Ilustrasi Dialog Jakarta-Papua/ buku Neles Tebay |
Ditulis oleh; Honaratus Pigai
Situasi Papua sampai saat ini masih tidak aman. Orang
yang ada di Papua belum merasakan yang namanya keamanan, karena situasi konflik
masih terus terasa. Orang asli Papua terutama masih hidup dalam situasi trauma memoria
passionis. Ingatan akan penderitaan itu lebih kental dan tumbuh hingga saat
ini. Pelanggaran-pelanggaran HAM dan kekerasan di bidang lain (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi kerakyatan,
kependudukan dan ketenagakerjaan, sumber daya alam dan lingkungan hidup,
kesejahteraan sosial, keagamaan, kebudayaan dan adat istiadat, politik dan
pemerintahan, pengawasan, hukum dan sektor keuangan), masih terus
menghantui aktivitas hidup sehari-hari. Mereka merasa kehilangan diri oleh
karena kekerasan konflik yang tiada kunjung terselesaikan.
Orang asli Papua terus masih berada di bawah garis
penderitaan itu. Di atas tanahnya sendiri mereka hidup bagaikan duri dalam
tubuh. Situasi ini tidak harus dibiakan berlalu dari tahun ke tahun, tapi membutuhkan
alternatif untuk penyelesaian konflik yang tak ada ujungnya. Dialog
Jakarta-Papua barangkali menjadi alternatif yang mesti ditempuh demi menghindari
dan menyelesaikan konflik kekerasan yang dimaksud, agar mencari dan menemukan
realitas Papua yang baru. Papua yang aman dan tentram. Oleh karena itu, perlu keseriusan
dalam penyelesaian konflik. Dialog perlu ditanggapi secara positif oleh kedua
bela pihak yang bertikai, tentunya antara Jakarta dan Papua.
Dialog Perlu
Diseriusi
Untuk menggalang kedamaian dan keamanan di Papua, tidak
cukup hanya sepihak saja. Keterlibatan dua pihak yang bertikai (Jakarta dan
Papua) sangat diharapkan. Bukan hanya keterlibatan sepihak semata, tetapi kedua
bela pihak mesti menseriusi penyelesaian konflik yang terjadi. Kedua bela pihak
yang bertikai harus duduk bersama dan membahas akar konflik. Ini harus
ditanggapi dan diterima oleh masing-masing pihak.
Dialog konflik Jakarta-Papua sudah tentu menjadi salah
satu alternatif atau jalan tengah penyelesaian konflik. Dalam buku Papua Road
Map, LIPI pun menyatakan dialog merupakan jalan menuju Papua Baru yang damai
dan berkeadilan. Jadi barangkali dialog menjadi salah satu jalan yang harus
ditanggapi secara positif dan diseriusi. Karena itu, pemerintah pusat perlu
mendengarkan suara rakyat Papua yang tiada hentinya berteriak meminta dialog
yang adil, jujur dan bermartabat.
Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi)
Papua, Benny Giay di majalahselangkah.com, pada 04 Agustus 2013, pun mengatakan
dengan gambling, bahwa pemerintah Indonesia tidak boleh berekspresi seolah-olah
tidak tahu masalah kekerasan di Papua. Pemerintah harus duduk berdialog secara
bermartabat dengan orang asli Papua. Pemerintah Indonesia mestinya dengar tuntutan rakyat Papua saat ini.
Penyelesaian masalah Papua bukan dengan militerisme, bukan saling bohong,
dengan pemberlakukan kebijakan UP4B, bukan juga dengan Otonomi Plus, dan dengan
kebijakan lainnya.
Rupanya kebijakan-kebijakan yang dibuat,
sudah tidak lagi mapan. Papua saat ini membutuhkan suatu jalan penyelesaian
akar persoalan bukan dengan kebijakan-kebijakan itu, tetapi dengan jalan dialog
yang bermartabat. Dialog inilah yang rupanya harus dianggap penting dan
mendesak untuk dilakukan. Karena dianggap penting maka harus diseriusi.
