Activist HAM Independence Papua telah melakukan investigasi menyeluruh pada tahun 2007 dari Bulan Januari-Juli, atas tindakan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan Pemerintah Republik Indonesia terhaddap orang asli Papua. Pada Bulan Agustus 2007, seorang official dari International Human Rights Organization yang berkantor di Norway dan Geneva-Swiszerland datang ke Papua untuk mengumpulkan data pelanggaran HAM. Seorang official ini pernah bertugas juga di Timo-Timur pada tahun 1999, guna investigasi Pelanggaran HAM.
Pada kesempatan ini Sebby Sambom dkk Activists HAM memberikan data yang telah himpun sebelumnya, maka seorang anggota atau utusan dari kantor HAM Internasional ini membawanya ke Eropa. Yang kemudian mereka mmempelajarinya. Ternyata, Colonel Burhanudin Siagian adalah orang yang pernah bentuk Milissi Merah Putih di Timor-Timur pada tahun 1997-1999. Sehingga pada tanggal 16 Mei 2008 Komisi HAM PBB mengumumkan dan Mempublikasikan melalui website, dengan isu " West Papua: Indonesian Military Colonel Siagian, indicted for Crimes Against Humanity, rallies militias in West Papua". Kelompok Milisi di Papua dibentuk pada tanggal 6 July 2007 dibawah koordinasi Col. Burhanudin Siagian. Laporan asli dalam bahasa Inggris sebagai berikut:
Footnotes (i) On 6 July 2007 a meeting of 500 people from various pro Indonesian nationalist and militia groups was organised at the Military Korem 172 Auditorium in Jayapura. Col. Burhanuddin Siagian the Commander of Kodem 172 was reported to have spoken at this meeting.
Laporan selengkapnya boleh ikuti Laporan asli dalam bahasa Inggris dan juga terjemahan dalam bahasa Indonesia, yang mana surat terbukan telah dikirim kepada Presiden Republik Indonessia (SBY). Surat ini adalah berdasarkan Publikasi dari Komisi HAM PBB atas pembentukan kelompok Milisi di Papua oleh Col. Burhanuddin Siagian, yang mana membahayakan serta mengancam populasi penduduk asli Papua.
Dengan melihat kondisi Pelanggaran HAM oleh Pemerintah Reublik Indonesia terhadap orang asli Papua terus dan tidak pernah berakhirnya, maka activist HAM Independen Papua (Sebby Sambom dkk) merangkumkan materi-materi Hukum HAM Internasional dan Nasional dalam bentuk buku.
Terutama adalah:
Pelanggaran Hukum HAM Internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang mengakibatkan banyak Pelanggaran HAM yang merugika Masyarakat Adat Papua dan Indonesia lainya. Untuk lebih jelasnya, boleh ikuti kutipan yang diambil dari Buku yang berjudul "the Awareness of Law and Human Rights".
Silakan simak!
Government of Indonesia is violator of the National and International Law
(Pemerintah Indonesia adalah pelanggar Hukum Nasional dan Internasional)
Bagian ini menyelaskan atas pelanggaran-pelanggaran hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia, yang Pemerintah Republik Indonesia lakukan dari tahun ke tahun. Mengapa? Sebab dari Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948; pengesahan dan penandatanganan Kovenan Internasional (International Covenant On Civil and Political Rights) pada tanggal 16 Desember 1966; serta Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) pada tanggal 13 September 2007; Pemerintah Indonesia tidak pernah mengindahkan semua Deklarasi dan Kovenan-Kovenan Internasional, sekalipun Indonesia juga ikut menyetujui dan turut ambil bagian dalam penandatanganannya.
