Tidak Ada Jalan Lain, Selain Papua Merdeka

Jokowi berjanji akan mengganti pendekatan keamanan dengan pendekatan kesejahteraan. Namun, cita-cita Jokowi ini kelihatan macet di lapangan. Papua tetap "ditutup". Ikuti ulasan Made Supriatma berikut ini.

West Papua Indonesische Soldaten

Akhir Maret yang lalu Menteri koordinator politik, hukum dan keamanan, Luhut Panjaitan berziarah ke makam tokoh nasional Papua Theys Hiyo Eluay. Menteri Luhut meletakkan karangan bunga di atas makam tokoh yang dibunuh lewat operasi intelijen Kopassus tahun 2001.

Luhut Panjaitan, yang adalah juga bekas perwira Kopassus, bermaksud untuk meraih simpati. Selepas itu, dia akan bertolak ke Papua Nugini dan Fiji. Indonesia memiliki kepentingan terhadap Papua Nugini, Fiji dan negara-negara Melanesia karena dukungan mereka terhadap kemerdekaan Papua.

Selain itu, kunjungan ke makam Theys bisa dilihat sebagai sikap (gesture) yang ditujukan kepada rakyat Papua. Hanya saja, ada yang tidak pas. Beberapa saat sebelum kunjungan Luhut, lambang Bintang Kejora besar di atas makam Theys dihapus dan dicat putih. Bagaikan menyiram bensin, para aktivis kemerdekaan Papua langsung bereaksi keras. Mereka marah dengan penghilangan lambang Bintang Kejora itu. Lambang ini sudah dianggap sebagai identitas politik bangsa Papua.

Di pihak Indonesia, tidak banyak yang menyadari bahwa masalah Papua sudah memasuki tahapan penting. Administrasi pemerintahan presiden Jokowi pernah berjanji akan memperbaiki situasi di Papua. Presiden Joko Widodo berjanji akan mengganti pendekatan keamanan dengan pendekatan kesejahteraan.

Para tentara anti huru hara di Jayapura, 30 November 2000 mengantisipasi peringatan 29 tahun Papua Barat .
Namun, kenyataan berbicara sangat berlainan. Cita-cita Presiden Jokowi ini kelihatan macet di lapangan. Ada dua hal yang dilihat dari perspektif Papua yang tidak mungkin diselesaikan dengan ‘pendekatan kesejahteraan.' Keduanya persoalan itu adalah impunitas dan kebebasan serta hak-hak asasi manusia.

Impunitas

Rakyat Papua tentu tidak bisa melupakan bagaimana Theys dibunuh. Mereka juga masih ingat ucapan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, saat itu Panglima TNI, ketika Theys dibunuh. Ryamizard memuji prajurit dan perwira Kopassus yang membunuh Theys sebagai “pahlawan NKRI.”

Pelanggar HAM diserahi mendidik generasi penerus TNI

Selain itu mereka menyaksikan bagaimana perwira-perwira yang katanya dihukum dan dipecat dari dinas TNI justru terus mendapat kenaikan pangkat. Bekas Komandan Satgas Tribuana X, Letkol Inf. Hartomo (Akmil 1987), misalnya, sekarang berpangkat Mayor Jendral dan menjadi Gubernur Akademi Militer. Tentu sulit dimengerti bahwa perwira yang pernah terlibat dalam pelanggaran HAM berat diserahi mendidik generasi penerus TNI.

Perwira-perwira lain juga terus menerus mendapat promosi. Kapten Inf. Rionardo (Akmil 1994) sekarang sudah berpangkat Letnan Kolonel dan menjabat sebagai komandan Brigif 1 Pam Ibukota/ Jaya Sakti. Sedangkan Mayor Inf. Donny Hutabarat (Akmil 1990) terakhir diketahui juga berpangkat Letnan Kolonel dan menjadi Assisten Intel di Kodam Bukit Barisan. Kapten Inf. Agus Supriyanto (Akmil 1993) juga sudah menjadi Letnan Kolonel dan menjabat sebagai Komandan Kodim 1607 Sumbawa.

Kebebasan dan HAM

Tidak dapat disangkal bahwa setelah kematian Theys Hiyo Eluay gerakan pembebasan Papua telah mengambil bentuk yang sama sekali lain. Jika sebelumnya, gerakan-gerakan pro-kemerdekaan Papua lebih berorientasi elitis sambil tetap memelihara sayap militer dalam berhadapan dengan pemerintah Indonesia, maka saat ini yang muncul adalah kekuatan organisasi massa.

Kita menyaksikan lahirnya aktivis-aktivis Papua dari generasi yang lebih muda. Mereka lebih berdisiplin, memiliki ikatan ke dalam yang jauh lebih kuat, dan lebih terbuka dalam mengadopsi taktik dan strategi baru dalam gerakan.

Itulah yang direpresentasikan oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Organisasi ini bergerak di lapisan kaum muda terdidik Papua terutama mahasiswa dan pelajar. KNPB juga sangat mengerti teknologi. Operasi dan jaringan media sosial KNPB, misalnya, cukup maju sehingga mereka bisa mengorganisasi gerakan dengan cepat.

Tidak pelak lagi, KNPB menjadi organisasi Papua yang paling militan. Gerakan aksi massa KNPB tidak saja dijalankan di Papua namun juga di wilayah-wilayah Indonesia lainnya.

