(Suatu Upaya RI Untuk
Membunuh Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua)
"Kami heran bahwa Kapolda Papua baru menjabat langsung tuduh KNPB adalah teroris, nah ini bagian dari pengacau keamanan, ini sangat keterlaluan,” komentar Socratez S. Yoman, Ketua Umum Persekutuan Gereja- Gereja Baptis Papua. (Sumber: Bintang Papua, Jumat, 25 Januari 2013, hal. 3).
Tanggapan tokoh Gereja Papua, Socratez S. Yoman, S.Th. M.A menyikapi
tudingan teroris oleh Kapolda Papua kepada aktifis Papua (Komite Nasional Papua
Barat) adalah merupakan suara gereja menolak tegas tudingan teroris oleh Negara
Indonesia melalui Kapolda Papua. Tanggapan tokoh Gereja itu juga menyatakan
kepada Negara Indonesia dan negara-negara di dunia serta Perserikatan
Bangsa-Bangsa bahwa orang Papua bukan teroris, orang Papua bukan Makar, orang
Papua bukan separatis, orang Papua bukan pengacau keamanan, orang Papua tidak
merong-rong keutuhan NKRI.
Dalam artikel ini, saya menyoroti beberapa pertanyaan fundamental yaitu:
1). Mengapa Negara Indonesia menstigmatisasi perjuangan bangsa Papua dengan
tudingan: separatis, makar, pengacau keamanan, teroris, dll?; 2). Mengapa orang Papua bukan teroris, orang Papua
bukan Makar, orang Papua bukan separatis, orang Papua bukan pengacau keamanan,
orang Papua tidak merong-rong keutuhan NKRI? 3).
Bagaimana tanggapan masyarakat Internasional atas tudingan Pengacau Keamanan,
Makar / Separatis, teroris, dll kepada orang asli Papua?
4). Apa dampak stigmatisasi Pengacau keamanan, makar / separatis, teroris oleh RI terhadap perjuangan rakyat bangsa Papua? 5). Bagaimana siasat menghadapi stigmatisasi terhadap orang Papua yang digencarkan oleh Negara Indonesia melalui sistemnya? Kelima pertanyaan mendasar ini, saya uraikan satu persatu dalam artikel ini.
4). Apa dampak stigmatisasi Pengacau keamanan, makar / separatis, teroris oleh RI terhadap perjuangan rakyat bangsa Papua? 5). Bagaimana siasat menghadapi stigmatisasi terhadap orang Papua yang digencarkan oleh Negara Indonesia melalui sistemnya? Kelima pertanyaan mendasar ini, saya uraikan satu persatu dalam artikel ini.
I. PEMBUNGKAMAN PERJUANGAN BANGSA PAPUA MELALUI STIGMATISASI
Strategi dan taktik politik stigmatisasi yang digencarkan oleh Negara
Indonesia melalui sistemnya terhadap aktifis Papua Merdeka adalah merupakan
suatu langkah menutupi segala bentuk kejahatan kemanusiaan terhadap orang Papua
dan sebagai langkah pembenaran untuk menumpas orang asli Papua yang berjuang
untuk kedaulatan Papua Barat.
Ada tiga bentuk kejahatan kemanusiaan, yakni: Aneksasi kemerdekaan
kedaulatan suatu bangsa; Kejahatan Perang, dan Pemusnahan etnis. Negara
Indonesia telah dan sedang melakukan tiga kategori kejahatan kemanusiaan ini.
Setelah Negara Indonesia berhasil menganeksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa
Papua melalui invasi politik dan militer yang dimulai dengan Maklumat Tri
Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI (Soekarno), 19 Desember 1961, Negara
Indonesia masih terus menerus menerapkan operasi militer, baik secara terbuka
dan terselubung (perang terbuka dan tertutup), yang berdampak pada pemusnahan
etnis Papua secara pelan tapi pasti (slow motion genocide). Salah satu stigmatisasi yang muncul
pada akhir-akhir ini adalah tudingan teroris kepada para aktifis Papua Merdeka,
khususnya kepada aktifis Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Berikut ini tingkatan stigmatisasi dari Negara Indonesia kepada orang asli Papua yang berjuang untuk berdaulat penuh, yaitu: pertama-tama RI menyebut Organisasi Papua Merdeka (OPM), Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) / Gerakan Pengacau Lingkungan (GPL), Separatis atau Makar, Orang Tak Kenal (OTK), Sipil bersenjata, dan Teroris.
Berikut ini tingkatan stigmatisasi dari Negara Indonesia kepada orang asli Papua yang berjuang untuk berdaulat penuh, yaitu: pertama-tama RI menyebut Organisasi Papua Merdeka (OPM), Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) / Gerakan Pengacau Lingkungan (GPL), Separatis atau Makar, Orang Tak Kenal (OTK), Sipil bersenjata, dan Teroris.
Sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dilabelkan oleh Negara Indonesia
kepada orang Papua yang mengambil sikap untuk berjuang kemerdekaan Papua Barat.
Menurut tuan Forkorus Yaboisembut S.Pd orang asli Papua menerima sebutan OPM
setelah mempertimbangkannya dan ternyata sebutan OPM itu tepat dan benar. Kini
OPM telah menjadi sebuah organisasi perlawanan yang menyatu dalam wadah TPN PB
(Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) yang struktur dan manajemen telah
ada, walaupun belum ada komando terpusat.
Sebutan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) / GPL adalah sebutan kedua yang
dimunculkan Negara Indonesia. Dengan adanya sebutan ini membenarkan tindakan
penumpasan (operasi militer)terhadap orang asli Papua yang berjuang untuk
berdaulat penuh. Juga melalui berbagai forum resmi dan non resmi Republik
Indonesia (RI) meyakinkan kepada masyarakat Internasional bahwa di Papua ada
Gerakan Pengacau Keamanan. Dengan demikian meredam dukungan masyarakat
Internasional soal status politik bangsa Papua.
Stigmatisasi berikutnya adalah Makar atau Separatis kepada aktifis Papua
Merdeka oleh Negara Indonesia. Stigmatisasi itu dilegalisasi dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yakni pasal 106 - 110 KUHP. Produk Hukum yang
ditinggalkan oleh Kerajaan Belanda ini, dalam penerapannya telah memakan korban
nyawa rakyat sipil dan materi dalam jumlah sangat banyak.
Pasal-pasal makar dalam KUHP ini sebagai upaya pembenaran dan melegalkan
operasi-operasi militer secara terbuka dan tertutup untuk menumpas gerakan
pembebasan nasional Papua Barat, penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang
oleh RI. Pengorbanan moril dan materil yang dialami oleh rakyat bangsa Papua
tidak dapat dibayangkan dan tak dapat dilukiskan dalam tulisan ini. Dan lebih
mengerikan adalah pengorbanan nyawa rakyat bangsa Papua dalam jumlah banyak
akibat operasi militer terbuka dan tertutup, serta operasi sipil. Singkatnya,
stigmatisasi makar atau separatis yang dilegalkan dalam KUHP adalah sebagai
tameng untuk melindungi diri dari berbagai kecaman dari masyarakat
Internasional atas tindakan kejahatan kemanusiaan kepada orang asli Papua hanya
demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Orang Tak Kenal (OTK) adalah istilah yang dimunculkan aparat polisi dan
militer Indonesia untuk menunjuk pelaku penembakan yang tidak diketahui
identitasnya. Menurut Agus Sananay Kraar (Tahanan Politik Papua di penjara
Abepura) bahwa istilah OTK ini melahirkan multi tafsir, apakah dilakukan oleh
pihak Papua atau pihak Indonesia; dan dapat mengarah pada kambing hitam kepada
orang Papua, saling tuduh menuduh pun terjadi. Selain itu, ada istilah lain
yang digunakan adalah kelompok sipil bersenjata dan juga manusia bertopeng.