Keseriusan dalam menanggapi kemauan rakyat Papua inilah yang harus dimiliki
oleh pemerintah pusat. Karena tanpa menseriusinya, dan hanya ingin
mempertahankan kemauan untuk menerapkan kebijakan-kebijakan UP4B dan Otsus Plus
dan sebagainya, pasti tidak akan pernah menyelesaikan akar masalah yang sudah lama
bergulir di Papua.
Dialog: Jalan Alternatif Penyelesaian Konflik
Untuk menempuh langkah ini, secara gamblang dijelaskan oleh Dr. Neles
Tebay, seorang rohaniwan dari Gereja Katolik di Papua, dalam bukunya, Dialog
Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, sudah menjelaskannya secara jelas
dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh semua kalangan. Bagi yang sudah baca
buku itu tentu sudah mengerti apa yang dimaksudkan Pater Neles.
Ia mengemukakan prinsip dasar dari dialog adalah mempertemukan perwakilan
dari kedua pihak yang bertikai. Pertemuan ini barangkali penting, agar konflik
dibahas secara damai dan bermartabat. Untuk itu, dialog sangat mendesak untuk
diadakan dan dimediasi oleh pihak yang netral, diadakan di tempat yang netral
dan diakui oleh dunia internasional.
Faktor yang membuat dialog penting dan mendesak adalah, pertama,
langkah kekerasan tidak membuat relasi Jakarta-Papua membaik, tetapi sebaliknya
kian merusak. kedua, dalam mengimplementasikan Undang-Undang Otsus, sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa pemerintah gagal mensejahterahkan orang Papua.
Ini membuat tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah kian menipis, karena
pemerintah tidak konsisten menerapkan UU Otsus di Papua. Kita lihat lagi, setelah
diadakannya evaluasi Otsus pada 25-27 Juli 2013 lalu, bahwa orang Papua telah memutuskan
bahwa Otsus tidak berjalan maksimal. Dari berbagai bidang HAM, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi
kerakyatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, sumber daya alam dan lingkungan
hidup, kesejahteraan sosial, keagamaan, kebudayaan dan adat istiadat, hak asasi
manusia, politik dan pemerintahan, pengawasan, hukum dan sektor keuangan dipandang sudah tidak membawa hasil. Otsus tidak membawa
harapan baik demi rakyat Papua, tetapi malah dalam era-Otsus ada sejumlah kasus
pelanggaran kekerasan dan pembunuhan terhadap orang asli Papua.
Kombinasi dua faktor di atas meningkatkan ketegangan di kedua belah pihak.
Dari kacamata pemerintah, ketegangan itu dikategorikan sebagai menguatnya
gerakan separatis dan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Dari kacamata Papua, hal
ini dilihat sebagai kian tidak acuhnya pemerintah terhadap nasib rakyat Papua
yang berimplikasi pada terus terbenamnya orang Papua dalam ketidakberuntungan.
Kondisi konflik tentunya kita tidak boleh membiarkan dia terjadi tanpa
hentinya. Perlu ada solusi yang dapat menyelesaikannya. Karena itu, kedua bela
pihak yang bertikai perlu duduk bersama untuk membahas akar konflik yang
terjadi di Papua. Maka segala macam anggapan yang membatasi terlaksananya
dialog damai tentu harus dibuang. Pemerintah Indonesia mesti membuang anggapan
bahwa dengan adanya dialog, Orang asli Papua akan menentukan nasibnya sendiri
atau merdeka. Orang asli Papua juga demikian, bahwa dengan adanya dialog
Indonesia akan mempertahankan Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Kita mesti memahami bahwa yang dibahas dalam dialog bukan soal kemerdekaan,
tetapi masalah kemanusiaan. Neles Tebay dalam bukunya sangat jelas mengatakan tentang
hal itu, bahwa dalam dialog tidak membahas tentang kemerdekaan Papua Barat,
tetapi sebaliknya membahas akar koflik Papua Barat. Pernyataan ini mesti
dimengerti dengan baik dan bijak, bahwa yang didialogkan adalah martabat
manusia yang terpenjara dalam konflik-konflik kekerasan. Martabat manusia yang
terpenjara inilah yang harus dibebaskan, agar mendapatkan angin segar, angin
kedamaian dan ketentraman dalam keseharian hidup.
