Dalam kekerasan terbaru di Distrik Mulia, Puncak Jaya,
Selasa (26/5), enam warga sipil ditembak oleh kelompok yang terdiri dari 18
orang yang melarikan diri ke hutan, seperti dijelaskan Kapolda Papua, Irjen Pol
Yoetje Mende.
Seorang warga, Pengga Enumbi, yang berusia 31 tahun, tewas
karena sejumlah tembakan di kepalanya.
Bagaimanapun juru bicara Polda Papua, Patrige Renwarin
mengatakan kepada BBC bahwa polisi melakukan penyelidikan biasa atas penembakan
tersebut dan tidak mengaitkannya dengan berita tentang yang disebut 'perang
total di Papua'.
"Kami tak bisa gegabah mengaitkan kejadian ini dengan
isu ancaman-ancaman itu. Kami tak boleh terpancing memberikan respon yang
gegabah yang justru malah menimbulkan antipati di masyarakat."
Sebelumnya, beberapa media di Jakarta mengutip dua pemimpin
gerilyawan Organisasi Papua Merdeka, OPM, Enden Wanimbo dan Puron Wenda, yang
menyatakan perang secara terbuka terhadap semua orang Indonesia di tanah Papua.
Kekerasan di Papua Dikelolah
Sementara itu Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat, KNPB,
Victor Yeimo, membantah berita tentang perang dari OPM tersebut.
"Yang meninggal dalam serangan itu justru warga asli
Papua, marga Enumbi, sedangkan lima orang yang pendatang hanya luka-luka. Jadi
bagaimana logikanya? Ini skenario apa? Siapa yang bermain di sini?"
Victor Yeimo berpendapat kekerasan dan kerumitan di Papua
setelah kedatangan Presiden
Jokowi ke Papua beberapa waktu lalu 'dikelola' untuk memberi
kesan bahwa perjuangan rakyat Papua dijalankan dengan kekerasan dan kriminal.
Victor menambahkan bahwa setelah kunjungan
presiden Jokowi ke Papua justru terjadi penangkapan-penangkapan
baru.
"Demonstrasi damai kami tanggal 20 dan 21 Mei di
berbagai kota, ditindak dengan keras. Ada 124 orang yang ditangkap dan tujuh
jadi tersangka: tiga di Biak dan empat di Manokwari."
Victor mengakui, Jokowi menunjukkan komiten baik dalam dua
keputusannya saat berkunjung ke Papua, yang membebaskan lima tahanan politik
dan dibukanya Papua untuk wartawan asing.
Namun menurut Victor, pendekatan Jokowi sulit untuk segera
diwujudkan dengan mulus di Papua, karena, dia menduga, ada pihak-pihak yang
ingin memelihara kondisi konflik seperti selama ini.
Langkah ekstrim
Bagi pengamat Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Adriana Elisabeth, kekerasan-kekerasan tersebut bisa dilihat sebagai
pukulan buat pendekatan baru Jokowi dalam menangani Papua.
"Langkah Jokowi membuka
Papua itu cukup ekstrim, terkait stigma Papua sebagai daerah
konflik," kata Adriana Elisabeth.
"Itu pasti mendapat tentangan atau gangguan. Ketika
pemerintah mau membuka Papua, muncul peristiwa-peristiwa seperti itu."
Dia mengakui jelas bukan hal yang mudah untuk menghentikan
kekerasan di Papua 'terkait konflik vertikal' karena sudah berkembangnya rasa
'saling tak percaya' antara masyarakat Papua dengan TNI.
Dalam konteks itu, pemerintah Jokowi -tambah Adriana-
menunjukkan harapan baru bahwa mereka memiliki strategi yang lebih manusiawi
dan tak lagi opresif terkait Papua namun di tingkat bawah bisa jadi ditafsirkan
secara berbeda.
"Jadi butuh waktu, agar kebijakan baru itu
diterjemahkan dengan tepat oleh pelaksana di lapangan," papar Adriana. (mv/mp)