OLEH: Honaratus
Pigai
Bagaimana
membangun keadilan dalam realitas konflik dan kekerasan? Bagaimana membangun
keadilan dalam kenyataan tindakan kekerasan yang bukan saja menyingkirkan,
tetapi juga meniadakan yang lain? Kita bisa belajar dari seorang Tokoh iman dan
sekaligus humanis yang terkemuka di abad ke-20, Mother Teresa dari Kalkuta.
Mother Teresa dan Pergulatannya Demi Keadilan
Di
pertengahan tahun 1940-an, situasi India sangat sulit. Tidak saja kemiskinan,
tetapi juga pertikaian politik, terlebih menjelang kemerdekaan India, juga
perang antar agama, yang nantinya membuahkan perpecahan dengan Pakistan,
terjadi. Kalkuta lalu dipenuhi dengan pengungsi, korban perang, dan orang-orang
miskin. Pertikaian sosial dan politik senantiasa membuahkan kemiskinan,
penderitaan dan ketidakadilan. Melihat di balik tembok biara umat Allah
mengalami penderitaan, Teresa tergerak hatinya untuk tidak tinggal diam.
Baginya Tuhan tidak pernah diam. Tuhan selalu berkarya dan menolong umat-Nya
yang berada dalam situasi keterpurukan.
Mother
Teresa adalah seorang yang dipandang humanis dan tokoh iman, karena seluruh
hidupnya dihabiskan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat miskin dan tertindas di
India kota Kalkuta. Ia pernah mengatakan “jika
saja para politisi mau berlutut dan berdoa, maka pasti dunia akan tertata lebih
baik”. Dikatakannya demikian karena bertolak dari pengalamannya sendiri
atas praktek politik kotor yang dipraktekkan oleh pemerintah. Pada waktu itu,
keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya sama sekali tidak nampak dan bahkan
pemerintah lebih beraksi untuk menindas dan memojokkan rakyatnya sendiri.
Banyak rakyat yang dibiarkan begitu saja dan lebih sadis tindakan pembunuhan
tanpa alasan yang jelas pun marak.
Realitas
itu menghantar Mother Teresa untuk menentukan arah panggilannya yang amat
kokoh. Mother Teresa tampil untuk menolong dan mengangkat harkat dan martabat
manusia. Mother Teresa tampil dan melawan kekuasaan pemerintah yang hanya
bersikap menindas. Ia melawan agar keadilan dapat ditegakkan untuk semua
manusia, tanpa terkecuali. Manusia harus diberlakukan sebagaimana sebagai
manusia dan bukan sebagai binatang, karena manusia adalah citra Allah (Imago Dei) yang hadir di dunia.
Mother
Teresa dipakai oleh Tuhan untuk terjun dan berada bersama rakyat yang berada dalam
tragedi kemiskinan dan penderitaan. Bagi Teresa panggilan untuk berada di
tengah rakyat dan membantu mereka adalah panggilan luhur. Ia mengatakan Tuhan
memanggil untuk berbuat, bukan untuk menunggu. Ia mengatakan kasih itu nyata
dalam tindakan, bukan dalam kata-kata. Kata simpati akan derita, bahkan doa
tulus akan sengsara, memang indah dan perlu. Namun, Tuhan menghendaki lebih
jauh daripada itu, tindakan. Sebab
Tuhan semakin nyata, jika diwujudkan dalam tindakan. Karena itu ia membela
rakyat demi penegakkan keadilan yang nyata bagi semua kalangan masyarakat dan
bukan hanya kepada para penguasa semata.
Mother
Teresa menilai praktek politik di India, sangat jarang dan bahkan tidak peduli
akan keadilan dan kedamaian bagi rakyat. Menurutnya, politisi kurang memiliki
keinginan untuk memperjuangkan kebenaran apalagi kebenaran moral. Para politisi
lebih berjuang demi dirinya sendiri dan komunitasnya sendiri dari pada
memperjuangkan kepentingan umum. Di sini letak lumpuhnya kebenaran moral para
politisi atau para elit politik.
Sikap
moral yang lumpuh mengakibatkan rakyat mengalami penderitaan di atas
penderitaan. Rakyat seperti kehilangan kasih sayang dari orang-orang yang
memegang kekuasaan. Mereka diasingkan dan bahkan disingkirkan dari hadapan para
penguasa yang notabenenya adalah “penindas” atau “pembunuh”, yang ingin
menindas, membunuh dan menugasai daerah-daerah tau tanah milik rakyat.
Kepentingan
umum demi menata kehidupan sosial diabaikan. Seperti adanya ketidakpedulian dan
pembiaran terhadap rakyat. Rakyat dibiarkan tanpa ada rasa solider dan kasih.