Anggapan-anggapan negatif yang melahirkan “harga mati”
dan membatasi ruang dialog harus dibuang. Indonesia dan para pejuang pembebasan
Papua Barat masing-masing mempertahankan “harga mati”. Bagi Indonesia, NKRI
harga mati, sebaliknya bagi Papua, Papua Merdeka harga mati. Setiap kubu yang mengklainm
pihaknya yang paling benar, sehingga yang lain harus mengikuti. Jalan ini,
tidak bisa ditempuh untuk menyukseskan dialog. Dialog bisa tercipta kalau harga
matinya diasingkan atau disingkirkan. Pihak yang mengklaim sebagai yang paling
berhak atas Papua, tentunya menyadari diri demi kedamaian manusia yang ada di
Papua. Harga mati inilah yang tentu harus dihargahidupkan dengan menanggapi
agar dialog menjadi hidup dan terlaksana.
Prinsip harga mati yang dibangun ini, harus ditinggalkan,
bahkan perlu dihapuskan dari pikiran kedua bela pihak yang bertikai. Karena tanpa
menghapus prinsip harga mati dari masing-masing kubu, tidak akan ada perdamaian
antara kedua kubu. Pertikaian, penderitaan, kemiskinan dan pembunuhan tetap
akan berlangsung terus. Maka kedua kubu harus saling percaya bahwa, dialog
merupakan jalan bermartabat yang mesti ditempuh demi membawa kedamaian, bukan
menimbulkan masalah baru.
Maka untuk mengembalikan citra diri dan harga diri
manusia, entah manusia Indonesia dan manusia Papua, Papua-Jakarta menjadi
sangat mendesak dan penting. Tak ada waktu untuk menunggu lebih lama lagi jika
ingin hubungan baik. Kedua kubu harus saling percaya, menghilangkan
anggapan-anggapan palsu, membuka diri dan sepakat untuk mengadakan dialog.
Bagi Orang asli Papua, kemauan untuk dialog sudah terbuka
lebar. Dalam evaluasi Otsus pada 25-27 juli 2013 lalu, rakyat asli Papua dengan
tegas menyatakan dan mengambil keputusan serta merekomendasikan kepada
pemerintah pusat bahwa mereka siap mengadakan dialog dengan Jakarta. Karena
itu, pemerintah pusat harus menanggapi dan menseriusi kemauan baik rakyat ini.
Karena kalau tidak diseriusi, maka ketidakpercayaan terhadap pemerintah akan
semakin berat. Maka kepercayaan ini mesti diseriusi, agar tidak menimbulkan
ketidakpercayaan di atas ketidakpercayaan yang kemudian bisa berpotensi
konflik. Pemerintah pusat barangkali harus menyadari dan menghilangkan segala
bentuk stigmatisasi terhadap rakyat Papua dan menanggapi kepercayaan yang
diberikan ini, agar harapan untuk penemuan solusi konflik bisa terjadi dalam
dialog yang dimaksud.
Untuk itu, segala kesepakatan dalam dialog Jakarta-Papua
harus diterima dengan pikiran positif dan bermartabat. Hal ini, perlu untuk
menciptakan kedamaian antara kedua kubu, terutama di Papua, yang berada di
bawah penderitaan, sehingga bisa mencapai Papua baru dan damai. Sesuai dengan
deklarasi Papua Tanah Damai yang dicanangkan oleh tokoh agama dan masyarakat di
Papua.
Penulis adalah seorang Frater
yang pernah sekolah di STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua.
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."