Oleh: Selpius Bobii
Papua Barat semakin terkenal di
Manca Negara bahkan tercatat dalam dokumen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
karena adanya “Konspirasi Kepentingan” dari berbagai pihak. Konspirasi Kepentingan,
baik skala Internasional, nasional dan lokal makin tumbuh subur di tanah Papua.
Berbagai Konspirasi Kepentingan dari skala terbesar sampai terkecil dapat
terjadi karena ada daya tarik khusus yang dimiliki di tanah Papua Barat.
Daya tarik itu terbagi ke dalam tiga
kategori, yaitu. Pertama, tanah air Papua Barat yang alamnya subur dan indah.
Tanah Papua memiliki panaroma alam yang indah menawan. Memiliki dataran lembah
dan bukit membentang hijau, deretan gunung menjulang tinggi nan hijau, pantai pasir
dihiasi nyiur pantai melambai lambai dihempas angin, lautan biru membentang dan
ombak memecah di bibir pantai. Tanah Papua juga memiliki banyak marga
satwa khusus, diantaranya burung Cenderawasih (bird paradise) serta burung
mabruk (bird victoria).
Orang Papua terpesona dengan
keindahan alam Papua. Banyak lagu diciptakan untuk melukiskan keindahan alam
Papua. Seperti syair lagu berikut ini: “Tanah Papua bagai Surga yang
jatuh ke bumi”. Keindahan alam Papua Barat yang asri itu menjadi daya tarik tersendiri
bagi berbagai orang dari luar Papua datang dan pergi serta menetap di tanah
Papua.
Kedua, menyimpan sumber daya alam
yang tiada bandingnya dengan pulau pulau dan benua-benua lain di dunia. Tanah
Papua terkenal karena kekayaan alamnya, diantaranya adalah kandungan emas dan
tembaga, serta minyak bumi. Bergunung-gunung emas dan tembaga tersimpan dalam
ibu bumi Papua. Dan masih banyak sumber daya alam lainnya diam membisu dalam
tanah air Papua Barat.
Sumber Daya Alam Papua Barat itu
menjadi daya tarik bagi berbagai pihak dari luar Tanah Papua berdatangan dengan
tujuan mengambil kekayaan alam dengan cara legal dan illegal.
Ketiga, dihuni oleh sekitar 273 suku
yang memiliki kebudayaan yang khas dan unik. Suku suku bangsa Papua Barat
tersebar dalam tujuh wilayah adat. Pembagian tujuh wilayah adat itu dibagi atas
pertimbangan kesamaan karakteristik suku-suku pribumi Papua Barat. Pembagian
itu dilakukan pada jaman kekuasaan pemerintahan Belanda, dengan tujuan jangka
panjang yaitu pemetaan wilayah adminitrasi pemerintahan dan rencana
pengembangan pembangunan, yang berorientasi sesuai dengan karakteristik suku
suku di tujuh wilayah adat.
Tujuh wilayah adat memiliki
kebudayaan yang amat khas dan unik. Di antara suku-suku, ada tradisi yang
hampir serupa tetapi tak sama. Kekhasan budaya suku suku di Tanah Papua yang
unik itu memberi ketertarikan bagi para pengunjung, baik lokal, nasional dan
internasional.
Dari tiga kategori ketertarikan di
Tanah Papua, daya tarik yang paling utama dan terutama adalah daya tarik
kategori kedua yaitu “ketertarikan pada kekayaan alam Papua”. Tanah Papua
dilirik oleh berbagai negara, khususnya Belanda, Amerika, Inggris, dan Jepang
serta Indonesia.
Bangsa Papua Barat menjadi korban
konspirasi kepentingan dari pangkuan ke pangkuan. Dari Pangkuan Belanda ke
Pangkuan United Nation Temporary Executive Autority (UNTEA), dan dari Pangkuan
UNTEA ke Pangkuan NKRI. Sejarah mencatat bahwa Papua Barat menjadi Zona
Konspirasi berbagai Kepentingan.