Stigmatisasi kepada aktifis Papua Merdeka yang paling terakhir adalah
tudingan Teroris. Tudingan ini bukan tiba waktu tiba akal, tetapi ini sebuah
skenario besar Negara Indonesia yang sudah lama dirancang untuk menterorisasi
perjuangan bangsa Papua dalam upaya membunuh nasionalisme Papua Merdeka, dengan
demikian memperpanjang penindasan dan gerakan aktifis Papua Merdeka menjadi
musuh dunia. Upaya terorisasi perjuangan bangsa Papua oleh Negara Indonesia
melalui sistemnya adalah langkah Indonesia untuk meningkatkan status
operasi-operasi militer, baik secara terbuka dan tertutup karena upaya-upaya
lain yang selama ini diterapkan oleh RI di Papua Barat tidak membuahkan hasil
yang signifikan.
Berbagai rekayasa dilakukan Negara Indonesia untuk membuat mosi tidak
percaya kepada masyarakat Internasional. Dengan jalan ini membunuh dukungan
masyarakat Internasional terhadap perjuangan bangsa Papua. Berikut ini saya
mengutip pernyataan Ed McWilliams: Tuduhan tindakan-tindakan kriminal oleh
beberapa anggota KNPB tidak dibenarkan dengan kuat dan biasanya RI berupaya
untuk menjelekkan nama organisasinya. KNPB dan banyak organisasi lain di Papua
maupun setiap pribadi memang sedang mendorong untuk hak orang Papua diakui,
khususnya hak menentukan nasib sendiri yang sudah sangat lama tidak diakui.
Tetapi semua usaha ini secara umum dilakukan tanpa kekerasaan, demikian
komentarnya. Artikel tuan Ed McWilliams lengkapnya silahkan Anda kunjungi:
www.westpapuamedia.com artikelnya dinaikan pada tanggal 2 Februari 2013.
II. ORANG PAPUA BUKAN MAKAR, BUKAN TERORIS, DLL.
II. ORANG PAPUA BUKAN MAKAR, BUKAN TERORIS, DLL.
Akar masalah Papua Barat bukan masalah makan
minum artinya bukan masalah kejahteraan, bukan masalah pendidikan, bukan juga
masalah kesehatan, tetapi akar masalah Papua adalah hak kemerdekaan kedaulatan
bangsa Papua yang telah dianeksasi ke dalam NKRI secara sepihak melalui invasi
politik dan militer atas dukungan penuh Amerika Serikat. Rakyat bangsa Papua
berjuang hanya untuk memulihkan kembali kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua
yang dianeksasi ke dalam NKRI dengan sewenang-wenang.
Fakta membuktikan bahwa justru negara Indonesia dapat dikategorikan ke
dalam pengacau keamanan (pengacau lingkungan), makar/separatis, mendirikan
negara dalam negara, merong-rong kedaulatan Papua Barat dan sarang teroris.
Berikut ini penjelasan ku untuk membuktikan pernyataan di atas:
1). Siapa yang sebenarnya pengacau keamanan? Justru yang mengacaukan
keamanan di Tanah Papua adalah negara Indonesia yang telah menganeksasi
kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI melalui Maklumat Tri Komando
Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI, Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961,
yang selanjutnya diwujudkan melalui invasi militer dan politik, yang berpuncak
pada Penentuan Pendapat Rakyat Papua pada tahun 1969 yang kita sebut Cacat
Hukum dan Moral. Dalam proses aneksasi itu didukung penuh oleh Amerika Serikat
hanya untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik semata. Justru negara
Indonesia melalui mesin-mesinnya mengacaukan keamanan di Tanah Papua untuk
mempertahankan Tanah Papua dalam bingkai NKRI yang telah dianeksasi dengan
cara-cara kotor dan tidak beradab.
2). Siapa pembuat makar sesungguhnya? Justru Negara Indonesia yang
melakukan makar atas kemerdekaan kedaulatan bangsa dan Negara Papua. Sejak
tahun 1962 Negara Indonesia meningkatkan Invasi politik dan militer untuk
mewujudkan Maklumat Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI. Aneksasi
kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI adalah tindakan makar yang
dilakukan oleh Negara Indonesia. Karena itu tudingan makar dari RI kepada orang
Papua yang berjuang untuk pembebasan bangsa Papua tidak dapat dibenarkan.
3). Siapa sebenarnya yang mendirikan negara dalam negara? Yang
mendirikan negara dalam negara adalah justru Negara Indonesia. Hal ini dapat
dibuktikan dalam maklumat Tri Komando Rakyat oleh Prisiden RI, Soekarno dalam
point pertama menyatakan: Bubarkan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.
Dalam point ini mengandung tiga hal penting, yakni: a). Negara Indonesia telah
mengakui adanya negara Papua Barat; b). Tapi Negara Papua Barat itu dihina
sebagai negara boneka; c). Negara Papua Barat itu harus dibubarkan. Camkanlah
bahwa pengakuan presiden Indonesia adanya negara Papua dalam maklumat TRIKORA
itu sah dan mengikat. Dan di sisi lain maklumat TRIKORA itu adalah bukti
outentik adanya aneksasi Negara dan Bangsa Papua ke dalam NKRI.
4). Siapa sebenarnya yang merong-rong kedaulatan? Tudingan merongrong
kedaulatan NKRI oleh Negara Indonesia sangat tidak tepat ditujukan kepada
rakyat bangsa Papua yang sudah dan sedang serta akan berjuang untuk memulihkan
hak-hak dasarnya, terutama hak fundamental yakni hak kesulungan rakyat bangsa
Papua (kemerdekaan kedaulatan) yang telah dianeksasi ke dalam NKRI dengan
sewenang-wenang. Jusrtu negara Indonesia telah berhasil merong-rong kedaulatan
Papua Barat dan berhasil aneksasi bangsa Papua Barat ke dalam NKRI. Camkanlah
bahwa orang asli Papua berjuang bukan untuk menganeksasi atau mencaplok tanah
Jawa, Tanah Sulawesi, Tanah Madura, dan lain lain, tetapi bangsa Papua berjuang
untuk tanah leluhurnya berdaulat penuh (merdeka) sama seperti bangsa-bangsa
merdeka lain di dunia. Jadi orang asli Papua tidak sama sekali merong-rong
kedaulatan Tanah-Tanah lain di Indonesia. Orang asli Papua berjuang untuk
hak-hak dasarnya diakui dan dikembalikan, seperti hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua, yang dijamin
oleh konstitusi NKRI pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pragraf pertama
dan hukum Internasional.