Manusia citra Allah dinodai dan bahkan dilukai demi kepentingan dan kekuasaan
dunia semata. Pemerintah hanya lebih menjaga kekuasaannya semata daripada
menjaga martabat manusia yang seharusnya dilindungi dan dihormati. Menurutnya, Politik
yang sebenarnya merupakan sarana untuk menyelenggarakan serta memikirkan
kepentingan umum, malah dipersempit menjadi kepentingan sendiri atau kelompok.
Akibat yang dihasilkannya adalah kekerasan, pertikaian dan akhirnya kemiskinan
serta ketidakadilan.
Suara
hati pemerintah tertutup oleh naluri serta rangsangan akan kuasa dan keuntungan
pribadi. Karena itu, Mother mengatakan jika kebenaran saja tidak dipedulikan
apalagi keadilan, lebih jauh lagi apalagi Tuhan. Jadi, kalau kebenaran saja
kurang diperhatikan oleh para pemegang kekuasaan, apalagi menegakkan keadilan
bagi rakyat. Bahkan apalagi mempraktekkan sikap kasih dan kedamaian yang
diajarkan Tuhan bagi semua ciptaan di bumi.
Teresa
mengatakan “jika saja para politisi mau
berlutut dan berdoa, maka pasti dunia akan tertata lebih baik”. Ini suatu
pergumulan batin yang sebenarnya dialamatkan kepada semua tokoh pemegang
kekuasaan. Seandanya para pemegang kekuasaan menyadari diri dan berdoa, serta
beriman kepada Tuhan yang diyakini, mungkin saja tindakan yang tercipta pun
mencerminkan tindakan tokoh agung Yang Adil (Kristus).
Barangkali
pendapat ini tepat jika kita kembali melihat situasi kita di Indonesia
khususnya Papua. Betapa politik sering tidak menyentuh realitas mendasar dalam
kehidupan masyarakat. Malah tidak jarang, politik semakin menjerumuskan bangsa
manusia dalam ketidakadilan dan ketidakdamaian. Kaum elit politik lebih senang
tinggal diam dalam tindakan kotor dan ingin mengambil untung darinya, tanpa
peduli terhadap rakyat.
Politik
Indonesia khususnya di Papua, sering ribut, tak pernah mau sepaham. Apalagi
memperbaiki dan menyentuh masalah mendasar bagi perbaikan tatanan kehidupan
bersama bagi bangsa, malah semakin membawa ancaman bencana bagi rakyat.
Kita
bisa lihat kenyataan di Papua, adanya pemekaran-pemekaran di berbagai daerah
Papua, hanya membawa persaingan politik yang tidak sehat. Para elit Politik
dengan leluasa bermain politik kotor atau yang disebut money politic. Akibatnya rakyat sendiri saling mengadu pendapat,
bertengkar, terpecah belah dan bahkan terjadi pertumpahan darah. Anehnya,
setelah terjadi demikian para elit politik diam berpangku tanggan. Mungkin juga
bertepuk tangan melihat siapa yang akan menang. Apakah pendukungnya atau
lawannya. Mereka tidak turun tangani persoalan yang sedang terjadi di antara
rakyat. Terkesan terjadi proses pembiaran. Seakan tidak peduli dan lebih sibuk
mencari kedudukan, kekuasaan dan kepentingan diri sendiri daripada mengamankan
situasi konflik.
Praktek
politik menghasilkan pendertiaan dan ketidakadilan. Boleh dikatakan demikian,
karena faktanya praktek politik hanya mengorbankan rakyat. Rakyat menjadi
korban politik para elit. Para elit politik hanya datang ke rakyat dan
menciptakan situasi ketidakamanan dan ketidakadilan. Rakyat yang sebelumnya
aman dilanda krisis keamanan. Politik melahirkan situasi yang benar-benar
mencekam rakyat, yang kemudian melahirkan permusuhan antar rakyat. Rakyat
terpecah belah dan melahirkan kubu-kubu yang kemudian bisa melahirkan konflik
horizontal. Situasi demikian bukan
berarti bahwa politik tidak diperlukan. Tetap dibutuhkan, namun orientasinya
sungguh harus dikembalikan dari jalan dan ketersesatan selama ini. Kembali ke
jalur rel yang sebenarnya nyata dalam sikap pembelaannya akan mereka yang
menjadi korban politik kotor dan kebijakan-kebijakan politik yang tidak adil,
yang hanya menguntungkan kaum kaya dan berkuasa dari pada rakyat yang sedang
menderita.
Apalagi
sangat nampak dengan berbagai pemekaran yang terjadi di tanah Papua. Di sini
terjadi jurang pemisah yang menunbuhkan sikap “ISME”. Tidak jarang terlihat
orang yang tidak termasuk di kabupaten tertentu tidak diterima, jika ia ingin
mencalonkan diri menjadi DPRD maupun Bupati. Maka sangat jelas nampak dan
tumbuhlah sikap yang sangat tidak mendukung kemanusiaan manusia lain. Karena
itu,, pemekaran bukan lagi datang membangun, melainkan datang hanya
memecahbelakan kesatuan rakyat yang sebelumnya terjalin baik.