1. Contoh Pertama, Pelanggaran Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia Oleh Pemerintah Republlik Indonesia Melalui Aneksasi Bangsa Papus Barat Kedalam Wilayah Republik Indonesia
Contoh nyata yang Pemerintah Indonesia melanggar adalah pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat, yang mana Pemerintah Indonesia laksanakan tidak sesuai dengan International Covenant on Civil and Political Rights (Part I Article 1 Paragrap 1, 2, 3 Part II Article 5 Paragrap 1, 2,; Part III Article 6 Paragrap 1, 2, ; Article 7 Article 9 Paragrap 1; Article 10 Paracrap 1; Article Paracrap 1, dan 2). Hal ini terbukti bahwa pelanggaran hukum dan hak-hak asasi manusia ini lebih banyak Pemerintah Indonesia lakukan terhadap bangsa Papua Barat dan Aceh, yang mana tidak pernah akhirnya dalam kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelasnya akan ikuti lampiran photos, yang dilampirkan pada buku ini oleh Activis HAM Independen (Sebby Sambom, Yance Mote, dkk). Hasil investigasi umum.
2. Contoh Kedua, Pelanggaran Hukum dan Hak- Hak Asasi Manusia Oleh Pemerintah Republik Indonesia Melalui Kampanye Kontroversi Tentang Kovenan Internasional
Untuk lebih jelasnya boleh ikuti kutipan VERSI DEPLU RI dibawah ini:
Laporan Awal Republik Indonesia Tentang Implementasi dari Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) oleh Departeman Luar Negeri Republik Indonesia 2007
Dari bagian angka romawi I (PENDAHULUAN) halaman satu sampai bagian angka romawi V (SARAN-SARAN DAN REKOMENDASI) halaman seratus empat puluh, terdapat banyak kejanggalan yang mana sebenarnya lebih banyak merugikan masyarakat adat pribumi Internasional. Hal ini terbukti dari pendefinisian pasal demi pasal Kovenan Internasional oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2007; yang mana terjemahan dan pendefinisiannya diluar perhitungan yang tidak sesuai keinginan masyarakat Internasional; serta tidak sesuai kehendak mayoritas negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang bergabung dan turut serta dalam penandatanganannya. Dalam buku ini disusun dari point 1 hingga 604 dengan bagian-bagian, sesuai definisi dari setiap pasal.
Oleh karena itu, penulis mencoba memberikan contoh-contoh kejanggalan pendefinisian oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia pada bagian bawah ini:
2. 1. Bagian angka romawi II. E. (Kerangka Hukum) atau angka romawi II. E. 1. (Undang-Undang dan Peraturan yang Mendukung HAM), pada point 65 halaman 16 dan halam 17, yang menjelaskan bahwa Indonesia akan mendukung pemajuan-peningkatan Hak-Hak Asasi Manusia. Berikut komitmen Pemerintah Indonesia dapat dilihat dari point 65, yang mana mencantumkan semua Undang-undang, peraturan Pemerintah dan penganti undang-undang.
Yang dimaksud adalah:
65. Pemerintah Republik Indonesia telah berkomitmen dalam Pemajuan dan pelindungan Hak-Hak Asasi Manusia secara Umum. Hal ini dapat dilihat dari falsafah negara dan melalui perundangan nasional yang berhubungan dengan Hak-hak Asasi Manusia Seperti:
a. Pancasila, terutama sila kedua "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab";
b. Undang-Undang Dasar 1945, Bab XA, Pasal 28A-28J;
c. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia;
d. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak-Hak Asasi Manusia;
e. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Kejahatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
f. Undang-Undang No. 27 Tahun 2004, tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;
g. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002, tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
h. Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2002, tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Pelanggaran Berat Hak-Hak Asasi Manusia;
i. Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004, tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (2004-2009);
j. Perundang-Undangan tentang konvensi-Konvensi Utama Perserikatan bangsa-Bangsa:
- Undang-Undang No. 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi Hak Politik Perempuan;
- Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan;
- Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1993, tentang Pengesahan Konvensi terhadap Apartheid Dalam Olahraga Tahun 1985;
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1998, tentang Pengesahan Konvensi terhadap Penjiksaan dan Kekejaman Lainnya, dan tindakan tidak manusiawi dan merendahkan harkat serta martabat Kemanusiaan;
- Undang-Undang No. 29 Tahun 1999, tentang Konvensi Internasional Pemberantasan Segala Bentuk Diskriminasi Ras;
- Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi dari Hak Anak;
- Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional atas Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;
- Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik;
Untuk menghubungkannya, semua Undang-Undang, Peraturan Pemerinth, Perpu dan Kepres yang dimaksud diatas dapat diratifikasikan dari:
* The Convention On the Rights of the Child (1989);
* The Convention On Biolog cal Diversity (1992);
* Agenda 21 (1992);
* The International Covention On Civil and Political Rights (1966);
* The International Covenan On Economic, Social and Cultural Rights (1966);
* The International Conference On Population and Development (1994);
* Dan Seterusnya Kovensi-Kovensi dan Deklarasi lainnya tentang Hak-Hak Asasi manusia.