5). Siapa penganut teroris sesungguhnya? Istilah teroris tidak ada dalam
perjalanan hidup bangsa Papua. Nenek moyong bangsa Papua tidak pernah
mempraktekkan dan mengajarkan kepada anak cucuhnya untuk meneror disertai
dengan pembunuhan warga sipil dengan sewenang-wenang. Walaupun ada perang suku
di Papua, tetapi kedua belah pihak tunduk dan taat pada tata cara perang suku
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Bukan perang dengan
sewenang-wenang seperti yang dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia di
mana dalam operasi militer memperkosa, mencuri, membakar rumah-rumah warga
sipil, mengusir warga sipil dari perkampungan, membunuh anak-anak dan istri
dari pihak lawan dengan brutal; serta mengadu domba suku-suku setempat untuk
saling membunuh dan hal itu digunakan oleh Negara Indonesia sebagai bahan
kampanye bahwa itu adalah perang suku.
Dalam perjuangan bangsa Papua pun, para aktifis Papua Merdeka tidak
pernah menerapkan tindakan teror kepada warga sipil. Yang ada adalah gerakan
perjuangan pembebasan nasional Papua dengan menempuh cara-cara damai dan
tentang hal ini ditetapkan dalam Kongres Bangsa Papua pada tahun 2000. Aktifis
Papua merdeka tidak pernah menggunakan bom untuk menarik simpati internasional
atau menakuti warga sipil.
Aksi perlawanan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB)
dirimba raya Papua yang seringkali kontak senjata dengan Polisi dan militer
Indonesia adalah hal yang biasa dalam perjuangan pembebasan nasional di mana
pun di dunia yang pernah berjuang untuk merdeka. Dengan adanya kontak senjata
itu, TPN PB menunjukkan eksistensi nasionalisme pembebasan bangsa Papua dan
menolak pendudukan pemerintahan Indonesia di Tanah Papua. Sama seperti bangsa
Indonesia memerdekakan dirinya dari penjajahan Belanda dengan perlawanan
senjata dari Tentara Indonesia, TPN PB sebagai sayap militer melaksanakan
fungsinya. Sasaran TPN PB adalah kepada Polisi dan TNI, bukan kepada warga
sipil. Wacana selama ini bahwa TPN PB menembak warga sipil adalah tidak benar
dan itu hanyalah rekayasa aparat Indonesia untuk membangun mosi tidak percaya
kepada masyarakat Internasional. Kalaupun ada, itu dilakukan oleh oknum
(pribadi) mungkin karena alasan atau kepentingan tertentu atas permainan pihak tertentu, bukan perintah
pimpinan TPN PB. Karena itu sangat tidak masuk akal dan tidak dapat
dipertanggung jawabkan jika dari pihak Negara Indonesia dapat beranggapan bahwa
TPN PB atau aktifis Papua Merdeka itu identik dengan teroris.
Camkanlah bahwa hukum anti terorisme itu baru saja dilahirkan bersamaan
dengan ancaman-ancaman terhadap fasilitas umum dan menakuti warga sipil,
seperti pemboman terhadap gedung raksasa di Amerika Serikat yang disebut kantor
pusat perekonomian dunia (WTC). Pasca pemboman gedung pencakar langit itu,
Amerika Serikat menyerukan perang terhadap terorisme. Disaat yang sama pula
Indonesia mendevinisikan terorisme sesuai kehendaknya hanya sebagai tameng
untuk kepentingan menjaga teritorial NKRI dan ancaman keamanan serta
ketertibaan umum.
Berikut ini saya mengutip devinisi teroris menurut satuan Densus 88 yang
dimuat dalam pidato ibu Sidney Jones; ada dua macam kategori terorisme, yaitu
pertama, orang Islam radikal; kedua, orang separatis / nasionalis etno (www.crisisgroup.org/en/publication-type/speeches/2013/jones-papuan-separatists.aspx).
Devinisi teroris kategori kedua ini sangat aneh dan memalukan. Dengan
adanya devinisi kategori ke dua ini dapat melegitimasi Densus 88 dan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) sedang berusaha untuk menumpas aktifis Papua merdeka
yang sudah berjuang lama sebelum devinisi teroris itu dilahirkan. Ironis
memang, tapi nyata bahwa langkah ini ditempuh RI setelah metode-metode lain
yang diterapkan selama ini gagal menumpas gerakan pembebasan bangsa Papua.
Tetapi apakah upaya RI untuk menerapkan hukum anti terorisme di Papua akan
berhasil?
Sesungguhnya Negara Indonesia mengintropeksi
diri sebelum menerapkan hukum anti terorisme di Papua. Jika itu diterapkan di
Papua, maka tindakan itu hanyalah menuai kritik dan memalukan nama Indonesia
dikancah masyarakat Internasional. Mengapa saya katakan demikian? Masyarakat
internasional telah tahu dan paham bahwa perjuangan bangsa Papua itu bukan
mengacaukan keamanan, bukan makar/ separatis, bukan teroris yang menakuti warga
sipil, tetapi perjuangan bangsa Papua adalah untuk memulihkan kembali
kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang dianeksasi secara sepihak ke dalam
NKRI pada tahun 1960 - an.
Masyarakat Internasional sudah tahu bahwa sarang teroris itu hanya ada
di wilayah-wilayah Indonesia tertentu dibagian barat dan tengah yang
berpenganut Islam Radikal yakni jihad.
Taktik politik stigmatisasi Negara Indonesia kepada aktifis Papua
merdeka melahirkan berbagai kontro versi dikalangan masyarakat Internasional.
Secara umum ada tiga sikap muncul menyikapi stigmatisasi itu, yakni: ada orang
yang pro stigmatisasi artinya mendukung stigmatisasi RI, dan ada juga orang
yang kontra stigmatisasi artinya menolak stigmatisasi RI. Dan ada orang yang
mengambil sikap netral (tidak juga pro, tidak juga kontra). Selain itu ada pula
masyarakat internasional yang sangat tidak tahu (buta) dengan penindasan yang
terjadi di Tanah Papua oleh Negara Indonesia.
Mengambil sikap pro dan kontra serta sikap netral untuk menyikapi suatu
hal dalam dinamika kehidupan umat manusia di dunia adalah wajar dan biasa.
Masing-masing sikap dan tindakan: pro, kontra, dan netral yang ditampilkan itu
tentu memiliki latar-belakang pemahaman atas masalah dan gerakan perjuangan
bangsa Papua yang berbeda-beda.
Ada orang yang mendukung stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka
karena memang watak dan karakternya anti penegakkan kebenaran, keadilan,
kejujuran, kedamaian, kebebasan, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Ada pula
orang mendukung stigmatisasi RI kepada aktifis Papua merdeka, walaupun ia tidak
memahami baik latar belakang berbagai masalah di Tanah Papua, tetapi karena
dipengaruhi oleh Negara Indonesia melalui berbagai kampanye dan lobi dalam
forum-forum resmi dan non resmi di negara-negara dan dalam forum PBB.