Kita
dapat lihat kenyataan yang sungguh aneh dan sangat menggangu keadaban kita
sebagai manusia Papua. Walaupun bagi sebagian orang melihat pemekaran sebagai
jalan keluar untuk membangun Papua, namun di sini kegagalan kita menghormati
martabat manusia. Ada sejumlah persoalan, dengan adanya pemekaran yang mesti
kita melihatnya dengan mata hati yang jitu. Dengan pemekaran lahan-lahan dan
tempat penghuni rakyat digusur, penghormatan terhadap martabat manusia semakin
lumpuh, hutan tempat mencari hidup digusur habis demi pembangunana dan sejumlah
persoalan lain. Bukan hanya persoalan itu, ada juga persoalan lain bahwa dengan
adanya pemekaran terbukanya wilayah dan akses bagi orang lain untuk bisa datang
dan menduduki daerah tersebut. Maka kalau masyarakat asli tidak belum siapkan
Sumber Daya Manusia dengan baik, sebenarnya pemekaran itu untuk siapa dan untuk
apa? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Apakah rakyat setempat
untung? Atau rugi.
Bayak
hal negatif yang dapat mengganggu keadaban rakyat, sampai hak hidup pun bisa
terancam. Di sini dibutuhkan peran politisi untuk dengan teliti melihat dan
menyelamatkan rakyat dari berbagai macam persoalan politik. Para politis harus
dengan sadar memperjuangkan dan menegakkan keadilan dan keamanan bagi rakyat
setempat, agar kehidupan mereka tidak termarginalisasikan oleh pengaruh politik
atau pemekaran.
Lain
hal lagi, kini gencar di Papua adalah militerisme yang dikirimkan oleh negara (penguasa), dengan tujuan untuk menjaga keamanan. Tetapi kita lihat
faktanya di lapangan tujuan itu patut dipertanyakan kembali, apakah benar
militer datang untuk kemanan? pertanyaan ini muncul, karena melihat realitas
lumpuh yang dipraktekkan oleh militer di Papua. Kalau memang militer datang
demi tujuan keamanan, mengapa konflik terus berkembang dari hari ke hari? Malah
selalu dikabarkan militer-lah yang sedang menjadi biang konflik. Militer
menjadi aktor atau sutradara dibalik koflik. Kalau pernyataan ini benar, maka jangan
bermimpi kalau tujuannya itu berhasil. Tujuannya lumpuh di Papua.
Militer
datang demi tujuan keamanan, tetapi sering berbelok dari tujuan. Sikap
pembelokkan arah menandakan adanya sikap untuk menjaga keamanan para penguasa
negara. Ini
mempermudah penguasa untuk mencuri dan mengambil hak milik rakyat, yang sebenarnya harus dilindungi. Militer datang untuk menyingkirkan rakyat
sambil menjaga keamanan Penguasa di Papua, agar para penguasa lebih mudah
mengambil harta rakyat. Di sini letak kegagalan militer
sebagai lembaga independen
untuk melindungi rakyat, karena perlindungannya diarahkan kepada penguasa agar
militer pun mendapatkan sesuap nasi dari penguasa. Karena itu, militer tidak
memperhatikan dan melaksanakan amah yang baik. Militer hanya
menjadi kaki-tangan penguasa. Banyak
fakta telah menggambarkan kebrutalan penguasa di bawah
tindakan militer di Papua.
Keamanan yang menjadi tujuan datangnya militer, gagal. Karena itu, pantas kalau
militer tidak dibutuhkan. Bukan hanya tidak dibutuhkan tetapi memang militer
harus tidak ada di Papua. Pemerintah dan militer di Papua sudah gagal
menghormati dan melindungi kemanusiaan manusia Papua, martabat manusia Papua.
Yang hanya dihormati adalah alam dan kekayaan. Ketidakhormatan terhadap manusia
dan pengurasan terhadap alam serta hak hidup manusia Papua mesti diselesaikan
dalam dialog yang bermartabat demi mencari keamanan dan keadilan dan
penghormatan terhadap martabat manusia yang asali. Rakyat Papua yang berada
dalam situasi koflik, mengharapkan konflik mesti diselesaikan dengan jalan yang
bermartabat. Maka pemerintah mesti belajar dari sikap Mother Teresa yang
menjunjung tinggi harapan dan keinginan rakyat, terutama mengangkat harkat dan
martabat manusia demi keadilan dan kedamaian bagi semua orang dan bukan hanya
untuk para kaum berkuasa semata.
*) Penulis adalah seorang Frater
yang pernah sekolah di STFT “Fajar Timur” Abepura Papua.
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."