2. 2. Bagian angka romawi III (LANGKAH-LANGKAH IMPLEMENTASI KOVENAN)
III. A . BAGIAN I Kovenan Internasional pasal 1 ayat 1, 2 dan 3 dan berlanjut pada definisi atas pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan politik, yang termuat pada point 93 pada halaman 22; point 94, 95, 96, 97 pada halaman 23; point 98, 99, 100 dan 101 pada halaman 24; point 102 dan 103 pada halaman 25; serta point 104, 105, 106, dan 107 pada halam 26. Selengkapnya dapat diuraikan kutipan asli yang Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia susun, berdasarkan arkumendasi versi politik Jakarta tanpa memperhitungkan definisi pemahaman Internasional yang sesungguhnya.
Yang dimaksud adalah:
|
Silakan ikuti kutipan versi Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dibawah ini:
92. Pasal 1 dari International Covenant On Civil and political Rights menjamin bahwa setiap bangsa memiliki hak menentukan nesib sendiri. Sebagai sebuah teori, konsep hak menentukan nasib sendiri memiliki berbagai definisi atau pemahaman bagi berbagai bangsa yang berbeda. Di dalam sistim Perserikatan Bangsa-Bangsa, terhadap setidaknya lima pengertian dari hak menentukan nasib sendiri. Berkaitan dengan kelima pengertian tersebut, laporan ini bertujuan menganalisa apakah Indonesia telah mengimplementasikannya.
93. Definisi Pertama, dari menentukan nasib sendiri adalah kemerdekaan. Hal ini sering disebut sebagai tradisional atau dekolonisasi "Salt Water", yang berarti bahwa setiap wilayah yang mengalami penduduk asing berhak untuk menentukan nasibnya sendiri melalui implementasi dari penentuan nasib sendiri. Implementasi dekolonisasi seperti ini berhubungan dengan hak wilayah yang diduduki untuk merdeka. Definisi ini oleh sebagian besar orang dianggap sebagai sesuatu yang telah dikunakan, karena sebagian besar wilayah yang menjadi daerah jajahan telah mendapatkan kemerdekaan dari pengaruh penjajah. Sehingga dekolonisasi diangkap tidak ada karena sempitnya makna.
94. Untuk Indonesia, arti dari penentuan nasib sendiri di dalam dekolonisasi hanya berlaku bagi wilayah yang masih dibawah pendudukan asing atau penjajahan, dan tidak dapat diterapkan bagi wilayah-wilayah yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah negara merdeka. Indonesia sendiri harus melalui proses perjuangan untuk menentukan nasibnya sendiri setelah menderita selama periode yang lama dibawah penjajahan asing. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya yang menandakan bahwa hak menentukan nasib sendiri oleh bangsa Indonesia telah di implementasikan secara penuh. Pemerintah Indonesia memiliki undang-undang khusus (N0.3 tahun 2004 tentang pertahanan negara khususnya pasal 4 dan 7, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pertahanan negara di tunjukan bagi perlindungan kemerdekaan dan kebutuhan wilayah negara.