Mereka yang berhasil dipengaruhi oleh RI, tentu memainkan peran ganda,
di lain sisi mereka mempengaruhi masyarakat dan negara asalnya untuk tidak
mendukung perjuangan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua dan lain sisi
mereka mempengaruhi masyarakat Internasional di negara-negara di dunia melalui
jaringan kerja atau media cetak atau elektonik untuk tidak mendukung perjuangan
bangsa Papua untuk berdaulat penuh. Ada pula pendukung stigmatisasi tertentu
memberikan dukungan penuh kepada Negara Indonesia untuk menumpas gerakan
pembebasan Nasional Papua Barat.
Bagi masyarakat Intenasional tertentu yang mendukung stigmatisasi kepada
aktifis Papua merdeka oleh Negara Indonesia yang dilegalkan melalui produk
hukum Indonesia, mereka itu secara sadar atau tidak sadar, secara langsung
maupun tidak langsung telah mendukung penuh upaya sistematis dan terencana yang
dipraktekkan oleh Indonesia untuk memarginalisasi, mendiskriminasi, membuat
ketidak-adilan, membuat orang Papua menjadi minoritas di Tanah Papua, dan etnis
Papua menjadi punah secara perlahan tetapi pasti (slow motion genocide).
Sedangkan bagi masyarakat Internasional yang kontra stigmatisasi
(menolak stigmatisasi) kepada para aktifis Papua merdeka adalah mereka yang
memahami baik tentang akar permasalahan dan penderitaan yang dialami oleh
rakyat pribumi bangsa Papua serta memahami baik tentang nilai-nilai universal
dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB serta menegakkannya. Mereka bukan
hanya menolak stigmatisasi tanpa tindakan, tetapi diantara mereka, ada pula
yang mengorbankan tenaga, waktu, moril dan materilnya untuk mendukung
perjuangan rakyat bangsa Papua. Mereka ini masuk dalam kategori sayap keempat,
yakni sayap simpatisan. Mereka memperkuat tiga sayap perjuangan Papua, yakni
sayap sipil, militer dan diplomat.
Para simpatisan melakukan berbagai bentuk aktifitas untuk menaikan
publikasi internasional dan mendesak pemerintahan asalnya serta PBB, juga
Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah kongkrit guna menyelesaikan
masalah-masalah di Papua Barat. Keterpanggilan mereka dalam mendukung
perjuangan bangsa Papua adalah murni keterpanggilan kemanusiaan. Tidak ada
kepentingan lain, kecuali kepentingan untuk menyelamatkan rakyat bangsa Papua
dari diskriminasi, marginalisasi, ketidak-adilan, minoritas dan kepunahan etnis
Papua secara perlahan tetapi pasti. Mereka bekerja tanpa pamrih, bekerja tanpa
upah. Satu hal yang tidak dapat diambil dari mereka yang menaruh hati bagi
penderitaan rakyat pribumi Papua adalah melalui sikap dan tindakan solidaritas
itu, mereka menaburkan benih-benih kebaikan dalam kebun kehidupannya
masing-masing.
Sementara itu ada pula masyarakat Internasional yang memilih sikap
netral. Sikap itu diambil karena ada beberapa pertimbangan, antara lain: 1)
Mungkin mereka tidak mau ambil resiko karena setiap sikap pro atau kontra yang
diambil tentu ada pengorbanan (pengorbanan berupa materil maupun moril); 2)
Mungkin tidak mau ambil pusing karena tidak simpati dengan penindasan yang
terjadi di Tanah Papua; 3) mungkin juga tidak mau hubungan kerja sama antara
mereka dan RI tidak terganggu, artinya lebih mengutamakan kepentingan ekonomi
dan politik mereka, ketimbang mendukung gerakan Papua yang tidak memberi
manfaat secara langsung dalam kehidupan mereka; 4) mungkin juga karena ada
alasan lain.
Masyarakat Internasional yang tergolong dalam kategori keempat yang
tidak tahu tentang masalah darurat kemanusiaan terselubung di Tanah Papua itu
tentu terjadi karena mereka tidak mengikuti dinamika kehidupan masyarakat
global melalui media cetak maupun elektonik. Dan ini tentu dilatar belakangi
oleh beberapa faktor, antara lain: 1) mungkin karena segala waktu difokuskan
pada pekerjaan dan rutinitas harian mereka; 2) Mungkin tidak tersedianya sarana
komunikasi, media cetak dan elektronik; 3) mungkin karena ada alasan lain,
seperti lanjut usia, cacat fisik, dan lain sebagainya.
Berikut ini saya menampilkan beragam tanggapan masyarakat internasional
terhadap stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka oleh Negara Indonesia.
Stigmatisasi: makar, separatis, teroris, dan sebagainya yang telah dilegalisasi dalam suatu produk hukum Indonesia telah menuai kontro versi. Masyarakat Internasional yang kontra stigmatisasi, baik secara individu atau lembaga, seperti Amnesti Internasional, ETAN, HRW, Group-group pendukung di dunia, dan Dewan HAM PBB telah berkali-kali mengecam Pemerintah Indonesia untuk menghentikan stigmatisasi makar, separatis, teroris dll, menghentikan kekerasan dan meminta pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah-masalah Papua dengan demokratis dan bermartabat.
Stigmatisasi: makar, separatis, teroris, dan sebagainya yang telah dilegalisasi dalam suatu produk hukum Indonesia telah menuai kontro versi. Masyarakat Internasional yang kontra stigmatisasi, baik secara individu atau lembaga, seperti Amnesti Internasional, ETAN, HRW, Group-group pendukung di dunia, dan Dewan HAM PBB telah berkali-kali mengecam Pemerintah Indonesia untuk menghentikan stigmatisasi makar, separatis, teroris dll, menghentikan kekerasan dan meminta pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah-masalah Papua dengan demokratis dan bermartabat.
Salah satu kampanye yang menguat di masyarakat Internasional adalah
terkait penerapan hukum makar di Indonesia. Mereka medesak Negara Indonesia
segera mencabut hukum tertentu seperti hukum makar yang melegalkan tindakan
sewenang-wenang oleh aparat keamanan dan militer Indonesia terhadap rakyat
sipil karena sikap dan tindakan RI itu: 1) Mengabaikan nilai-nilai universal
yang dijunjung tinggi oleh umat manusia di dunia, seperti: demokrasi,
kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian, Hak Asasi Manusia dan kebebasan; 2)
Melanggar prinsip-prinsip Dasar Deklrasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB dan
kovenan-kovenan Internasional lainnya, seperti Deklrasi Hak-Hak Dasar
Masyarakat Pribumi, Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik;
dan Kovenan Internasional tentang hak-hak sosial budaya, ekonomi dan politik.
Salah satu kasus tuduhan makar yang dijerat kepada tuan Filep J. S. Karma di mana beliau dipenjara selama 15 tahun menjadi kasus yang sangat diseriusi oleh masyarakat solidaritas Internasional. Para simpatisan melalui beberapa pengacara hukum Internasional membawa kasus tuan Filep ke arbitrasi Internasional di PBB. Sesuai keterangan dari tuan Filep bahwa gugatan ke arbitrasi internasional itu dimenangkan oleh Filep pada tahun 2011 dengan keputusan: Penahanan Filep J. S. Karma oleh Negara Indonesia adalah penahanan sewenang-wenang (penahanan illegal) maka Pemerintah Indonesia harus segera bebaskan tanpa syarat. Namun, sampai saat ini keputusan itu tidak dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Tuan Filep masih di dalam penjara Abepura.