Untuk menguasai tanah air dan
merampas kekayaan alam Papua yang terkandung di dalamnya, timbul berbagai
persaingan konspirasi kepentingan ekonomi dan politik semata. Perebutan Tanah
Papua oleh pihak pihak asing dan Indonesia dengan rakyat bangsa Papua telah
memakan korban materi, waktu, tenaga dan bahkan korban manusia yang tidak
sedikit.
Tanah Papua terkenal di manca negara
bukan saja karena PT Freeport di Timika menjadi dapur tambang tembaga dan emas
urutan ketiga di dunia, tetapi juga Papua Barat terkenal di dunia karena
menjadi Dapur Konflik. Sejak kedaulatan bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI
(1 Mei 1963) sampai detik ini Papua Barat terus membara dengan berbagai
konflik.
Konflik yang berkepanjangan ini
terjadi akibat dari berbagai konspirasi kepetingan itu. Untuk mencapai
kepentingan ekonomi dan politik, Negara Indonesia dan Amerika Serikat
bersekongkol untuk merebut Tanah Papua Barat dari pangkuan Belanda ke pangkuan
NKRI. Kepentingan Amerika Serikat berfokus pada penguasaan ekonomi dan keamanan
kawasan. Sedangkan kepentingan Indonesia adalah berfokus pada kekuasaan politik
(perluasan wilayah), artinya ketertarikan pada tanah air Papua Barat dan sumber
daya alamnya (kepentingan ekonomi).
Kepentingan Amerika Serikat
terpenuhi ketika tanda tangan MoU tentang Operasi Tambang Freeport di Timika
antara RI dan AS pada tahun 1967. Dengan adanya tanda tangan perjanjian ini,
maka langkah ini memuluskan klaim atas Papua Barat oleh RI melalui refrendum
yang tidak bebas dan tidak sesuai dengan hukum Internasional (cacat secara
moral dan hukum) yang digelar pada tahun 1969.
Tanda tangan MoU antara AS dan RI
untuk pembukaan tambang Freeport di Timika – Papua Barat sudah terbukti bahwa
motivasi awal Amerika Serikat membantu Negara Indonesia menganeksasi bangsa
Papua ke dalam NKRI adalah kepentingan ekonomi.
Ada pula kepentingan lain yaitu
mengamankan kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia dan Pasifik dari
pengaruh Negara Komunis (Rusia). Intervensi Amerika Serikat atas sengketa
antara Indonesia dan Belanda terjadi karena adanya upaya RI untuk memanfaatkan
perang dingin antara Rusia dan Amerika Serikat. RI memulai kerja sama dengan
Rusia, khususnya dalam bidang pertahanan keamanan dengan membeli peralatan
perang dari Rusia untuk menghadapi Belanda merebut tanah Papua Barat.
Strategi politik RI memang berhasil.
Amerika Serikat tidak mau membiarkan musuhnya (Rusia) menguasai kawasan Asia
dan Pasifik. Amerika Serikat mengintervensi sengketa Papua Barat antara RI dan
Belanda. Intervensi AS dilakukan dengan tujuan RI memutuskan hubungan kerja
sama dengan Rusia karena AS ambil alih secara politik untuk menyelesaikan
sengketa atas Papua Barat. Dengan jalan itu, AS mempertahankan kawasan Asia dan
Pasifik terbebas dari pengaruh komunis (Rusia) dan dengan itu dapat
menyelamatkan kepentingan ekonomi serta keamanan AS.
Strategi Politik yang digunakan AS
adalah bersekongkol dengan RI. Kemudian AS menekan Ratu Belanda melalui misi
utusan presiden J. F. Kennedy dan menunjuk mantan Duta Besar AS untuk PBB
(Bunker) untuk mempersiapkan sebuah proposal sebagai Road Map (peta jalan) bagi
penyelesaian sengketa antara Belanda dan RI soal Papua Barat. Dalam waktu yang
bersamaan, Amerika Serikat juga mempengaruhi PBB untuk mengintervensi sengketa
itu.