95. Pemahaman kedua, dari hak menentukan nasib sendiri adalah bebas dari pengaruh asing. Hal ini berarti bahwa negara yang berdaulat harus bebas dari pendudukan tentara asing, dan juga dari serangan atau pengendalian pihak asing. Dalam hal ini Indonesia tidak memiliki permasalahan atas konsep tersebut. Sebagai bukti Indonesia telah mendukung sepenuhnya perjuangan bangsa Palestima, karena Indonesia percaya bahwa Palestina memiliki hak untuk bebas dari penduduk asing.
96. Makna ketiga, dari hak ini adalah otonomi. Definisi ini diterjemahkan sebagaimana di perlakukan di dalam sebuah negara berdaulat melalui pemberian kesempatan kepada kelompok tertentu yang di dasari oleh sebuah pertimbangan khusus. Indonesia telah mengimplementasikan konsep ini dengan cara memberikan otonomi kepada Pemerintah-Pemerintah daerah. Dalam keadaan tertentu Pemerintah tidak saja memberikan otonomi, namun lebih dari itu dapat di sebabkan adanya keadaan khusus di wilayah tersebut pasal 18b bagian 1 dari Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati bagian-bagian kekuasaan di wilayah yang merupakan wilayah khusus dan berbeda sesuai dengan ketentuhan hukum.
97. Provinsi Aceh dan Jogyakarta adalah contoh bahwa pemerintah telah memberikan otonomi istimewa. Pemerintah dalam hal ini memperkenalkan beberapa Hukum penting untuk menjamin implementasasi dari otonomi. Sebagai contoh pemerintah pada tahun 2004 telah membuat undang-undang No. 32 tentang Pemerintah Daerah. Amandemen-amandemen dari Undang-undang Dasar 1945 juga berisi ketentuan-ketentuan khusus tentang kekuasaan daerah. Pasal 18 mengatakan bahwa NKRI dibagi menjadi Provinsi-Provinsi yang selanjutnya di bagi kedalam Kabupaten/kota, dan penguasa di Provinsi dan Kabupaten atau kota akan menegakan serta mengendalikan permasalahannya sendiri sesuai dengan prinsip otonomi daerah. Pasal 6 lebih tegas mengatakan bahwa kekuasaan daerah memiliki kewenangan untuk mengadopsi ketentuan daerah lainnya untuk mengimplementasikan otonomi dan tugas bantuan lainnya.
98. Pemahaman Keempat, dari hal penentuan nasib sendiri adalah Pemerintah yang demokratis. Pemerintah yang demokratis dapat diartikan bahwa rakyat memiliki hak untuk menentukan masa depan sendiri di dalam negara melalui kegiatan demokrasi seperti penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama, berpikir, dan berkumpul. Pemahaman ini terkait erat dengan otonomi. Dalam hal ini, Indonesia tidak memiliki keberatan atas pemahaman ini. Sebagai sebuah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, Indonesia mendukung penerapan 5 standar demokratik seperti penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama, berpikir dan berkumpul. Pilkada telah umum dilaksanankan di seluruh Indonesia. Pasal 18 bagian 4 dari Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa para Gubernur, Bupati dan Wali Kota, sebagai kepala Pemerintahan Provinsi, Kabupaten dan Kotamadya harus dipilih secara demokratis. Bagian 3 juga mengatakan kekuasaan Pemerintah di Provinsi, Kabupaten Kotamadya, juga termasuk DPRD yang aggotanya dipilih dalam pemilu.
99. Kadang kala dinamika penentuan nasib sendiri menimbulkan euphoria didalam masyarakat yang dapat berakibat buruk. Sebagai contoh implementasi pemilu Bupati di Tuban Jawa Timur pada bulan Mei 2006 telah menciptakan kekacauan yang patut disayangkan, dalam bentuk pembakaran dan perusakan gedung-gedung yang penting dan bersejarah.