Tampaknya, aparat keamanan Indonesia tidak berdaya dalam mengendalikan KNPB. Jalan pintas diambil oleh aparat keamanan. Kepemimpinan dan anggota KNPB menjadi target pembunuhan oleh aparat-aparat keamanan. Sejak organisasi ini didirikan tahun 2008 hingga 2014 ada 29 anggotanya dibunuh dan puluhan lainnya di penjara. Pada tahun 2012, wakil ketua KNPB, Mako Tabuni dibunuh oleh aparat berpakaian preman.

Tidak ada organisasi di Indonesia yang menjadi korban pembunuhan tepat sasaran (targeted killings) sebesar KNPB. Bahkan organisasi yang dikategorikan sebagai organisasi teroris sekalipun.

Aparat keamanan Indonesia juga melakukan banyak penangkapan terhadap peserta aksi-aksi unjuk rasa yang digelar seakan tidak kenal lelah oleh para aktivis Papua. Pemerintahan presiden Jokowi cukup ‘berprestasi' dalam melakukan penangkapan ini. Organisasi Papua itu Kita mencatat bahwa ada 653 penangkapan terjadi antara April 2013-Desember 2014 dan 479 penahanan aktivis dari 30 April-1 Juni 2015. Tentu, penangkapan-penangkapan itu juga kerap disertai dengan penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan.

Pertarungan Internasional

Saat ini tengah terjadi pertarungan antara Indonesia dan pihak pejuang kemerdekaan Papua di Pasifik Selatan. Pihak Papua diwakili oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Organisasi ini selama beberapa tahun belakangan ini dengan gigih melakukan gerilya diplomatik dalam upaya mendapatkan keanggotaan organisasi Melanesian Spearhead Group (MSG), organisasi regional negara-negara Melanesia.

Saat ini, Indonesia adalah associate member dari MSG. Sementara ULMWP diakui stastusnya sebagai pengamat (observer). Indonesia berusaha menjadi anggota penuh MSG. Namun aktivis pro-kemerdekaan Papua gigih berkampanye menentangnya. Seminggu yang lalu, ribuan demonstran Papua turun ke jalan untuk menolak keanggotaan Indonesia dalam MSG dan menuntut pengakuan ULMWP sebagai anggota penuh.

Jalan diplomatik Indonesia tampaknya tidak akan mulus. Sekalipun diplomat-diplomat Indonesia terkesan meremehkan kekuatan kecil ULMWP. Dalam pertarungan diplomatik ini, Indonesia kembali menghadapi sejarahnya sendiri. Persis inilah yang terjadi ketika Indonesia menghadapi gerilya-gerilya diplomatik Timor Leste.

ULMWP agaknya tidak akan berhenti di Pasifik Selatan. Mereka sudah bergerak ke negara-negara yang menjadi kekuatan internasional dunia. Yang terpenting adalah bahwa mereka mampu membangun basis kekuatan di dalam negeri serta kekuatan-kekuatan masyarakat sipil non negara di tingkat internasional.

Membuka Papua

Kenyataan-kenyataan seperti diatas sangat jarang diketahui oleh publik Indonesia. Sekalipun Indonesia sudah menjadi negara demokrasi namun akses warga negaranya terhadap informasi khususnya yang terkait dengan Papua masih sangat terbatas. Wartawan asing tidak diperbolehkan meliput di Papua. Walaupun pemerintahan Jokowi mengatakan sudah mencabut larangan itu, namun di praktiknya, masih sangat sulit perizinannya bagi wartawan asing meliput di sana.

Sementara, wartawan-wartawan Indonesia yang bekerja di sana sebagian besar mendapatkan informasinya justru dari aparat keamanan dan intelijen. Seperti dalam kasus Tolikara, misalnya. Para jurnalis Indonesia hanya meneruskan informasi yang berasal dari pihak kepolisian.

Papua sesungguhnya memiliki wartawan-wartawan lokal yang cukup bagus. Mereka memiliki akses terhadap sumber-sumber berita lokal sehingga lebih mudah melakukan verifikasi berita. Akan tetapi, berita-berita mereka umumnya diterbitkan untuk masyarakat lokal dan sangat jarang dijadikan rujukan media nasional.

Dalam soal Papua, pemerintah Indonesia agaknya tidak hanya ingin menyembunyikan persoalan dari dunia internasional. Pertama-tama, pemerintah Indonesia menutup informasi untuk rakyat Indonesia sendiri. Sebab jika informasi dibiarkan bebas mengalir maka ia akan membuka borok-borok pemerintahan itu sendiri.

Soal Papua seharusnya menjadi perdebatan di kalangan publik Indonesia sendiri. Jika itu tidak terjadi, kita membiarkan satu daerah diperintah secara otoriter sementara wilayah lainnya menikmati kehidupan demokrasi. Konsekuensinya adalah bahwa kita sesungguhnya tidak mengakuinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Made Supriatma peneliti dan jurnalis independen. Tulisan dan laporannya sering muncul di majalah online IndoProgress. Fokus penelitiannya adalah politik militer, konlfik dan kekerasan etnik, serta politik identitas.
@supriatma

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

__
Copyright © Muye Voice. Designed by OddThemes