Selain itu salah satu Pidato yang menuai kontro versi adalah:
Separatisme Papua vs Teroris Jihad: Dilema-Dilema Kebijakan Indonesia. Pidato
ini disampaikan oleh Ibu Sidney Jones dalam program Kebijakan Internasional di
Universitas Stanford Amerika Serikat pada tanggal 05/12/2012 dan diperbaiki
pada 22/01/2013 serta dipublikasikan lewat internet: www.crisisgroup.org/en/publication-type/speeches/2013/jones-papuan-separatists.aspx.
Dalam pidato ibu Jones itu membandingkan dua gerakan di Indonesia:
pertama gerakan Papua, yang beliau sebut: Separatis Papua; dan kedua, gerakan
jihad teroris. Jones mengatakan: kedua gerakan yakni Jihad teroris dan gerakan
orang Papua yang sedang berjuang untuk merdeka membuat tindakan jahat yang
mirip, walaupun mereka selalu dituduh dengan pandapat berbeda. Dalam pidato itu
ia berusaha menggali informasi dari berbagai sumber untuk berusaha menyamakan
aktifitas Pejuang Papua ke dalam ranah teroris.
Berikut ini kutipan pidato dari ibu Jones: Setahu saya, hingga sekarang belum ada upaya sistemnya untuk mempromosikan kelepasan dari ikatan kekerasaan di Papua, walaupun mungkinKAPOLDA akan baru memulai suatu program seperti itu nanti.
Berikut ini kutipan pidato dari ibu Jones: Setahu saya, hingga sekarang belum ada upaya sistemnya untuk mempromosikan kelepasan dari ikatan kekerasaan di Papua, walaupun mungkinKAPOLDA akan baru memulai suatu program seperti itu nanti.
Pernyataan ibu Jones di atas, secara terselubung beliau mendukung upaya
tudingan teroris yang diungkapkan oleh Kapolda baru, Tito Karniavan kepada
aktifis KNPB. Sebaiknya Ibu Jones tidak secara langsung menuduh gerakan Papua
semirip teroris.
Ibu Jones tidak tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan kekerasan di
Tanah Papua. Berikut ini tanggapan Ed McWilliams: Khususnya di Papua Barat di
mana rivalitas polisi militer tentang akses pada sumber alam dan pemerasan
sangat terkenal. Sebaiknya Jones tahu pula bahwa militer, polisi dan aparat-aparat
inteligen Indonesia sudah lama sekali berperan sebagai pelaku yang menimbulkan
dan merekayasa tindakan kekerasaan untuk mencapai tujuan-tujuan terselubung,
demikian komentarnya.
Pernyataan ibu Jones seolah-olah pihak TNI dan POLRI tidak melakukan
kejahatan kemanusiaan terhadap orang asli Papua, padahal justru TNI dan POLRI
menjadi dalang dan pemicu kekerasan yang berkepanjangan di Tanah Papua hanya
demi mencapai kepentingan politik dan ekonomi semata. Untuk mencapai
kepentingan-kepentingan itu, berbagai skenario secara teratur, rapih dan
sistematis dimainkan oleh kaki tangan RI di Tanah Papua, seperti yang terjadi
dalam demonstrasi damai pada tanggal 16 Maret 2006 di Abepura yang berakhir
bentrok dengan aparat polisi.
Kasus ini murni didalangi dan dimainkan oleh aparat polisi dan intelijen
Indonesia bekerja sama dengan pihak tertentu yang menjadi mitra kerja mereka.
Di pihak polisi kasus ini mengakibatkan tiga brimob dan satu militer TNI
angkatan udara tewas serta beberapa polisi mengalami luka berat dan ringan. Dan
di pihak warga sipil, beberapa orang mengalami luka tembak, selanjutnya
polisi/brimob menggelar penyisiran brutal di Abepura dan sekitarnya. Akibat
penyisiran membabi buta oleh polisi itu mengalami: pengrusakan fasilitas
dibeberapa asrama mahasiswa, teror intimidasi terhadap warga sipil, penangkapan
sewenang-wenang, disertai penyiksaan brutal akibatnya banyak orang mengalami
luka berat dan ringan.
Tragedi kelabu 16 Maret 2006 itu adalah skenario tingkat tinggi yang
dikemas secara teratur dan rapih oleh pihak aparat dan intelijen Indonesia
hanya untuk mencapai empat kepentingan, yakni: 1) Untuk meredam demonstrasi
damai yang meluas dan menggema di negara-negara dunia dengan tuntutan sentral:
tutup PT Freeport Indonesia di Timika- Papua, dan AS, RI dan Papua mengadakan
dialog atau perundingan; 2) Bagi pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan
tidak langsung untuk meredam demonstrasi itu mendapatkan imbalan atau balas
jasa, antara lain berupa uang; 3) Untuk menaikan pangkat dan jabatan bagi
aparat Indonesia yang terlibat dalam meredam demonstrasi damai yang meluas dan
menggema itu; 4) Untuk membangun mosi tidak percaya dan mendegragasikan
perjuangan pembebasan bangsa Papua.
Pasca tragedi itu, untuk mengelabui publik Internasional, aparat polisi
dengan sewenang-wenang menangkap seratus lebih orang Papua yang mayoritasnya
adalah mahasiswa. Dan hanya 24 orang saja dipenjara di Abepura dengan hukuman
berat paling tinggi 15 tahun. Mereka itu sebenarnya bukan pelaku pembunuhan
brimob dan militer dalam tragedi 16 Maret 2006 itu. Tetapi demi melindungi dan
menyembunyikan permainan aparat Indonesia, 24 orang itu divonis bersalah dan
dipenjara.
Jones sebagai senior aktifis HAM sudah tahu bahwa selama ini Negara
Indonesia tidak memberikan akses bagi wartawan asing dan pekerja kemanusiaan
asing masuk ke Papua Barat untuk melihat dan mendengar langsung penderitaan dan
harapan hidup orang asli Papua. Ibu Jones mestinya bertanya: Kenapa tidak
memberikan akses bagi wartawan asing dan pekerja kemanusiaan asing masuk ke
Papua Barat, seperti tidak memberi ijin bagi pelapor khusus PBB yang membidangi
kebebasan berekspresi untuk datang ke Papua Barat dan Ambon pada bulan Januari
2013? Jawabannya: Negara Indonesia takut terbongkar segala bentuk penindasan terhadap
orang asli Papua dan orang Ambon-Maluku.