100. Pemahaman Kelima, dari penentuan nasib sendiri ditujukan hak-hak minoritas. Hak minoritas diterjemahkan sebagai hak kelompok yang memiliki otonomi budaya dan politik di dalam negara. Prinsip ini diterjemahkan norma-norma minoritas yang berkembang dan hak-hak penduduk asli yang tertuang didalam berbagai kovenan tentang organisasi regional dan Internasional, serta hak untuk berpasitipasi di dalam pemerintahan. Hal ini juga berlaku bagi kebebasan beragama. Bagi Indonesia hal ini diperesepsikan bahwa semua warga negara adalah sama dan serta, tanpa pembedaan yang didasari olah pertimbangan apapun. Dalam hal ini tidak mudah untuk menilai siapa yang diangkap sebagai kelompok minoritas di Indonesia. Namun Indonesia tak pernah mengabaikan hak-hak minoritas. Pasal 18 ayat 2 dari Undang-Undang Dasar 1945 manyatakan bahwa negara mengakui dan menghargai masyarakat tradisional beserta hak-hak adat, selama hal ini sesuai dengan pembangunan nasional serta prinsip-prinsip NKRI yang diatur oleh hukum.
101. berdasarkan kelima pemahaman diatas dapat disimpulkan bahwa semua warga negara memiliki hak mentukan nasip sendiri, dan berdasarkan hal tersebut mereka bebas menentukan status politik serta berpartisipasi dalam pembagunan ekonomi, sosial dan budayanya, sehingga pernyataan Pemerintah terkait dengan pasal 1 dari ICCPR tentang menentukan nasib sendiri adalah cerminan dari komitmen yang kuat pemerintah atas hak menentukan nasib sendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pasal 1 Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dimana Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sesuai dengan pernyataan pemberian kemerdekaan bagi negara dan bangsa yang terjadi dan pernyataan tentang prinsip-prinsip hukum Internasional tentang hubungan persahabatan dan kerjasama antar negara sesuai dengan deklarasi dan rencana aksi vienna tahun 1993.
Oleh karena itu, kata-kata " Hak Menentukan Nasib Sendiri" yang muncul pada pasal tersebut tidak berlaku bagi sebagian masyarakat di dalam negara merdeka dan berdaulat, dan tidak dapat dianggap sebagai pemberian kewenangan atau mengajak melakukan tindakan apapun yang dapat memecahkan secara keseluruhan atau sebagian keutuhan wilayah atau politik dari negara-negara yang berdaulat dan merdeka.
102. hal ini sejalan dengan panduan umum (General Comment) No. 12 dari komite Hak-Hak Asasi manusia tertanggal 13 Maret 1984, tentang hak bangsa untuk " Menentukan Nasib sendiri" (Pasal) yang menyatakan, " Sejalan dengan maksud dan prinsip dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pasal 1 dari ICCPR mengakui bahwa semua orang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak ini penting pelaksanaannya merupakan kondisi yang penting bagi penjaminan dan pemantauan hak-hak individu dan bagi pemajuan dan penguatan hak tersebut. Karena alasan ini, memajukan hak menentukan nasib sendiri sebagai ketentuan hukum positif didalam kedua kovenan dan menempatkan ketentuan ini sebagai pasal 1 yang terpisahkan dan didahulukan sebelum hak-hak lain yang terdapat didalam kedua Kovenan ini. Komite HAM ini mengangkap bahwa sejarah telah membuktikan pelaksanaan dan penghargaan terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri memberi andil bagi pembentukan hubungan dan kerjasama yang bersahabat antara negara dan memperkuat perdamaian dan pemahaman Internasional".
2.3. Tangkapan Activis HAM Independen Papua atas uraian pendefinisian oleh Departemen Luar Negeri RI 2007, dalam buku " The Awareness of Law and Human Rights" dapat dibaca pada bagian bawah ini:
Bahwa, dengan melihat, membaca, mempelajari dan menganalisis atas pendefinisian penerjemahan oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2007 dari No. 65 halaman 22 sampai dengan No. 102 halaman 25 diatas, maka jelaslah bahwa Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Luar Negeri Republik Indonesia telah dan sedang melakukan "Pembodohan dan Pembohongan Publik" atas makna dan arti Hukum HAM Internasional yang sesungguhnya.
