun internasional yang seringkali kita baca dan dengar bahwa, PEPERA cacat hukum dan dibungkam oleh ketidakbenaran hukum. Apalagi mau memperhatikan rakyat asli Papua.

Menurut sahabat saya (John) yang juga menggeluti tentang masalah kemanusiaan di Papua, mengatakan “Orang asli Papua kini dipandang sebagai sampah, maka harus dibuang  jauh-jauh atau di tempat pembuangan sampah. Mereka selalu memandang orang asli Papua bqkan manusia, tetapi hewan maka harus dimusnahkan dan menjadi santapan pembunuhan setiah hari. Sampai budaya asli Papua tidak dihargai satu pun. Budaya yang dipakai orang asli Papua dianggap musuh negara. Padahal budaya tidak dapat berkata-kata “saya pengacau”, tapi mungkin terhadap pandangan mereka budaya Papua dapat mengisyaratkan dirinya sebagai pengacau. Apa bedanya budaya Papua dengan budaya lain di Indonesia? Dia juga menanbahkan bahwa, bahasa trent yang sering mengganggu pendengaran saya adalah “kamu tidak tahu kamu diam”. Kata ini selalu dialamatkan kepada orang asli Papua. Mereka mengaggap dan memandang orang asli Papua Bodoh dan tidak tahu apa-apa. Sampai-sampai orang asli Papua dilempar tak bermakna. Dipandang bukan manusia yang ada dihadapan mereka, tapi manusia binatang.

Realitas ini sangat membunuh kemanusiaan dan budaya orang asli Papua. Budaya Papua dinilai mengacaukan diri negara. Paradigma ini sangat salah yang selalu dibangun oleh pemerintah Indonesia. Lebih sadis lagi, dengan realitas ini sangat membunuh mental orang asli Papua untuk menunjukkan jati dirinya sebagai orang yang berbudaya, yang sama dengan budaya lain di Indonesia. Hal seperti ini secara tidak langsung bisa memusnahkan budaya Papua, yang oleh orang asli Papua sendiri memandangnya sebagai identitas diri yang diwariskan oleh leluhur mereka. 

Paling sadis lagi, pasca pengesahan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus). Kita lihat fakta apa yang terjadi akibat dari pengesahan UU Otsus itu. 1) ada aksi ancaman (Teror dan intimidasi). 2) aksi pembunuhan (penangkapan, penculikan, dan penghilangan). Seperti pembunuhan para pejuang kebenaran Papua Barat Arnol Ap, Marten Wanggai, Theys H. Eluay dan ada banyak orang asli Papua yang dibunuh tanpa jejak.

Tudingan-tudingan yang memperlakukan orang asli Papua sebagai pengacau negara kesatuan, sesungguhnya sangat berlebihan dan sungguh tidak tepat. Orang asli Papua kini hanya mengharapkan berlakunya keadilan dan kebenaran serta pengakuan terhadap hak hidup. Orang asli Papua meminta Hak mereka yang dianulir oleh negara kesatuan. Bila masih saja dianulir hingga bertahun-tahun, maka perlakuan seperti itu, telah memanipulasi fakta yang ada.

Kalau demikian terus adanya, seakan-akan negara mau memposisikan orang Papua sebagai penyebab utama dalam menghambat kemajuan pembangunan. Padahal yang terjadi sebenarnya bukan seperti itu. Yang sebenarnya terjadi adalah Indonesia adalah pengacau bukan Papua. Karena Indonesia hingga sekarang sedang menyembunyikan secara rapih perlakuan kekacauan dengan label OTK (Orang Tak Dikenal – atakah – Orang Terlatih Khusus).

Sederhanya bahwa, kalau militer dan pemerintahan di negara ini menganggap orang asli Papua sebagai pengacau, mengapa harus masih menahan mereka dalam negara kesatuan? Biarkan mereka lepas dari negara ini. Bukan memberikan Otonomi Khusus (OTSUS). Jangan hidup dengan mareka. Jangan pusing kepala mengurus mereka, tiap saat. Biarkan mereka hidup sendiri, tanpa campurtangan negara ini. Berilah kepada mereka kebenarang sejarah yang pernah ada itu.

Kalau mau menahan mereka, cintailah mereka. Jangan hanya mencintai kekayaannya saja. Kekayaan alam bukan manusia, dia benda mati yang tidak dapat manusia jatuh cinta kepadanya. Tapi mengapa anda mau mencintai benda mati itu? dan mengabaikan manusia. Berarti sebenarnya anda tidak suka manusianya, tetapi barang miliknya. Sampai anda tidak sadar menuding orang asli Papua dengan sembarang. Berarti negara pengacau. 

*Penulis Adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura – Port-Numbay – Papua
Share:
spacer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."