Pendeta, Dr. Benny Giay |
Jakarta - Selama kampanye pemilihan
presiden 2014, Pendeta Benny Giay termasuk penyokong pasangan Joko Widodo-Jusuf
Kalla. Tapi, setelah pasangan itu terpilih, sikapnya berbalik. Ia seperti
menjadi oposan dan menolak kehadiran Jokowi ke tanah Papua pada awal Mei lalu.
Penolakan itu antara lain dilandasi
oleh kekecewaannya terhadap sikap sang presiden yang dianggap kurang serius
menyelesaikan sejumlah kasus kekerasan di sana. Salah satunya adalah insiden
penembakan empat siswa di Enarotali, Paniai, pada 8 Desember 2014. Benny
meminta Presiden Jokowi membentuk tim investigasi independen, bukan cuma penyelidikan
oleh polisi.
"Sudah kami sampaikan ke
Presiden, harus Komnas HAM, bentuk KPP HAM (Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak
Asasi Manusia) yang punya mandat bisa panggil TNI-Polri," kata Ketua
Sinode Gereja-gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua ini sebelum menjadi pembicara
dalam sebuah diskusi di kantor Kontras, Jumat, 22 Mei 2015 lalu.
Benny berkeyakinan investigasi oleh
kepolisian, apa pun hasilnya, tak akan pernah dipercayai masyarakat di sana.
Sebab, mereka menganggap polisi sebagai salah satu sumber kekerasan di Papua.
Dalam kesempatan itu, Benny juga
mengkritik kebijakan Presiden Jokowi yang memberikan grasi kepada lima tahanan
di sana. Juga keputusan Presiden membebaskan jurnalis asing berkunjung dan
meliput di Papua. Seperti apa paparannya, simak petikan perbincangannya berikut
ini.
Dalam
kunjungan kedua ke Papua awal Mei lalu, Presiden Jokowi memberikan grasi kepada
lima tahanan....
Itu sebetulnya penuh paksaan oleh
Istana. Kami tanggal 5 (Mei) kunjungi tapol-napol. Kami kaget di situ ada
seorang perempuan bernama Judith. Katanya dia bawahan staf di lembaga
Kepresidenan. Selama hampir satu jam dia bujuk tapol-napol untuk buat surat
grasi, dan dijanjikan sesuatu. Dari lima orang itu tak semua bisa baca-tulis,
ada satu yang kemudian mengaku menyesal (mengajukan grasi), dia mengaku ditipu.
Ini yang saya pikir rakyat Indonesia
perlu dapat sedikit informasi. Tolong jangan ganggu orang dalam penjara lagi.
Mereka akan menerima kalau amnesti, bebas tanpa syarat, kalau harus bikin
surat, tidak mau sama sekali. Atas nama kemanusiaan, tolong Jakarta tidak usah
ganggu mereka lagi. Sudah.
Presiden
juga membuka akses ke jurnalis asing?
Itu juga masalah lagi, karena Kapolda
bilang itu harus ikut prosedur. Jadi Presiden ini apakah ada komunikasi dengan
anak buahnya, menteri-menteri dan lain-lain, ataukah Presiden dikasih biar
jalan sendiri, menteri jalan sendiri.
Sejauh
ini akses jurnalis ke sana bagaimana?
Kami berharap mungkin, kalau ada media
asing, akan lebih bagus pergi untuk tes dulu. Apakah memang Presiden punya
bahasa yang dilaksanakan di lapangan. Mungkin perlu ada wartawan asing yang
perlu coba ke sana.
Aspirasi
apa yang hendak disampaikan masyarakat Papua?
Terakhir itu ada penembakan terhadap
empat orang siswa di Paniai pada siang hari, 8 Desember 2014. Masyarakat sudah
minta, tolong ini diselesaikan. Tolong investigasi, tangkap pelakunya dan
diproses. Pada Desember itu juga saya bertemu Presiden Jokowi dengan pimpinan
gereja lain, saya sampaikan itu.