Nampaknya ibu Jones belum memahami baik tentang latar belakang sejarah
bangsa Papua yakni distorsi sejarah yang menjadi akar permasalahan di Papua
Barat. Ibu Jones juga belum melihat secara langsung bagaimana orang Papua hidup
dalam tekanan, intimidasi dan teror dari TNI dan POLRI, ia pun belum melihat
secara langsung bagaimana orang asli Papua semakin dimarginalisasi, semakin
didiskriminasi, menjadi minoritas, mengalami ketidak-adilan, dibantai oleh TNI
dan POLRI melalui operasi militer terbuka maupun tertutup; akibat dari
penindasan RI dan para sekutunya itu, orang asli Papua saat ini sedang menuju
kepunahan etnis secara perlahan, tetapi pasti. Karena ibu Jones belum melihat
langsung dan belum mengalami betapa pahitnya penindasan RI kepada orang asli
Papua, maka itu dalam pidatonya ia berusaha memojokkan perjuangan bangsa Papua
untuk penentuan nasib sendiri dan berusaha menyamakan gerakan pembebasan bangsa
Papua dengan gerakan jihad teroris di Indonesia.
Dalam pidatonya, ibu Jones tidak mengangkat segala bentuk pelanggaran
HAM dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Indonesia kepada
rakyat pribumi Papua sejak tahun 1962 sampai saat ini. Dari isi pidatonya, kami
tahu bahwa ibu Jones berusaha menyembunyikan segala bentuk penindasan RI dan
berusaha membangun mosi tidak percaya terhadap perjuangan rakyat bangsa Papua.
Ibu Jones sebagai senior dalam bidang HAM semestinya dengan jujur mengungkapkan
fakta-fakta penindasan dari Negara Indonesia dan para sekutunya yang dialami
oleh orang asli Papua. Dengan demikian saya menilai bahwa dalam pidato itu ibu
Jones memposisikan diri bukan sebagai aktifis HAM, bukan juga sebagai ilmuwan,
tetapi memposisikan diri sebagai mitra kerja dari Negara Indonesia dan secara
tidak langsung ibu Jones mendukung segala bentuk penindasan RI kepada rakyat
pribumi Papua Barat.
Pidato yang dibuat Jones ini tergolong seruan atau memotifasi kepada
Negara Indonesia untuk meningkatkan penumpasan aktifis Papua merdeka, yaitu
dari penerapan hukum makar /separatis ditingkatkan ke penerapan hukum anti
terorisme, dan dengan demikian membunuh penentuan nasib sendiri bagi bangsa
Papua. Pidato itu ditanggapi juga oleh Ed McWilliams, berikut ini kutipan
tanggapannya: Seruan Jones untuk Indonesia mendefinisikan seperatisme sebagai
terorisme akan mengeraskan usaha menargetkan suara para aktifis/kelompok yang
menyampaikan dengan damai tidak disetujui dan sekaligus meningkatkan intimidasi
terhadap orang Papua secara umum, demikian komentarnya.
Dalam pidato itu ada sisi lain yang penting dihargai. Saya selaku
tahanan politik Papua yang saat ini berada dalam Penjara Abepura, saya
memberikan apresiasi kepada ibu Jones karena melalui pidato itu memberikan
peringatan dini kepada para aktifis Papua Merdeka untuk menghindari skenario
besar secara terselubung yang didorong oleh RI untuk menumpas gerakan
pembebasan Papua Barat dengan meningkatkan dari status separatis ke status
teroris. Selain itu, di sisi lain pidato ibu Jones juga memberikan masukan bagi
Indonesia untuk tidak menggunakan hukum anti terorisme. Berikut ini komentar
ibu Jones: Salah satu solusinya adalah untuk tidak menerapkan hukum
anti-terorisme di Papua, dan juga untuk berhenti menggunakan hukum itu terhadap
para jihad yang membuat kejahatan yang pada pokoknya tidak merupakan tindakan
dengan sengaja yang bertujuan menciptakan ketakutan, yaitu berbagai tindakan
yang bisa dihukum dengan menerapkan hukum lain termasuk kode hokum kriminal untuk kejahatanseperti
pembunuhan, perampokan dan sergapan, demikian pernyataannya.
IV. DAMPAK STIGMATISASI YANG DILEGALKAN DALAM HUKUM RI
Berbagai stigmatisasi oleh RI kepada aktifis Papua merdeka yang dilegalkan dalam produk hukum Indonesia telah melemahkan perjuangan bangsa Papua, namun pada saat yang sama pula mengobarkan semangat perjuangan Pembebasan Papua Barat dan meningkatkan dukungan solidaritas masyarakat Internasional.
Berbagai stigmatisasi oleh RI kepada aktifis Papua merdeka yang dilegalkan dalam produk hukum Indonesia telah melemahkan perjuangan bangsa Papua, namun pada saat yang sama pula mengobarkan semangat perjuangan Pembebasan Papua Barat dan meningkatkan dukungan solidaritas masyarakat Internasional.
Stigmatisasi yang dilegalisasi melalui produk hukum seperti hukum makar
itu di lain sisi dapat membunuh psikologis orang asli Papua untuk berjuang,
berusaha membungkam suara kebebasan, berupaya mendegradasikan gerakan
perlawanan dan menumpas aktifis Papua merdeka, banyak orang Papua dibunuh,
banyak orang Papua menderita, banyak materi korban, banyak orang Papua
mengungsi ke negara-negara lain, penangkapan sewenang-wenang, pemenjaraan,
membangun mosi tidak percaya kepada masyarakat internasional agar menurunkan
dukungan mereka atas Papua, tetapi pada sisi lain menumbuhkan nasionalisme
kebangsaan Papua, membangkitkan keberanian untuk memperjuangkan pembebasan
Papua dan meningkatkan simpati masyarakat internasional. Negara Indonesia
berpikir bahwa dengan melakukan tindakan sewenang-wenang, orang asli Papua akan
berhenti berjuang, namun anggapan ini tidak berhasil dan Negara Indonesia telah
gagal total meng-indonesia-kan orang asli Papua.
Dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa di dunia yang sudah berdaulat
penuh (merdeka), yang namanya ideologi pembebasan nasional itu tidak pernah
musnah. Ideologi itu mengalir dalam darah nadi dari generasi ke generasi.
Sepanjang generasi penerus ideologi itu masih ada, maka selama itu pula
ideologi pembebasan nasional itu tetap mengalir dalam darah nadi setiap
generasi penerus. Karena itu istilah para penguasa Negara mana pun untuk
menumpas ideologi sampai ke akar-akarnya tidak pernah berhasil. Ideologi itu
akan musnah, apabila tidak ada generasi yang dapat meneruskan ideologi para
pendahulunya.
Demikian pula perjuangan bangsa Papua untuk berdaulat penuh (merdeka).
Sepanjang masih ada penerus ideologi pembebasan nasional Papua, maka selama itu
pula ideologi Papua merdeka terus mengalir dalam darah nadi orang asli Papua.
Ideologi Pembebasan Nasional itu musnah, apabila etnis Papua musnah dari muka
bumi ini.
Negara Indonesia melalui sistemnya dapat membunuh orang Papua satu
persatu melalui berbagai operasi terbuka dan tertutup, tetapi RI tidak akan
pernah membunuh ideologi Pembebasan Nasional Papua Barat. Negara Indonesia
melalui TNI dan POLRI menangkap dan memenjara orang asli Papua satu persatu, tetapi
RI tidak akan pernah memenjara semangat nasionalisme. Negara Indonesia dapat
memaksa menerapkan Paket Politik Undang-undang Otonomi Khusus di Tanah Papua
sebagai tawaran untuk tetap berada dalam NKRI, tetapi Otonomi Khusus itu tidak
akan pernah menawarkan hati dan tidak melemahkan orang asli Papua untuk
berjuang kebebasan total. Berbagai operasi militer ditempuh untuk meredam
perjuangan bangsa Papua, tetapi moncong senjata polisi dan militer Indonesia
tidak pernah meredam suara kebebasan bangsa Papua.
