PEPERA 1969 di Papua Dimenangkan TNI-Polri



Oleh : Socratez Sofyan Yoman*

“…setiap dusta harus dilawan. Menang atau kalah. Lebih-lebih dusta yang mengandung penindasan” – (Mayon Soetrisno: Arus Pusaran Soekarno Roman Zaman Pergerakan, 2001, hal.369)

Mengapa rakyat Papua menentang dan menolak hasil PEPERA 1969 selama ini?  Jawabannya ialah karena PEPERA 1969 dimenangkan oleh TNI-Polri.  Kalau jawabannya demikian pertanyaannya adalah apakah benar Pepera 1969 di Tanah Papua dimenangkan oleh TNI-Polri? Apakah ada bukti-bukti kuat yang dapat dipertanggungjawabkan?

Dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar sebelum hingga masa pasca Pepera 1969. Terlihat dalam dokumen militer Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radiogram MEN/PANGAD No: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, Perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: “Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan Darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman, referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR.”

Christofelt L. Korua, seorang saksi mata yang merupakan purnawirawan polisi, menyatakan, “orang-orang Papua yang memberikan suara dalam Pepera 1969 itu ditentukan oleh pejabat Indonesia dan sementara orang-orang yang dipilih itu semua berada di dalam ruangan dan dijaga ketat oleh militer dan polisi Indonesia.” (Wawancara penulis dengan Christofelt Korua di Jayapura, 11 Desember 2002).

“Pada 14 Juli 1969, Pepera dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir…” (Laporan Resmi PBB, Annex 1, Paragraph 189-200). Carmel Budiardjo, Direktur The Indonesia Human Rights Campaign (TAPOL), pada 26 Maret 2002 menyerukan kepada Sekjen PBB, Kofi Annan: “Dalam bulan Agustus 1969, penguasa Indonesia melaksanakan Pepera di West Niew Guinea (West Irian, kemudian Irian Jaya, dan sekarang Papua) untuk menentukan status masa depan wilayah. Pemilihan menyampaikan delapan dewan bersama 1.025 orang, dilaksanakan di bawah tekanan dari penguasa militer Indonesia”.

“Pada masa Kodam dipimpin oleh Brigjen R. Kartidjo (1965–23 Maret 1966), dilaksanakan ‘Operasi Sadar’ yang bertugas melakukan kegiatan intelijen, menyadarkan para kepala suku, dan melakukan penangkapan terhadap para pemimpin OPM (Organisasi Papua Merdeka) serta menangkap orang-orang Papua yang menolak integrasi dengan Indonesia. Kemudian, ketika Brigjen R. Bintoro ditunjuk sebagai Pangdam (23 Maret 1966-25 Juni 1968), memimpin ‘Operasi Bratayudha’ yang melakukan operasi untuk menghancurkan aktivitas OPM yang dipimpin Ferry Awom di Manokwari dan menguasai wilayah Papua Barat secara keseluruhan. Pangdam berikutnya, Brigjen Sarwo Edhi Wibowo, memimpin tugas ‘Operasi Sadar’ yang bertujuan menghabisi sisa-sisa OPM, merangkul orang-orang Papua untuk memenangkan Pepera 1969, dan melakukan konsolidasi kekuasaan pemerintah Indonesia di seluruh wilayah.” (Raweyai, 2002:33-34).

Adapun surat rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Komando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia, Perihal: Pengamanan Pepera di Merauke. Inti dari isi surat rahasia tersebut adalah sebagai berikut: “Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai Ketua Dewan Musyawarah Daerah dan Muspida akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk menggabungkan Papua dengan Republik Indonesia.” (Dutch National Newspaper, NRC Handelsbald, March 4, 2000).

“Di Manokwari, sementara dewan memberikan suara, pemuda-pemuda Papua dari luar ruang pertemuan bernyanyi lagu gereja ‘sendiri, sendiri’. Untuk menangani ini, tentara orang-orang Indonesia menangkap dan melemparkan mereka ke dalam mobil dan membawa mereka pergi pada satu bak mobil. Hugh Lunn, salah seorang wartawan asing yang hadir, diancam dengan senjata oleh orang Indonesia sementara dia mengambil foto demonstrasi orang Papua.” (Dr. John Saltford. Irian Jaya: United Nations Involment with The Act of Self-Determination in West Papua (Indonesia West Niew Guinea) 1968-1969, Mengutip Laporan Hugh Lunn, seorang wartawan Australia, 21 Agustus 1999).