Belanda sebelumnya mengharapkan
dukungan dari Australia, Inggris dan khusus Amerika Serikat untuk mempertahankan
Papua di bawah kekuasaan Belanda, ternyata Amerika Serikat melakukan manufer
politik yang tidak pernah dibayangkan oleh Belanda. Inggris dan Australia pun
tidak ada reaksi.
Akhir dari babak sengketa antara RI
dan Belanda itu, menggelar pertemuan yang dimediasi oleh PBB atas skenario
Amerika Serikat. Dalam pertemuan itu, AS meloloskan proposal yang disiapkan
oleh Bunker dan diterima sebagai Road Map bagi penyelesaian sengketa atas Papua
Barat. Proposal itu ditingkatkan menjadi suatu perjanjian antara RI dan
Belanda. Dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak (Belanda – RI) yang
disaksikan oleh PBB, tanpa melibatkan wakil rakyat bangsa Papua. Kemudian
peristiwa itu dikenal dengan sebutan New York Agreement 15 Agustus 1962. Dengan
adanya perjanjian itu, maka Belanda tidak memiliki kekuasaan untuk
mempertahankan Papua Barat dan dengan demikian tidak akan dapat menjawab janji
Belanda untuk Papua berdaulat penuh.
Belanda menyerahkan kekuasaan
adminitrasi pemerintahan kepada badan PBB (UNTEA) dan pada 01 Mei 1963, UNTEA
menyerahkan kekuasaan adminitrasi pemerintahan Papua ke RI untuk mempersiapkan
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) bagi orang Papua untuk menentukan masa depan
hidup dan bangsanya. Namun, Penentuan Pendapat Rakyat Papua dengan sistem satu
orang satu suara (one man one voice) diubah oleh RI dengan sistem perwakilan.
Untuk itu dibentuklah sebuah badan yang diberi nama Dewan Musyawarah PEPERA.
Hanya 1026 orang Papua yang dipilih
RI untuk menentukan nasib bangsa Papua mewakili 800.000 lebih orang Papua.
Sebelumnya, para wakil orang Papua dibawa ke Jawa. Di sana mereka tinggal di
hotel hotel berbintang dan RI mempersiapkan Wanita Seks Komersial (WSK). Para
wakil orang Papua itu terbuai dengan kenikmatan sesaat dan pada saat pulang,
mereka diberi sejumlah uang dan peralatan, seperti radio.
Setelah kembali, mereka ditampung di
kamp khusus untuk mendoktrin dan memaksa mereka untuk menyatakan Papua
bergabung ke dalam NKRI. Pada puncaknya, di bawah pemaksaan teror dan
intimidasi, para wakil orang Papua yang berjumlah 1026 diberi kesempatan untuk
menyatakan pilihannya.
Dari 1026 orang Papua, satu orang
tidak sempat hadir karena sakit, sementara satu orang di Fak Fak menyatakan
menolak NKRI dan memilih Papua merdeka penuh. Pemerintah Indonesia kecolongan
dengan kejadian itu, maka para pemilih selanjutnya diintimidasi dan didoktrin
secara keras dan dengan pengawasan ketat oleh militer, 1024 orang Papua sisanya
memilih menyatakan Papua menjadi bagian dari teritorial Indonesia.
Kemenangan NKRI dalam PEPERA itu
bukan kemenangan atas penegakan supremasi hukum, demokrasi, keadilan,
kebenaran, kejujuran, hak asasi manusia dan kedamaian; tetapi kemenangan atas
kekerasan (cacat moral) dan sewenang-wenang/rekayasa (cacat hukum/illegal).
Kegagalan Indonesia dalam
melaksanakan Perjanjian New York, dilaporkan oleh wakil khusus PBB, Ortisan
dalam sidang umum PBB. Walaupun sekitar 15 Negara anggota PBB menolak dan
keluar dari ruang sidang, namun hasil PEPERA itu, PBB mencatat bahwa perjanjian
New York 15 Agustus 1962 telah selesai dilaksanakan.