Dari sejak tahun 1962 sampai tahun 1998 rakyat bangsa Papua berada
dibawah kekuasaan tangan besi (rejim Soekarno di jaman orde lama dan rejim
Soeharto di jaman orde baru) dilarang untuk melakukan aktifitas Papua Merdeka
apa pun; mengucapkan kata Papua saja ditumpas dengan tangan besi. Tetapi di era
itu pun nasionalisme kebebasan nasional Papua tumbuh subur, apalagi mulai era
reformasi sejak tahun 1998 bersamaan dengan penggulingan resim tangan besi (alm
Soeharto), nasionalisme kebebasan Papua yang disumbat, krans itu terbuka dan
kini nasionalisme kebebasan itu telah mengalir ke berbagai penjuru dunia.
Nasionalisme kebebasan Bangsa Papua itu tumbuh subur di atas air mata darah,
nasionalisme itu terbangun kokoh di atas tulang belulang para pejuang pendahulu
Bangsa Papua, dan jalan setapak menuju kebebasan nasional Papua Barat yang
dirintis para pejuang pendahulu itu, kini makin meluas dan semakin hari semakin
permanen.
V. KIAT-KIAT MENGHADAPI STIGMATISASI
Tidak ada cara lain untuk menghadapi stigmatisasi RI yang dilegalkan
dalam produk hukum jikalau orang asli Papua tidak menempuh dengan jalan
perlawanan apa pun resiko. Apa pun jenis stigma yang dilabelkan pada orang
Papua, apa pun hukum yang mengekang kebebasan berekspresi, apa pun tindakan
sewenang-wenang yang membatasi kebebasan berpendapat orang asli Papua, apa pun
produk hukum yang melarang kebebasan berorganisasi dan berkumpul, apa pun hukum
yang melegalkan untuk menumpas perjuangan penentuan nasib sendiri bangsa Papua,
saya katakan tidak ada jalan lain, kecuali orang asli Papua tempuh melalui
jalan perlawanan. Ingat: jangan sampai orang asli Papua lupa bahwa dalam
kongres bangsa Papua kedua pada tahun 2000 rakyat pribumi Papua telah
memutuskan bahwa mengawal perjuangan kebebasan bangsa Papua dengan JALAN DAMAI
(non violent).
Camkanlah bahwa tidak ada kata menyerah dan tidak ada kata tunduk kepada
rejim penjajah mana pun dalam kamus revolusi pembebasan nasional. Slogan yang
terukir dalam kamus revolusi pembebasan bangsa adalah: maju pantang mundur,
maju tak gentar untuk menghalau rejim penjajah guna menegakkan keadilan,
kebenaran, kejujuran, demokrasi, Hak Asasi Manusia dan menciptakan damai
sejahtera di bumi seperti di Surga.
Ada banyak cara perlawanan yang kita dapat tempuh sesuai dengan jalan
yang kita pilih melalui jalan damai, selain itu kita juga menghargai jalan yang
ditempuh oleh sayap militer (TPN PB). Karena pilihan utama jalan politik kita
melalui jalan damai, maka itu kita harus memanfaatkan dan memaksimalkan
kekuatan-kekuatan yang ada pada kita.
Kekuatan utama kitaadalah berada pada kedaulatan rakyat bangsa Papua.
Kekuatan itu kita belum bangkitkan secara menyeluruh di bawah satu komando
untuk satu tujuan, di bawah satu wadah politik yang menjadi kendaraan politik
bersama, dan dibawah satu konsep ideologi perjuangan serta agenda-agenda
strategis dan program kerja bersama. Melalui kendaraan politik bersama dibawah
satu kepemimpinan politik sentral dapat mengkoordinasikan ketiga sayap yang
ada, yakni sayap sipil, sayap militer, sayap diplomat; dan juga mengembangkan
jaringan solidaritas atau kata lain mitra kerja dengan para simpatisan
solidaritas masyarakat internasional sebagai sayap keempat.
Melalui organisasi yang tertata rapi dan jaringan solidaritas yang ada,
kita meningkatkan kerja-kerja politik untuk memutuskan mata rantai penindasan
RI dan para sekutunya melalui dua solusi final, yakni pilihan pertama dan
terutama adalah pengakuan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua secara de jure;
dan pilihan kedua adalah refrendum ulang.
Posisi tawar tertinggi bangsa Papua berada pada hasil Kongres Bangsa
Papua ketiga. Kenapa saya katakan demikian? Saya hanya melihat dari sisi
kekuatan demokrasi, kekuatan politik dan kekuatan hukum yang lahir dalam
Kongres Bangsa Papua ketiga. Rakyat bangsa Papua yang datang mensukseskan
kongres itu adalah kekuatan demokrasi. Kongres itu adalah sarana untuk
berkumpul, berdiskusi, menyampaikan pendapat dan menyepakati serta memutuskan
apa yang dikehendaki bersama; itulah kekuatan demokrasi. Dan apa saja yang
dilahirkan dalam Kongres Bangsa Papua ketiga sebagai forum demokrasi tertinggi
bangsa Papua itulah kekuatan politik dan kekuatan hukum. Maka itu mari kita
kompromi politik internal bangsa Papua untuk bersatu dalam satu konsep ideologi
perjuangan, agenda strategis-program kerja bersama, bersatu dalam satu
organisasi sentral yang menjadi kendaraan politik bersama, dan bersatu dalam
kepemimpinan sentral yang diterima dan diakui bersama agar kita menjadi kuat menuju mekanisme
internasional. Ketika kita bersatu, maka kita akan kuat untuk menuju kemenangan
akhir.
Sesungguhnya Negara Indonesia secara politik sudah kalah, karena dalam
Kongres Bangsa Papua ketiga kita sudah tutup dengan JOKER yaitu Deklarasi
pemulihan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua dan berdirinya Negara Federal
Republik Papua Barat (NFRPB) pada tanggal 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus
Padang Bulan - Abepura - Jayapura - Papua Barat. Kekuatan demokrasi, politik
dan hukum telah terpenuhi dalam hasil Kongres Bangsa Papua ketiga, maka itu
sekarang mari kita kompromi politik internal bangsa Papua dan mengawal itu
untuk mendapatkan pengakuan secara de jure dan peralihan kekuasan adminitrasi
pemerintahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke Negara Federal
Republik Papua Barat (NFRPB). Ini hanyalah bersifat tawaran saja, saya tidak
memaksa siapa pun; dan pada prinsipnya saya menghormati posisi Anda
masing-masing dan menghargai semua upaya yang ditempuh oleh semua komponen
bangsa Papua untuk memutuskan mata rantai penindasan RI dan para sekutunya. Jika kita tidak kompromi politik internal
bangsa Papua, maka silahkan kita mencari jalan lain yang terbaik, yang
dikehendaki oleh semua komponen bangsa Papua.