Karena, terjemahan dan serta pendefinisian oleh Departeman Luar Negeri Republik Indonesia 2007 dapat memberikan gambaran umum bahwa selama ini Pemerintah Indonesia mengabaikan dan menghilangkan hak-hak masyarakat adat pribumi.
Bahwa, terjemahan dan pendefinisian oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia sangat menimbang dan jauh dari harapan Hukum HAM Internasional.
Bahwa, definisi makna yang sebenarnya tidak diartikan dalam lima definisi yang dapat diuraikan oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Bahwa, oleh karena itu "International Working Groups" yang tergabung dalam Internasional ngos perlu mengkritisi Departemen Luar Negeri Republik Indonesia atas penerjemahan yang menimbang dari pikiran utama masyarakat Internasional, serta mengajukan hal ini ke Komite Hak-Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hal ini dapat menjadi perhatian oleh semua pihak yang konsisten dengan penegakan serta pemajuan atas perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia sesuai dengan Piagam Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hak-Hak Asasi Manusia, yang mana dapat ditunjukan dalam Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik serta Hak-Hak ekonomi, sosial dan budaya.
3. Contoh Ketiga,yang mengherankan dan lebih nyata adalah apa yang diucapkan oleh Ruhut Sitompul dalam telewicara via telephone
Yang dimaksud adalah:
Dialog Advokasi Dengan Ruhut Sitompul
(Penasehat Hukum Presiden SBY) / Anggota DPR RI
Via Telephone (0811889999-081344906478 Jakarta-LP Abepura, Papua
Hari/ Tgl Dialog : Rabu 14 Oktober 2009
Waktu : Pukul 07 : 30
Hubungkan : Jakarta-LP Abepura
Isu Dialog/Telewicara : Tahanan Politik Papua di LP Abepura, Papua
Anggota Telewicara : Rudolf Dumbubuy, Sebby Sambom-Ruhut Sitompul
(Dialog Telewicara) (LP Abepura, Papua-Jakarta)
Kronologis Dialog : Rudolf Dumbubuy menelepon Ruhut Sitompul dan memohon kontak balik, sehingga Ruhut meneleponnya. Selanjutnya Rudolf alihkan Hp ke Sebby, kemudian komunikasi berlanjut.
Dialog detail:
Sebby Sambom:
Selamat pagi pak, saya sebby sambom (tahanan politik) perlu menyampaikan pesan untuk Presiden SBY.
Ruhut Sitompul:
Anda di tahan dimana, di Polda atau Polresta?
Sebby Sambom:
Kami di Rumah Tahanan Negara LP Abepura, Papua.
Ruhut Sitompul:
Ok, silakan apa yang menjadi persoalan kepada anda?
Sebby Sambom:
Kami meminta perhatian Presiden SBY, karena kami ditangkap ditahan, sampai disidangkan dengan dasar yang tidak jelas dan Penuh Rekayasa Politis yang mengada-ada. Karena kami ditangkap hanya melakukan Demo damai, dan Demo damai ini adalah dijamin oleh undang-undang Pemerintah Republik Indonesia serta Perjanjian Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang terutama adalah Pasal 19: ayat 2 Kovenan Internasional dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998, serta Pasal 28E Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Oleh karena itu kami mempertanyakan kepada Presiden Indonesia, mengapa kami ditangkap dan kenapa aparat Penegak Hukum di Papua melanggar Perjanjian Internasional?
Ruhut Sitompul:
Apakah anda sudah hubungi Lembaga HAM Internasional?
Sebby Sambom:
Kami telah mengirim surat, namun belum ada tangkapan.
Ruhut Sitompul:
Apakah anda merah putih atau tidak?
Sebby sambom:
Saya activis HAM Papua, yang mengangkat isu-isu Pelanggaran HAM di Papua.