Dalam proses aneksasi Papua ke dalam
NKRI, terbukti bahwa Amerika Serikat memainkan peranan yang luar biasa. Tanpa
adanya bantuan AS, RI pasti mengalami hambatan melawan Belanda yang memiki
peralatan perang modern. Namun, kepentingan ekonomi dan keamanan di kawasan
Asia – Pasifik diutamakan dan menjadi paling penting bagi Amerika Serikat. Dua
kepentingan inilah yang ditegakkan dan diwujudkan, sedangkan nilai nilai luhur,
seperti menegakkan supremasi hukum Internasional, demokrasi, Hak Asasi Manusia,
keadilan, kebenaran, kejujuran dan kedamaian diabaikan dan dikalahkan untuk
mencapai kepentingan AS dan RI.
Itulah yang disebut Konspirasi
Kepentingan Internasional atas aneksasi Bangsa Papua ke dalam NKRI secara
sepihak melalui invasi politik dan militer. Untuk mengamankan kedua kepentingan
Amerika Serikat itu, maka hak asasi politik Bangsa Papua (kemerdekaan Papua
Barat) dikorbankan dan secara sepihak bangsa Papua digadaikan kepada Negara
Indonesia.
Setelah bangsa Papua Barat
dipaksakan bergabung dengan NKRI, konspirasi kepentingan Internasional semakin
kokoh di Tanah Papua. Konspirasi itu diwujudkan dalam kerja sama bilateral dan
multi-lateral. Kerja sama dalam bidang pertambangan dan perdagangan menjadi benteng
pertahanan Papua Barat dalam bingkai NKRI.
Misalnya, PT Freeport di Timika –
Papua Barat adalah perusaan tambang emas dan tembaga terbesar urutan ke tiga di
dunia. Pemilik PT Freeport adalah J. B Mofet, pengusaha terbesar di Amerika
Serikat. Puluhan negara-negara telah menanam saham di perusahaan raksasa ini.
PT Freeport di Timika memberi penghasilan terbesar bagi gedung putih di Amerika
Serikat dan sisanya terbagi-bagi di negara-negara pemilik saham di PT Freeport
Timika. Perusahaan tambang lainnya adalah tambang minyak di Bintuni dan di
Sorong (LNG Tangguh). Dua tambang terbesar ini dikelolah oleh Inggris atas
kerja sama RI. Ada pula negara-negara lain menanam saham di dua perusaan
tambang minyak ini. Selain tambang tambang ini, masih banyak perusahaan
berskala sedang dan kecil berinventasi di Papua Barat.
Papua Barat menjadi dapur dunia.
Kerja sama Inventasi dibidang tambang, perdagangan serta energi menjadi posisi
tawar Indonesia untuk mempertahankan Papua Barat dalam bingkai NKRI.
Kampanye dan lobi-lobi agar Papua
Barat berdaulat penuh, terhalang karena negara-negara di dunia lebih memilih
mementingkan kerja sama bilateral dan multi-lateral dalam berbagai bidang
dengan Negara Indonesia. Khususnya untuk di Tanah Papua menjadi wilayah yang
sangat menjanjikan bagi investasi tambang Internasional. Maka dampaknya
bangsa Papua terus menjadi korban konspirasi kepentingan internasional.
Selain itu, Bangsa Papua Barat
menjadi korban konspirasi Nasional Indonesia. Tujuan menganeksasi bangsa Papua
Barat ke dalam NKRI, hanya karena tertarik pada tanah air dan kekayaan alam
Papua. Demi mengambil Emas, Mas (orang Papua) dimarginalisasi, didiskriminasi,
diminoritasi, dibunuh secara langsung maupun tidak langsung dan akibatnya
sedang menuju kepunahan etnis.