Sintong Panjaitan, pimpinan Tim Irian Barat Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang tiba di Manokwari pada 6 Januari 1967  dalam operasi territorial untuk  memenangkan PEPERA 1969 dalam bukunya “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” memberikan bukti-bukti keterlibatan langsung aparat keamanan Indonesia memenangkan PEPERA 1969 dengan istilah Operasi Teritorial, Operasi Tempur, Pembinaan dan Pembentukan DMP.  DMP singkatan dari Dewan Musyawarah PEPERA bentukan ABRI (kini: TNI). Anggota DMP adalah orang-orang yang dipilih oleh ABRI dan Pemerintah dan diawasi ketat dibawah intimidasi, teror dan ancaman pembunuhan hanya  untuk menggabungkan Papua Barat secara paksa ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia  dengan PEPERA 1969 yang cacat moral, hukum dan tidak demokratis.  Para pembaca ikuti kutipan-kutipan di bawah ini.

“Di Jayapura Panglima Kodam XVII/Tjenderawasih Brigjen TNI Sarwo Edhie, memikul tanggungjawab sangat besar atas keberhasilan Pepera dalam pelaksanaan Pepera, Sarwo Edhi diangkat sebagai Ketua Proyek Pelaksana Daerah.Tugasnya mengendalikan, mengerahkan dan melakukan koordinasi seluruh kegiatan aparat pemerintah daerah, sipil dan swasta, serta seluruh unsur ABRI di Irian Barat. Di Jayapura Brigjen Sarwo Edhi kepada penulis mengemukakan,  “Kalau Pepera gagal, kegagalan itu terletak di pundak saya. Sebaliknya kalau nanti Pepera berhasil, akan banyak pihak yang mengaku bahwa keberhasilan itu hasil jerih payah mereka”. ( 2009: hal. 1969).

“Kodam XVII/Tjenderawasih melancarkan Operasi Wibawa dengan mengerahkan pasukan organic setempat dan pasukan yang didatangkan dari luar Irian Barat, termasuk Kopasgat (Pasukan Gerak Tjepat AURI) , Brimob serta satu Karsayudha dengan kekuatan seluruhnya sebanyak 5.220 orang. Operasi Wibawa bertujuan mengamankan Pepera, menghancurkan pemberontak OPM di bawah pimpinan Ferry Awom, serta menumbuhkan dan memelihar kewibawaan pemerintah”. (2009:hal. 169).

“Tujuh bulan sebelum pelaksanaan Pepera, satu Karsayudha dengan nama Karsayudha Wibawa, di bawah pimpinan Kapten Feisal Tanjung dibawah perintah-kan (B/P) Pandang XVII/Tjenderawasih ditugaskan di  Irian Barat untuk memenangkan Pepera. Karsayudha Wibawa yang bermarkas di Jayapura, berkekuatan tiga Prayudha. Prayudha 1 di bawah pimpinan Lettu Saparwadi, AMN angkatan 64, ditempatkan di Kabupaten Sorong. Lettu Kuntara memimpin Prayudha 2 di Kabupaten Biak. Prayudha 4 di bawah pimpinan Lettu Wismoyo Arismunandar ditempatkan di Kabupaten Merauke. Lettu Sintong Panjaitan memimpin Prayudha 3 berkekuatan 26 orang di bawah perintah (B/P) Komandan Korem 171/Manokwari selaku Komandan Operasi Wibawa 1 di Kabupaten Manokwari. Ia dibantu oleh Sujudi yang berpangkat calon perwira (capa) sebagai wakil komandan”. (2009:hal.169-170).   ( Ketetangan: Karsayudha pimpinan Kapten Feisal Tanjung-disebut Karsayudha Wibawa, karena pada waktu itu Kodam XVII/Tjenderawasih sedang melaksanakan serangkaian operasi dengan sandi “Wibawa”).