Saya bilang, “Bapak ini presiden hebat
karena 80 persen orang Papua bisa memilih.” Tidak gampang selama ini. Artinya,
sekurang-kurangnya Jokowi sudah merebut kepercayaan orang Papua. Itu tidak
mudah. Saya sampaikan begitu.
Kami orang Papua menunggu kapan
penyelesaian empat orang siswa kami yang dibunuh. Lalu Januari Presiden tunjuk
Menko Politik, Hukum, dan Keamanan untuk investigasi kasus ini. Februari Menko
Politik kasih tugaskan polisi untuk investigasi. Ah, tidak akan ada kepercayaan
dari masyarakat kalau begitu.
Anda
ingin ada tim investigasi khusus di luar polisi?
Sudah kami sampaikan ke Presiden,
harus Komnas HAM, bentuk KPP HAM (Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi
Manusia) yang punya mandat bisa panggil TNI-Polri. Kalau kemarin tanggal 9 atau
10 bilang Kapolda tolong pergi cek, bagaimana? Mereka ini kan pelaku.
Itu yang buat saya berpikir orang
Papua ini di luar Indonesia. Orang Papua nonwarga negara Indonesia. Kami
mengalami apa yang dinamakan secara sosial dikeluarkan. Bukan lagi di dalam,
tapi di luar Indonesia. Itu ketidakadilan yang harus terus dilawan. Kalau
memang Indonesia tidak bisa urus, kasih merdeka sendiri, to.
Sebagai
tokoh gereja, menurut Anda, apa prioritas yang semestinya ditangani pemerintah
di Papua?
Saya pikir kasus-kasus pelanggaran HAM
inilah yang harus diselesaikan. Itu orang Papua mungkin akan percaya bahwa kita
adalah bagian dari negara besar. Selama ini orang Papua merasa, (Jakarta)
berdialog dengan Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) bisa, mengapa (dengan) kami tidak
bisa.
Dulu Jusuf Kalla bikin (perdamaian)
dengan Aceh (Gerakan Aceh Merdeka), mengapa tidak bisa bikin dengan Papua.
Sebaiknya kasus pelanggaran ini dituntaskan karena ini adalah rasa keadilan
mereka sebagai warga negara. Ini yang harus diberikan dan dikembalikan.
Sekarang ini tidak jalan.
Tapi
Anda masih punya harapan kepada Presiden Jokowi?
Saya sampaikan sendiri (kepada)
Jokowi, saya kasih kampanye agar orang ini terpilih, karena (Jokowi) orang
hebat. Kita pikir dia akan menjadi presiden yang baik, tetapi setelah itu…
he-he-he…. Sudahlah, kita tidak tahu bagaimana lagi, tapi kita harus tetap
berbicara, berdinamika.
Papua
menjadi isu internasional. Anda menjalin komunikasi dengan negara lain?
Tidak ada. Kami paling-paling datang
ke sini (Jakarta) cari teman-teman jurnalis, cari ruang untuk menyuarakan dan
komunikasi. Pernah Pangdam Cenderawasih datang ke kantor saya. Saya bilang,
Pangdam ini orang nomor satu dalam bidang keamanan di tanah Papua. Saya untuk
komunitas gereja juga nomor satu. Pangdam orang baik.
Semua orang baik ditaruh Tuhan di
tempatnya untuk bersihkan sampah-sampah. Pangdam-pangdam sebelumnya sudah
biarkan sampah-sampah ini. Kita punya tugas besar untuk bagaimana sampah-sampah
ini dibersihkan satu demi satu. Itu yang saya bilang.
Anda
pernah mengalami intimidasi?
Dua tahun ke bawah ada. Tetapi saya
selalu coba untuk sedikit berhikmat supaya harus pergi pagi, sore sudah pulang.
Jadi tidak kasih kesempatan.
Bentuk
intimidasinya seperti apa?
Kalau HP saya pikir sudah disadap.
Tiga-empat bulan terakhir saya didatangi Kopassus, Pangdam punya anak buah bawa
ini-itu. Saya bilang, jangan bawa-bawa lagi. Sudah. Bawa Alkitab, saya bilang
kami juga punya uang beli Alkitab. Bawa sembako.