Penerapan Undang-undang (UU) nomor
12 tahun 1969 tentang Otonomi Luas dan Real , yang selanjutnya diubah dalam UU
nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, dan kini sedang diubah ke
dalam UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua adalah konspirasi kepentingan
Nasional yang berdimensi multi nasional karena paket-paket politik Jakarta ini
didukung oleh negara-negara di dunia. Bahkan ada pula negara di dunia yang
menjadi donatur untuk mendukung paket paket politik Jakarta untuk diterapkan di
tanah Papua Barat, walaupun bangsa Papua menolak semua paket politik ini.
Bangsa Papua Barat juga menjadi
korban Konspirasi Kepentingan Lokal. Kategori konspirasi ini dibagi ke dalam
dua yaitu dibuat oleh masyarakat migrant dan orang Papua tertentu. Masyarakat
pendatang dari luar Papua yang bermukim di tanah Papua memainkan peran untuk
bekerja sama dengan RI dan negara lain melalui berbagai bidang kehidupan.
Selain itu, pusat-pusat kota dan perekonomian di Tanah Papua telah di kuasai
oleh masyarakat migrant. Masyarakat setempat berjualan di pinggir jalan dan di
dekat pinggir tokoh, serta di pinggir pasar yang dibangun Pemerintah.
Ada pula orang Asli Papua tertentu
menjadi agent konspirasi kepentingan lokal yang berdimensi konspirasi
kepentingan nasional dan internasional, hanya untuk memenuhi kenikmatan sesaat.
Orang asli Papua tertentu yang menjadi agent konspirasi ini bermain di berbagai
bidang kehidupan, antara lain ada yang menjadi perintis jalan untuk membuka
investasi tambang, ada yang bertindak sebagai agent mata mata (BIN), mereka
menyusup masuk dalam organisasi perlawanan (musuh dalam selimut), ada yang
menyusup masuk dalam LSM dan PNS, ada yang masuk dalam tubuh Gereja, ada yang
menyusup masuk dalam akademisi, ada pula yang mendirikan organisasi untuk
mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI (seperti Barisan Merah Putih).
Masih banyak peran konspirasi
kepentingan berskala internasional, nasional dan lokal diterapkan secara rapi
dan sistematis, yang bertujuan untuk mempertahankan penjajahan NKRI dan para
sekutunya, guna memperpanjang penindasan terhadap rakyat bangsa Papua Barat.
Konspirasi kepentingan
internasional, nasional dan lokal itu melahirkan berbagai konflik yang
berkepanjangan yang tidak ada ujung pangkalnya. Aktor pertama yang melahirkan
konflik berkepanjangan adalah Negara Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan
PBB, yang secara sepihak tanpa melibatkan orang asli Papua menganeksasi bangsa
Papua ke dalam NKRI.
Akibat dari aneksasi kemerdekaan
bangsa Papua ke dalam NKRI itu, telah melahirkan dua masalah turunan yakni
pelanggaran HAM dan ketidak-adilan dalam berbagai dimensi bidang pembangunan,
akibat turunannya adalah menciptakan marginalisasi, diskriminasi, minoritasi
dan pemusnahan etnis Papua.
Untuk menyelamatkan bangsa Papua
dari darurat kemanusiaan terselubung yang sangat mengerikan, maka kami meminta
para aktor (RI, AS, Belanda dan PBB) harus bertanggung jawab. Keempat aktor ini
terlibat penuh dalam aneksasi Papua ke dalam NKRI, maka keempat aktor ini harus
bertanggung jawab untuk mengakhiri penjajahan dari NKRI dan para sekutunya di
Tanah Papua Barat.
Untuk itu, segera menggelar
perundingan tanpa syarat antara bangsa Indonesia dan Bangsa Papua, yang
dimediasi oleh PBB, Belanda, Amerika Serikat dan atau negara lain yang netral
untuk membahas tuntas semua masalah Papua dan menemukan solusi alternatif yang
bermartabat.
Selpius
Bobii adalah Ketua Umum Front PEPERA PB, juga sebagai Tawanan Politik Papua
Merdeka di Penjara Abepura, Jayapura, Papua Barat.
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."