Ruhut Sitompul:
Apakah anda merah putih atau tidak?
Sebby Sambom:
Saya activis HAM, tidak mengakui keberadaan Indonesia di Papua dan mempertanyakannya atas pelanggaran HAM melaui sikap protes via demo-demo.
Ruhut Sitompul:
Jika anda bukan merah-putih, maka selamat tinggal di penjara sampai mati. Tetapi, jika anda merah-putih, maka Kovenan Internasional melindungi anda. Kesimpulan bahwa, Kovenan Internasional berlaku bagi orang Indonesia pro merah-putih, orang Papua tidak.
Dari dialog ini memberikan gambaran bahwa,
Pemerintah Republik Indonesia, bisa ajak kompromi hanya dengan kelompok milisi merah putih dan mereka sudah membangun milisi di Papua dibawah Pimpinan Ramses Ohee. Milisi Merah Putih dibawah pimpinan Ramses Ohee berjumlah 4833 orang. Yang mana telah di umumkan oleh Ramses Ohee melalui media cetak (Tabloid Suara Perempuan Papua Edisi No. 07 Tahun V, 3-8 November 2008).
Bukti-nya:
Pembohongan Kebenaran Sejarah terhadap publik (memutarbalikan Fakta sejarah kebenaran Demi Kepentingan Sesuap Nasi) oleh Ramses Ohee, Silakan ikuti scanan dibawah ini:
Akibatnya marginalisasi orang asli Papua dan pelanggaran HAM , yang berujung menuju Genocide (Pemusnahan Ras) atas bangsa Papua Barat.
Hasil dialog ini memberikan pandangan ideologi bangsa Papua yang kontroversi dengan Jakarta, yang mana Jakarta Veodalistik dan tangan besi yang anti HAM dan Demokrasi.
Mohon perhatian masyarakat Internasional atas situasi ini, karena rakyat Papua tidak berdaya lagi untuk bertindak membela Hak-Haknya. Berhubung Pemerintah Indonesia tidak mengindahkan Instrumen-Instrumen HAM Internasional, yang mana Indonesia juga ikut serta dalam perjanjian penandatanganan tentang Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik dan juga Deklarasi Universal PBB, atas Hak-Hak Bangsa Pribumi (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People).
Bahasa yang sederhana adalah:
Pemerintah Republik Indonesia tidak laksanakan, Deklarasi Universal atas HAM yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Sidang Umum PBB (Universal Declarationa of Human Rights); International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik), yang telah diterima dan disahkan dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 16 Desember 1966; serta Deklarsi PBB atas Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang diterima dan disahkan dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat pada tanggal 13 September 2007 dengan suara mendukung 144 Negara, Abstein 11 Negara. Dan tidak mendukung 4 Negara (Kanada, Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru), serta tidak hadir 30 Negara. Indonesia adalah salah satu Negara Anggota PBB yang konsisten memberikan suara, mendukung dan ikut menjadi penandatanganan dalam pengesahan Deklarasi ini di Sidang HAM dan Sidang Umum PBB.
Oleh karena itu, Activis HAM Independen Papua mohon perhatian dari Pemerintah-Pemerintah Anggota PBB dan Komisi HAM, Human Rights Watch dan Masyarakat Internasional.
Laporan ini dapat memberikan gambaran yang nyata bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah dan sedang melakukan Pelanggaran Hukum dan Hukum HAM Internasional terhadap banngsa Papua Barat dari tanggal 1 Mei 1963 hingga kini, maka berharap bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Negara yang pernah terlibat dalam hal Aneksasi Papua Barat kedalam wilayah Indonesia segera mempertanggungjjawabkannya.
The West Papuans to Need Justice, Peace and Freedom
Kebenaran Tidak Pernah Dikalahkan, Kebenaran Pasti Menang.
West Papua 2th February 2010
By Sebby Sambom
Independen Human Rights Activist of West Papua
Sumber: Warta Papua Barat
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."