Honaratus
Pigai(*
Demokrasi di tanah Papua boleh dikatakan
gagal. Hak untuk menyampaikan pendapat di depan umum pun ikut merosot. Terlepas
dari tugas militer Republik untuk menjaga keamanan dan ketertiban negara, kita menyaksikan
politik untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran di Papua tidak berjaan
semaksemal mungkin. Demokrasi begitu kental dengan kedok selubung tugas militer
sebagai “Pengaman” yang sebenarnya membungkam hak menyampaikan pendapat yang
hendak disampaikan rakyat secara demokratis. Benarkah aksi militer yang
represif terhadap rakyat mengukuhkan negara telah melaksanakan demokrasi?
Bagaimana suatu negara dapat dikatakan telah menerapkan demokrasi?
Tulisan singkat ini bermaksud menelurusi sejauh mana hak menyampaikan pendapat di depan umum secara demokrasi berkembang. Ada banyak kritikan yang disampaikan rakyat Papua demi membangun keadilan dan kebenaran di Papua dibungkam. Rakyat Papua menganggap demokrasi Papua telah gagal bahkan lumpuh total. Mereka menilai bahwa konsep demokrasi yang dijalankan di negara Indonesia tidaklah sepenuhnya berdemokrasi. Karena segala kebijakan negara di bawah komando militer selalu melakukan aksi-aksi represif hingga mengorbankan nyawa manusia. Setidaknya ini sebagai bahan koreksi bagi negara untuk megevaluasi badan hukum negara.
Kita dapat melihat banyak
catatan aksi militer yang mengambil tindakan represif yang mengorbankan hak
menyampaikan pendapat. Bahkan aksinya merujuk pada tindakan anarkis dan
pembunuhan. Menurut data
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), selama
Januari-Oktober tahun ini, telah terjadi 81 tindakan kekerasan yang
mengakibatkan 31 warga sipil meninggal dan 107 mengalami luka-luka. Tidak
terhitung pembunuhan misterius yang tidak tercatat. Kalau demikian pasti ada
sekian manusia yang jatuh korban, oleh karena tindakan kekerasan yang
dipraktekkan oleh negara republik yang berdemokrasi di Papua.
Di media online ucanews,com, KontraS mencatat kasus terakhir yang terjadi
pada Selasa (23/10) dimana warga sipil dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
dihadang oleh polisi saat mereka mengadakan aksi damai di Manokwari, ibukota
Provinsi Papua Barat. Karena marah terhadap polisi, warga melempari batu yang
kemudian dibalas oleh polisi dengan tembakan. Akibatnya, 2 warga sipil terkena
tembakan dan mengalami luka-luka. Sementara menurut keterangan polisi, massa
dihadang, karena mereka tidak memiliki surat izin untuk mengadakan demonstrasi.
Theo Hesegem, ketua Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Papua dalam
media ucanews.com pun menilai, pemerintah mestinya menghargai warga Papua yang
ingin menyampaikan pendapat mereka secara demokratis. “Kenapa hanya di Papua
masyarakat sipil selalu dihambat bila hendak menyampaikan pendapat di muka umum.
Di tempat lain di negara ini, tidak terjadi hal seperti ini”. Menurutnya, warga
sipil Papua bukannya tidak mentaati aturan untuk selalu meminta izin kepada
polisi bila hendak mengadakan aksi unjuk rasa. “Selama ini, warga selalu
mengirimkan surat untuk meminta izin, tapi kemudian izin tidak diberikan”. Pada
posisi ini, negara di bawah amanat militer gagal mewujudkan demokrasi. Hak
untuk menyampaikan pendapat mestinya dihargai, karena rakyat bukan melakukan
aksi brutal yang mengacaukan situasi, melainkan ingin mengungkap dosa-dosa
negara. Masyarakat ingin menyampaikan pendapat atas ketidakadilan dan
ketidakbenaran yang sedang diperaktekkan di Papua. Rakyat sebenarnya bertindak
secara demokrasi dan mengikuti aturan yang ada. Tidak mungkin rakyat melakukan
aksi yang membabi-buta itu. Pastilah rakyat sudah meminta izin kepada pihak
yang berwenang, tetapi juga pasti surat itu ditanggapi dengan pikiran negatif.