Camkanlah bahwa banyak orang asli Papua menderita, banyak orang Papua
dibantai, dimarginalisasi, orang Papua menjadi minoritas, didiskriminasi,
banyak orang Papua mengungsi ke negara lain, banyak orang Papua ditangkap dan
dipenjara, jadi jangan kita bertahan pada posisi masing-masing yang
mengakibatkan menunda kemerdekaan kedaulatan penuh bagi bangsa Papua di negeri
Papua Barat dan akhirnya memperpanjang penindasan oleh RI dan para sekutunya
kepada orang asli Papua Barat.
Terkait dengan tudingan teroris, kita tidak perlu takut, tetapi kita
waspada dan menghindari tindakan-tindakan tertentu yang melegitimasi RI untuk
meningkatkan operasi dari status separatis menjadi status teroris. Untuk itu
kita tingkatkan kampanye dan lobi melalui jaringan yang ada untuk meyakinkan
kepada masyarakat Internasional bahwa tudingan teroris kepada aktifis Papua
merdeka itu adalah upaya NKRI untuk meredam perjuangan luhur bangsa Papua.
Perlu kita tahu bahwa cara-cara lain untuk menghadapi perjuangan bangsa Papua
sudah gagal total seperti penerapan hukum makar, maka kini Negara Indonesia
sedang berancang-ancang meningkatkan penerapan hukum anti terorisme di Tanah
Papua.
Selama ini RI menggunakan slogan: Perang Melawan Separatis Papua, dan
ternyata itu sudah gagal total, maka RI hendak mau ganti dengan slogan: Perang
Melawan Teroris Papua. Tetapi kasihan, upaya RI bagaikan menyaring angin, pasti
akan gagal total sampai Negara Indonesia akan angkat kaki dari tanah Papua
dengan kepala tertunduk malu, sama seperti Negara Indonesia mengangkat kaki
dari Tanah Timor Timur pasca kemenangan refrendum bagi rakyat Timor Timur, di
mana pada saat itu polisi dan militer Indonesia dipukul mundur oleh pasukan PBB
yang dipimpin pasukan/tentara elit dari Australia pada tahun 1999. Sebaliknya,
jika Negara Indonesia dengan lapang dada mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa
dan Negara Papua dengan bermartabat dan selanjutnya mengatur kerja sama di
antara dua bangsa dan dua negara yang setara, maka negara Indonesia akan
mengangkat kaki dari tanah Papua dengan kepala terangkat dan akan mendapat
penghargaan yang setinggi-tingginya dari
masyarakat Internasional; dan saya yakin rencana pemberian Nobel Perdamaian dunia pasca perjanjian damai RI dengan Aceh di Helsingky kepada presiden RI (SBY) yang telah tertunda akan terwujud. Dengan demikian, nama Indonesia menjadi harum dan terhormat di dunia Internasional.
masyarakat Internasional; dan saya yakin rencana pemberian Nobel Perdamaian dunia pasca perjanjian damai RI dengan Aceh di Helsingky kepada presiden RI (SBY) yang telah tertunda akan terwujud. Dengan demikian, nama Indonesia menjadi harum dan terhormat di dunia Internasional.
PESAN PENUTUP
Akhir dari tulisan ini, saya menyampaikan berapa pesan kepada beberapa
pihak, antara lain:
1). Kepada Negara Indonesia, saya mengucapkan selamat berjuang
mempertahankan Tanah Papua dalam bingkai NKRI dengan cara-cara kotor dan tidak
beradab, tetapi saya ingin katakan bahwa segala upaya Negara Indonesia bagaikan
menyaring angin ( tidak akan pernah berhasil); karena perjuangan bangsa Papua
adalah perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, perjuangan untuk
menegakkan jati diri setiap pribadi dan jati diri bangsa Papua sama seperti
bangsa-bangsa merdeka lain di dunia, maka itu saya yakin bahwa perjuangan
kebenaran dan keadilan bangsa Papua itu akan keluar sebagai pemenang akhir.
2). Kepada siapa pun para simpatisan masyarakat Internasional yang memberi perhatian bagi penderitaan rakyat pribumi Papua, Anda semua adalah bagian dari hidup kami, dan bagian dari sejarah perjuangan Papua Barat. Segala pengorbanan Anda terukir abadi dalam jejak langkah perjalanan bangsa Papua dari generasi ke generasi. Anda semua adalah sahabat dan saudara-saudari kami. Pengorbanan Anda semua adalah bentuk dukungan solidaritas secara nyata untuk menciptakan damai sejahtera di bumi seperti di Surga, khususnya di Tanah Papua. Anda adalah pencinta kebenaran dan keadilan untuk semua; Anda adalah pencinta kedamaian dan kebebasan untuk semua. Tidak ada kata terindah yang kami dapat mengukirkan pengorbanan para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional di mana saja Anda berada, tidak ada barang terindah dan termahal yang dapat membalas kebaikan Anda kepada rakyat pribumi Papua. Hanyalah rasa terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam yang kami ucapkan kepada setiap para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional yang menaruh hati dan yang mendukung kami secara langsung dan tidak langsung bagi pembebasan bangsa Papua dari kemelut penindasan RI dan para sekutunya. Dengan rasa hormat yang amat mendalam dan dari lubuk hati yang paling dalam, kami pesan kepada Anda semua teruslah menaburkan benih-benih kebaikan dalam kebun kehidupan Anda dengan jalan mendukung kami dengan sumbangan moril dan materil menuju penyelesaian status politik dan hukum bagi bangsa Papua di negeri Papua Barat melalui: jalur perundingan; jalur hukum atau jalur dekolonisasi/politik untuk mencapai dua solusi final yaitu pilihan pertama dan terutama adalah pengakuan secara de jure dan atau pilihan kedua: refrendum ulang.
3). Saya mohon Anda dapat menyebarkan artikel ini kepada sesama aktifis
Papua Merdeka dan para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional di manca
negara melalui email, face book, dan media sosial lainnya agar dapat memahami
isinya dan ditindak-lanjuti agar tidak terjebak dalam skenario besar yang
dikemas rapi dan sistematis yang sedang dibangun oleh NKRI melalui mesin-mesin
pertahanannya dan dengan atas kerja sama para sekutunya diberbagai manca negara
untuk mengiring perjuangan bangsa Papua ke ranah teroris, yang akhirnya dapat
berdampak buruk pada perjuangan luhur bangsa Papua menjadi musuh dunia dan
masuk dalam kotak alias tidak mendapat simpati masyarakat internasional. Kita
intropeksi diri dan kita mengawal perjuangan bangsa Papua dengan arif, bijaksana,
cerdas, bermartabat dan bertanggung jawab untuk mencapai ke tujuan utama
perjuangan kita, yakni kebebasan total.
Sekian dan terima kasih.
Abepura, 25
Februari 2012
Persatuan Tanpa Batas Perjuangan Sampai Menang.
Penulis:
Selpius A. Bobii,
(Ketua Umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat
Papua Barat, juga sebagai tahanan politik di Penjara Abepura - Jayapura - Papua
Barat)
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."