OLEH: Honaratus Pigai(*
Demokrasi Sebagai Negara
Rakyat
Kata demokrasi berasal dari Yunani Kuno, yang
terdiri dari dua kata yaitu, demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein
yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan
rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Maka demokrasi sebagai bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara, sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat
(kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara
tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi
ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif).
Untuk mewujudkan tiga pilar tersebut lembaga negara yang saling lepas mesti berada dalam peringkat yang sejajar satu sama
lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan
agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.
Jika ketiga pilar ini berada dalam keterpisahan dan tidak ada sikap
independensi antara satu dengan lainnya, akan mengakibatkan cacatnya demokrasi
di suatu negara.
Di pihak lain, ketiga pilar tersebut pun harus memiliki relasi yang
kokoh dengan masyarakat, karena masyarakatlah yang sebagai tulang punggung
negara, bukan pemerintahan. Karena pemerintahan ada karena rakyat, maka
keterkaitan antara tiga pilar ini pun harus memiliki keterikatan dengan rakyat
setempat dan harus menjawab keinginan rakyat.
Demokrasi dapat memberikan manfaat, bahwa
pada tingkat terakhir, rakyat merasakan langsung manfaat demokrasi yang
dilaksanakan. Rakyat berhak menikmati demokrasi, sebab hanya dengan demikianlah
arah kehidupan rakyat dapat diarahkan pada kehidupan yang lebih adil dalam
semua aspek kehidupan. Maka dari itu, negara demokrasi adalah negara yang
berlandaskan kehendak dan kemauan rakyat, karena kedaulatan berada di tangan
rakyat.
Negara yang menganut sistem demokrasi merupakan
negara milik rakyat, dan bukan subjek yang menduduki jabatan pemerintahan.
Pemerintah negara hanyalah sebagai wakil dari rakyat. Kalau pemerintah hanya
sebagai wakil, maka yang utama adalah rakyat. Jadi pemegang kekuasaan dalam
suatu negara yang menganut demokrasi adalah rakyat.
Pelanggaran Demokrasi di Papua
Demo merupakan bagian dari demokrasi, begitulah judul yang
ditulis di media Cepos edisi 27 April 2013. Bukan judul yang salah, karena
memang demo merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat
dihadapan publik. Demo bukan suatu tindakan yang non-demokratis. Maka semua
pihak harus menghargai demokratis, apa pun yang ingin dilakukan oleh
masyarakat. Sejauh masyarakat tidak melanggar hukum demokratis yang ada,
mengapa harus dilarang dan dibatasi.
Gubernur Papua Lukas Enembe, misalnya, mengeluarkan
pernyataan tentang pelarangan demo pada 1 Mei 2013, merupakan pernyataan yang
tidak dapat dibenarkan kalau dilihat dari sisi demokratisasinya. (Baca: Cepos
edisi, 26 April 2013). Hal senada juga diungkapkan Kabid Humas Polda Papua,
Kombes Pol. I Gede Sumerta Jaya, yang mengatakan menolak Surat Tanda Terima
Pemberitahuan (STTP), dengan alasan demo tanggal 1 Mei bertentangan dengan
NKRI, sehingga bagaimana pun dilarang.
Pelarangan tersebut berarti suatu tindakan yang tidak
positif. Malah akan terkesan Gubernur Papua dan Kabid Humas sedang melanggar
hukum demokrasi negara, karena tidak mewujudkan hakikat demokrasi yang
sebenarnya di Papua. Kalau kita melihat hakikatnya, suatu negara yang menganut
sistem negara demokrasi adalah negara dari rakyat, untuk rakyat dan oleh
rakyat. Maka apa pun cara yang dilakukan masyarakat demi mengungkapkan
pendapatnya metinya dihargai, dengan akal positf.
Menyangkut itu, Anggota Komisi A DPRP, Yulius Miagoni dengan
tegas mengatakan, pemerintah, DPR, Polisi, Gubernur memiliki tugas untuk
mengawal seluruh kegiatan masyarakat, asal berjalan aman dan apa yang
disampaikan di terima. Pernyataan Miagoni seperti demikian sangat menjunjung
tinggi nilai demokrasi di Papua.
Miagoni mengharapkan perintah tidak membatasi atau melarang ruang
demokrasi di Papua, tetapi memberi ruang kepada rakyat, agar rakyat
menyampaikan pandangan-pandangan kritis mereka.
Hal demikian diungkapkan Miagoni, karena kebebasan
berdemokrasi terutama hak untuk berpendapat dijamin dalam UU. Aktifis HAM
Independen Elias Petege menjelaskan konstitusi Negara Indonesia dalam UUD 1945
pada pasal 28 E ayat 3 dan 28 I ayat 1, secara khusus diatur dalam UU No. 9
tahun 1998 tentang kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum. Selain itu
dalam Konvenan tentang hak-hak sipil dan politik, yang mana Indonesia telah
meratifikasinya dalam UU No.12 tahun 2005, pasal 18-19 dan Deklarasi umum HAM
pasal 18-20. (Baca: Cepos edisi, 27 April 2013)
Undang-Undang terkait sangat jelas mengatur kebebasan
berpendapat. Dalam UU No. 9 tahun 1998 dangat jelas menjelaskan bahwa, bila
rakyat menyampaikan surat pemberitahuan kegiatan untuk menyampaikan pendapatnya
di muka umum, maka Polri WAJIB mengeluarkan STTP dan berkordinasi dengan
koordinator aksi serta Polri wajib memberi berlindungan kepada warga yang
menyatakan pendapat. Kalau demikian maka Polri BUKAN untuk melarang kebebasan
berpendapat, tetapi harus memberikan izin.