Pada media yang sama Alves Fonataba, juru bicara National for Papuan
Solidarity juga mengatakan, aparat keamanan sudah memiliki stigma negatif
terhadap warga Papua. “Karena itu, setiap bentuk aksi damai akan dianggap
sebagai ancaman terhadap negara”.
Negara sepertinya takut atas sikap kritis rakyat Papua terhadap tindakan
tak manusiawi yang sedang dipraktekkan di Papua. Dengan demikian, negara tidak
ingin dosa-dosanya diungkap dan diangkat ke permukaan oleh rakyat Papua
sehingga segala tindakan yang dilakukan oleh rakyat Papua dibatasi dengan
tindakan represif yang berlebihan.
Negara Indonesia yang dibekap oleh militer
menilai dan menganggap bahwa demokrasi sudah dan sedang berjalan tanpa
hambatan. Di Papua misalnya, pemerintah Indonesia dengan serius menganggap
segala kebijakan dan tindakan yang dilakukan dianggap demokrasi telah berhasil.
Dengan membatasi atau mengurangi ruang demonstrasi di Papua, pemerintah
Indonesia menganggap demokrasi berjalan lancar. Kalau tidak ada demonstrasi di
Papua, maka yang ada adalah aman dan damai. Di sisi ini, Indonesia lupa bahwa,
dengan membatasi demomonstrasi berarti Indonesia sedang membatasi hak untuk
menyampaikan pendapat di depan umum. Maka hal ini sama dengan Indonesia sedang
membatasi demokrasi rakyat. Sehingga tindakan dosa negara di Papua tidak
berkurang, tetapi malah bertambah banya. Apalagi dengan melibatkan militer
dengan menggunakan senjata milik negara, yang tidak seharusnya dipegang saat
mengamankan massa pendemo.
Tentunya militer bukan datang untuk
membatasi demonstrasi atau hak rakyat untuk menyampaikan pendapat, tetapi
sebagai pengaman yang mengamankan musuh (ganguan dari luar negara). Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa, negara di bawah pengawasan militer bukan
mengamankan kondisi demokratisasi, melainkan malah mengeruk situasi dengan
melakukan tindakan anarkis terhadap rakyat. Tindak demikian membuat rakyat bisa
menyadari bahwa orang Papua dianggap sebagai musuh negara republik Indonesia.
Situasi konflik di Papua yang sudah
berlangsung lama ini, membuat rakyat merasa resah dengan tindakan-tindakan
militer. Tindakan pembatasan atas hak untuk menyampaikan pendapat di depan umum
secara demokrasi pun dihalangi. Rakyat merasa hak untuk menyampaikan pendapat
merupakan suatu kebebasan bagi setiap warga negara. Hak untuk menyampaikan
bukan sebagai larangan. Tentunya orang Papua menyadari bahwa undang-undang
telah mengaturnya, maka segala kritikan demi menyadarkan pemerintah dan memberi
masukan kepada pemerintah harus disampaikan. Hak untuk menyampaikan pendapat
bukanlah suatu pelanggaran dan bukan untuk mengacaukan kedamaian, tetapi lebih-lebih
mengkritisi dan atau memberikan masukan kepada pemerintah Indonesia agar
mengevaluasi diri dan bertindak baik, benar dan jujur, agar tindakan pemerintah
pada rakyat berjalan searah dan berguna.
Gelombang demokratisasi yang tidak
berjalan maksimal ini, akhirnya menimbulkan ketegangan-ketegangan antara rakyat
dan pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia masih berpandangan negatif
terhadap rakyat Papua. Sementara rakyat Papua menganggap tindakannya yang
dilakukan diatas tanahnya sendiri adalah menaati aturan demokrasi yang berlaku
umum di negara Indonesia. Oleh karena itu, Pandangan negatif negara terhadap
rakyat Papua harus dibersihkan dan dihilangkan. Damai tidak akan tercapai jika
pandangan negatif ini masih tertanam dalam diri setiap orang, terutama
pemerintah Indonesia. Pandangan negatif ini harus dibicarakan dalam dialog
Jakarta-Papua, agar tercipta apa yang dinamakan damain itu di Papua.
*)
Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Jayapura-Papua
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."