“Pada dasarnya Karsayudha 3 di Kabupaten Manokwari bertugas memenangkan Pepera, mencegah para pegawai negeri, pemuda pelajar dan penduduk masuk hutan”. (hal. 178). Menurut Sintong, salah satu faktor yang sangat penting untuk memenagkan Pepera, ialah dengan jalan pembinaan terhadap penduduknya lewat operasi territorial”. (hal. 182).  Di keempat KPS itu, Prayudha 3 menugaskan anggotanya untuk melakukan pembinaan para calon DMP. Pimbinaan di setiap KPS dilakukan oleh tiga orang Sandiyudha. Mereka terdiri dari para prajurit Sandiyudha yang telah memiliki banyak pengalaman tempur”. (2009: hal.183).

“Pada tanggal 30 Maret Sintong didampingi oleh Sertu Salam menghadiri rapat pembentukan DMP Persiapan yang dipimpin oleh S.D. Kawab, Bupti Manokwari, di kantor kabupaten. Rapat membicarakan pembentukan DMP Manokwari yang akan diputuskan berdasarkan konsultasi dengan Pemerintah Pusat yang diwakili oleh Soedjarwo Tjondronegoro SH dari Departemen Luar Negeri RI….Sebelum rapat dimulai, para anggota DPRD yang akan berbicara dalam rapat telah melakukan latihan sebanyak empat kali, dengan disaksikan oleh anggota Prayudha 3 sebagai Pembina. Rapat tetap menolak dilaksanakannya kebebasan memilih secara one man one vote. Kemudian dibentuklah Panitia Persiapan Pembentukan DMP yang kemudian disingkat menjadi Panitia 9 dengan ketua S.D. Kawab. Prayudha 3 mendapat tugas membantu Panitia 9 untuk bertindak sebagai pengaman dan penghubung antara para Pembina di daerah-daerah dengan Panitia 9. Disebabkan kerja Panitia 9 kurang lancer hingga Prayudha 3 yang melakukan pekerjaan itu. Hasilnya diserahkan kepada Panitia 9”. (2009: hal.183-184).

“ Para anggota DMP dikumpulkan di kota Manokwari dengan disertai dua orang Pembina, masing-masing Letda Renwaren, seorang Perwira Rochani Katolik, dan Serta Abdul Hamid”. (hal. 184).  Dalam pelaksanaanPepera di kabupaten Manokwari, Sintong bertindak sebagai coordinator intelijen dan mengawasi anggota DMP bernama Rumajom yang diperkirakan akan melakukan tindakan negatif. Capa Suyudi, Wadan Prayudha 3 bertindak sebagai Komandan Sektor A di dalam ruang sidang, sedangkan Letda Monthe sebagai Komandan Sektor B. Sementara itu Prayudha 3 mendapat tugas mengerahkan massa sebanyak 5.000 orang untuk menghadiri sidang. Sersan Kepala Simon dibantu oleh tiga orang bertugas mengerakkan massa dari daerah pedalaman dan Sertu Wagimin beserta tiga orang lainnya menggerakkan masa dari daerah pantai.  Pengerahan masaa menjadi tanggungjawab Prayudha 3 mulai dari pengangkutan sampai ke tempat sidang”. (2009:hal. 185).  “Puncak keberhasilan Prayudha 3 adalah berperan serta sangat besar dalam menyukseskan Pepera.” (hal. 186). Letjen  TNI (Purn) Sintong Panjaitan  mengakui: “ …seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi-operasi Tempur, Teritorial  dan Wibawa sebelum dan paska pelaksanaan PEPERA dari Tahun 1965-1969, maka saya yakin PEPERA 1969 di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Pro Papua Mereka”.
Sintong Panjaitan mengakui perlawanan dari pemuda dan mahasiswa: “ Pada tanggal 19 Juni, 30 orang pelajar yang akan melakukan demonstrasi, dapat ditangkap dari tingkat pimpinan sampai tingkat bawah. Pimpinan mereka seorang mahasiswa Universitas Tjenderawasih. …Dalam sidang terjadi demonstrasi kecil oleh 17 anak sekolah yang membuat kegaduhan, tetapi mereka segera ditangkap dan di bawah ke Posko Prayudha 3”. ( 2009:hal. 185).h dimenangkan dengan kekuatan TNI/Polri, maka kegagalan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Tanah Papua juga akan dipertahakan dengan kekuatan TNI/Polri, yaitu dengan cara membangun basis TNI dan Polri di seluruh pelosok Tanah Papua. Salah satu contonya adalah penempatan 1 kompi pasukan Brimob di Wamena. Ini juga bertolak dari kenyataan: Konsep Rencana Operasi Pengkodisian Wilayah dan Pengembangan Jaringan Komunikasi dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibuat oleh Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbanglinmas, dalam nota Dinas No.578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000, tanggal 9 Juni 2000.

Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “ Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (Sumber:  UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).

Yang jelas dan pasti, telah diketahui bahwa hasil PEPERA 1969 itu menuai hujan kritik dan protes yang keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB.   Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan PEPERA yang penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional.  Karena, hasil PEPERA 1969  itu dianggap melanggar hukum internasional , maka dalam Sidang Umum PBB hanya  mencatat “take note”.  Istilah “take note” itu tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.

Hasil PEPERA 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat karena  perlawanan sengit dari beberapa Negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana.   Itu  terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York,  Amerika Serikat: “ …156  dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969,  dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah  netral.” (Sumber:  Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5).

Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam Sidang Umum PBB, dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan kepada peserta PEPERA di Papua Barat. “ yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari sabang sampai Merauke…”.

Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut: “ Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibinggungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz  Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menanyakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekreratis Jenderal. Contoh: kami dapat bertanya:

1.         Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?
2.         Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja?
3.         Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?
4.         Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
5.         Mengapa prinsip “one man, one vote” yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?
6.         Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?
7.         Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka bahwa, “hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
8.         Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkupul tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua?    Protes Negara-Negara Afrika ini, J.P. Drooglever  menggambarkan sebagai berikut: “….Sekelompok negara-negara Afrika melancarkan kritiknya, yaitu mereka yang sejak tahun 1961 telah bersimpati terhadap persoalan-persoalan Papua” (hal. 784).

Prof. J.P. Drooglever memberikan bukti kebenaran sejarah keterlibatan militer Indonesia dalam memenang PEPERA 1969. “ Dengan kedatangan Ortiz Sanz pada bulan Agustus 1968, di pihak Indonesia dilakukan persiapan-persiapan untuk memperkuat jangkauan terhadap wilayah itu. Tugas ini dipercayakan kepada Sarwo Edhie, orang kepercayaan Soeharto. Menurut kata-katanya sendiri, ia pada waktu itu memiliki tidak lebih daripada 6.000 orang pasukan. Dalam bulan-bulan pertama tahun 1969 kekuatan itu menurut menteri Amir Machmud ditingkatkan menjadi 10.000 orang, sementara kekuatan ini pada waktu Kegiatan Pemilihan Bebas  menurut pemberitaan Malik sudah ditingkatkan menjadi 16.000 orang. Itu sangat cukup untuk mengendalikan kekacauan yang mungkin”. (2010:711).

Drooglever  mengemukakan: “ Mengintegrasikan orang-orang Papua ke  dalam Negara Indonesia tetap menjadi masalah. Kesempatan bagi orang Papua untuk maju sangat terbatas. Penduduk Papua adalah kelompok yang paling miskin di Indonesia. Integrasi mental dan organisasional ke dalam Negara Indonesia tidak tercapai. Satu hal yang pasti adalah: Indonesia tidak berhasil memenangkan hati orang-orang Papua. Dalam pada itu kesadaran nasional orang-orang Papua meningkat dengan tajam.  Dengan disiplin mereka sendiri, para tokoh Papua dalam organisasi gereja maupun di masyarakat mampu mengelola keadaan ini sehingga kerusuhan dapat dicegah, bahkan mampu membawa suara orang Papua  untuk didengar oleh pemerintah Indonesia dan dunia melalui cara yang terhormat namun tegas”. (2010:hal.786-787).


*Socratez Sofyan Yoman adalah Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."

Copyright © Muye Voice. Designed by OddThemes