Ada Kopassus sudah dua kali datang
bawa undangan untuk kegiatan. Saya bilang itu tidak penting untuk saya. Jadi
saya bilang begitu. Saya bilang lebih baik bikin surat terbuka agar kantor saya
tidak didatangi orang seperti ini. Walaupun saya merasa bersalah betul, karena
sebetulnya tidak boleh usir orang.
Kekerasan-kekerasan di luar yang terus
terjadi ini selalu menyuburkan, kan di dalam diri kita manusia ada yang baik
dan jahat. Berita tentang kekerasan ini selalu menumbuhkan yang negatif, itu
kadang saya marah. Orang Papua terus-menerus terkondisikan untuk selalu
berpikir yang jahat dan negatif, beli senjata. Saya sering bicara banyak, tidak
boleh beli senjata, tidak boleh beli amunisi.
Jadi
masih ada harapan untuk berdialog?
Kami harus berjuang. Kondisi-kondisi
ini terus-menerus memaksa orang Papua menghindari kekerasan. Karena, kalau kita
menggunakan kekerasan, itu menguntungkan mereka. Sebab, itulah yang mereka mau.
Dialog
macam apa yang diinginkan?
Tadi ada diplomat asing datang ke
diskusi di sini (Kontras), saya bilang, “Tolong paksa Indonesia untuk duduk
bicara dengan orang Papua, bicara tentang separatisme.” Separatisme ini akar
persoalannya. Ini lahir karena undang-undang yang tidak hadir.
Sama seperti saya bilang ke SBY
(Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) dulu, apa yang SBY bilang separatisme itu
orang Papua bilang nasionalisme. Sama seperti Belanda menyebut pejuang
Indonesia yang waktu itu mau merdeka.
Orang Belanda pikir mereka (para
pejuang Indonesia) separatis, tapi apa yang bikin separatis? Karena Belanda
yang bikin ketidakadilan. Kasih bunuh semua rakyat di bawah kan. Sukarno dan
Hatta gila kalau tidak menyikapi ketidakadilan ini. Ini juga yang terjadi di
Papua.
Jadi, kalau mau dialog, menurut saya,
mari kita bicara separatis dulu. Karena ini yang selalu dipakai oleh (oknum
aparat tertentu) untuk mencari uang, bikin operasi-operasi.
Separatis ini siapa yang bikin? Orang
Papua? Tidak. Karena selama berpuluh tahun orang Papua dibunuh, tanahnya
diambil. Orang Papua kemudian berpikir kami bukan bagian negara Indonesia,
“Mari bikin negara sendiri.” Orang Papua bukan malaikat, mereka bisa marah.
Yang orang Papua bikin ini, orang Jawa sudah lakukan saat berhadapan dengan
Belanda.
Akhir
April lalu, Kopassus mengundang para tokoh Aceh, Timor Leste, dan Papua ke
Cijantung. Anda termasuk?
Orang paksa saya datang. Saya bilang
siapa yang gila dengan ini hadiri Kopassus punya acara. Tidak penting buat
saya.
Bukankah
itu baik untuk menuju rekonsiliasi?
Bukan begitu. Kalau memang ada niat
baik, ya dengan masyarakat di bawah. Kami ini tinggal tepuk tangan saja. Jangan
ketemu kepalanya tapi di bawah main gunting, main gergaji. Itu yang saya pikir
orang Indonesia sudah merdeka berpuluh tahun tapi tidak ada yang berpikir
sedikit rasional. Bicara baik dengan pemimpinnya tapi di bawah bikin masalah,
he-he-he….
news.detik.com
***
Tulisan
selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 187, 29
Juni 2015). Edisi ini mengupas tuntas “Habis-habisan Dahlan”. Juga ikuti
artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional
“Timbang-timbang Dana Aspirasi”, Internasional “Dor… Dor… di Gereja
Charleston”, Ekonomi “Mengejar Singapura”, Gaya Hidup “Jangan Tidur setelah
Sahur”, rubrik Seni Hiburan dan review Film “Terminator Genisys”, serta masih
banyak artikel menarik lainnya.