Entah penyampaian pendapat bersifat radikal maupun biasa,
mestiya diterima dengan positif thingking oleh pemerintah. Pemerintah mesti
bersikap positif, karena ini sebagai resiko demokrasi. Kalau pemerintah tidak
menerima resiko demokrasi dan bersikap menolak resiko demokrasi, maka terkesan
pemerintah belum dewasa dalam mewujudkan demokratisasi di Papua.
Pemerintah menuntut agar rakyat harus taat menjalankan hukum
yang ada, tetapi malah permerintahan lupa bahwa mereka sendiri sedang melanggar
hukum. Terkesan hukum yang di buatnya sendiri, dilanggarnya. Kalau demikian
terjadi, bagaimana mungkin kita menuntut yang lain mengikuti hukum, sementara
kita sendiri tidak taat pada hukumyang kita buat. Oleh karena itu, kita perlu
mengkaji ulang gambaran tentang demokrasi yang tidak demokratis terhadap rakyat Papua.
Justru sebaliknya, rakyat Papua tumbuh karena dilindungi
oleh demokrasi. Sikap melanggar prinsip demokrasi, baik di Indonesia, justru
akan menggerogoti rakyat itu sendiri. Maka pemerintah mesti jeli melihat sikap
demokrasi yang adil dan benar. Karena hak untuk menyampaikan pendapat di muka
umum saja dibatasi. Pembatasan hak demikian bukan sikap demokratis, tetapi
malah kembali ke orde lama yang selalu membungkam kepentingan rakyat. Maka terkesan
negara sinis dan apatis terhadap aksi-aksi kritis tersebut. Pemerintahan negara
sepertinya memiliki keinginan untuk menyembunyikan kelemahan dan kesalahan di
balik pasal-pasal darurat. Sikap tidak demokratis juga sering ditujukan kepada
orang-orang asli Papua.
Kalau demikian, bagaimana mungkin kita bisa menjawab
eksistensi asali dari demokrasi itu sendiri. Apakah negara yang berlabel
demokrasi ini negara untuk rakyat atau negara untuk pemerintah?
Menjembatani Demokrasi Papua
Pelarangan untuk berekspresi tidak beda dengan membunuh eksistensi
negara yang berdemokrasi. Sikap
pembunuhan terhadap demokrasi ini sangat tidak disadari oleh negara sendiri.
Padahal merekalah yang sendiri menghancurkan eksistensi demokrasi, tetapi
sayangnya pemerintah negara mengklaim dan menuduh rakyat yang tidak tahu
menahu.
Setiap orang berhak melakukan pembelaan diri kalau hak hidupnya diperlakukan
tidak aman dan damai. Karerna itu, orang Papua berhak berpendapat dan berdiskusi, berdemo dan menyampaikan pendapat. Hal ini sudah diatur dalam hukum negara di era
reformasi. Maka tidak dibenarkan jika kebebasan ini masih dibatasi ruang
demokrasi.
Sikap fundamentalis dalam pemerintah sungguh
membahayakan, karena hanya
memaksa yang lain mengikuti kebenarannya. Sikap demikian semakin berbahaya jika
kebenarannya berusaha diimplementasikan dalam sistem masyarakat. Padahal inplementasi kebenarannya
hanya menguntungkan salah satu pihak dan mengorbankan pihak lain.
Kata lain, bahwa
pemerintah hanya menguntungkan dirinya sendiri dengan memaksa rakyat Papua mengikutinya, padahal rakyat
menjadi korban dengan sikap paksa yang membabi-buta itu. Kalau demikian kehidupan berdemokrasi terganggu karena
ruang-ruang ekspresi serta berpendapat dibatasi. Ancaman kehidupan
bermasyarakat yang demokratis memang masalah besar bagi Papua, yang mesti
dievaluasi secara positif oleh pemerintah negara.
Maka, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dengan
prinsip-prinsip menghargai hak manusia untuk berpendapat merupakan keharusan. Karena
jika tidak ada sikap penghormatan terhadap manusia, maka yang akan muncul
adalah sikap ketidakhormatan. Dengan kata lain, pemerintah tidak percaya kepada
rakyat dan pemerintah menilai rakyat dengan pandangan-pandangan miring atau negatif thingking (pandangan negatif). Begitupun
sebaliknya, kalau pemerintah tidak memberikan ruang demokrasi kepada rakyat,
maka tidak heran kalau rakyat menilai pemerintah dengan negatif thingking. Akibat dari pandangan-pandangan negatif, mudah
terjadi masalah atau konflik. Oleh karena itu, pemerintah mesti menegakkan
hukum demokrasi dengan jujur, benar, adil dan bermartabat di Papua.
*) Mahasiswa STFT “Fajar Timur”
Abepura-Jayapura-Papua
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."