Bob Marley, (Google) |
Oleh: Farid Dimyati
”Bangkit. Pertahankan hak-hakmu!” (The Wailers)
Bagi penikmat seni khususnya musik, tentunya sudah tak asing lagi
jika mendengar genre musik yang satu ini “reggae”, genre musik yang
identik dengan legendaris musik dunia, siapa lagi kalau bukan Bob
Marley, dengan salah satu lagunya yang sangat fenomenal “no woman no cry”.
Sumber tertulis mengatakan bahwa reggae berasal dari kata-kata Toots
and The Maytals yang menyanyikan lagu ini (Do The Reggae) pada tahun
1967. Irama musik reggae lebih pelan dibandingkan dengan rock steady dan
irama tambur musik reggae pun dipelankan menjadi apa yang disebut skank
[1].
Patrick Hilton dalam Campbell [2], menyatakan bahwa puisi-puisi
kebudayaan bersumber dari sejarah dan pengalaman orang – orang yang
mengembangkannya, demikian juga dengan musik calypso dan reggae, yang
merupakan produk – produk pengalaman historis bangsa Afrika yang ada di
Karibia.
Sementara itu, medium ekspresi protes dan sentimen orang-orang Afrika
di Amerika juga telah menemukan beberapa bentuknya, seperti isi dan
semangat musik jazz dan blues yang kami temukan pada kaum negro Amerika
(Afro – Amerika). Sama halnya dengan reggae masa kini di Jamaika yang
merefleksikan pesan yang sama, yaitu sebuah reaksi terhadap eksploitasi
dan penindasan atas orang – orang Afrika di benua baru.
Musik reggae tumbuh karena semangat anti perbudakan yang memang sudah
memuncak dikalangan warga kulit hitam Jamaika, mereka sudah mengalami
masa-masa perbudakan selama berabad-abad lamanya. Kebuntuan itulah yang
menyebabkan mereka pada akhirnya mulai menyatukan pemikiran dan sikap
dalam melawan rezim perbudakan dalam berbagai bentuk, salah satunya
melalui jalur kesenian yaitu musik reggae.
Perkembangan Musik Reggae
Tahun 1968 adalah tahun dimana musik reggae mulai berkembang pesat di
tanah Jamaika, pada periode perkembangan reggae inilah massa mulai
mempertegas kembali pengaruh kuat nilai – nilai budaya di dalam
perkembangan kepercayaan diri masyarakat.
Reggae telah membuka peluang -peluang baik pada level kebudayaan,
politik, maupun teknologi. Reggae juga merupakan sumber keberanian dan
dukungan moral yang tak habis – habisnya, sedemikian rupa sehingga
seniman -seniman reggae dapat memasuki arena internasional dan
memaksakan kepada dunia sebuah ekspresi orang-orang tertindas yang telah
dianggap rendah (inferior) secara kultural maupun secara artistik [3].
Perkembangan musik reggae yang demikian pesat, tidak terlepas dari
tangan emas Bob Marley dan grup musiknya The Wailers. Marley selalu
menyerukan kepada banyak orang agar “memerdekakan diri sendiri dari
perbudakan mental, tak seorangpun kecuali diri kita yang dapat
memerdekakan pikiran kita” (emancipate yourself from mental slavery, none but ourselves can free our minds).
Lagu-lagu marley-lah yang kian membakar semangat para kaum dreadlock
[4] muda untuk semakin gigih dalam melawan segala bentuk penindasan di
Jamaika bahkan di seluruh muka bumi. Musiknya semakin dikenal luas ke
seluruh dunia, bahkan hampir di seluruh benua Afrika musik reggae ala
marley adalah lagu wajib perjuangan untuk melawan bentuk perbudakan di
benua hitam tersebut.
Get up, stand up, stand up for your right, get up, stand up don’t give up to fight!
Bangun, berdiri, pertahankan hak-hakmu, berdirilah jangan berhenti
untuk melawan ( lagu “Get up Stand up”). Lirik tersebut adalah bentuk
provokasi Marley dalam membakar semangat kaum muda kulit hitam untuk
tetap berjuang mempertahankan hak-hak nya sebagai manusia, Marley
merupakan sosok legendaris musik reggae yang tak kenal lelah untuk
selalu menyerukan kepada dunia bahwa perbudakan terhadap kulit hitam
adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang tak beradab.
Marley dan salah satu sahabatnya, Peter Tosh selalu menyerukan ” you
can fool some people sometimes, but can’t fool all the people all the
time “ (kau dapat membodohi beberapa orang sesekali, tetapi tidak bisa
membodohi semua orang setiap saat).
Bahkan lagu I Shot The Sheriff, telah mampu menarik banyak
penggemar simpatik dari seluruh dunia, karena simbolisme menentang
penguasa tiran tidak hanya digemari oleh orang -orang kulit hitam saja,
tetapi juga oleh seniman-seniman budaya kulit putih seperti Mick Jagger
dan John Lennon.
Bangsa-bangsa kulit hitam semakin gigih dalam memperjuangkan hak-hak
kemanusiaannya, terlebih dengan propaganda Marley melalui musik reggae
nya telah membuka mata dunia bahwa perbudakan adalah sebuah bentuk
kekejaman kemanusiaan.
Hingga pada akhirnya kemerdekaan atas segala bangsa benar – benar
terwujud diatas muka bumi ini tanpa adanya perbedaan warna kulit.
Berikut adalah salah satu penggalan pidato yang disampaikan oleh Kaisar
Haile Selassie (raja bangsa kulit hitam) di Amerika Serikat pada tahun
1964 sebagai bentuk perjuangan untuk kemerdekaan bangsa-bangsa kulit
hitam Afrika. Beberapa kalimat dalam pidato ini dijadikan lirik oleh Bob
Marley dalam lagu War:
until the philosophy which hold one race superior and another inferior
is finnaly and permanently discredited and abandoned
until there are no longer
first class and second class citizens of any nation,
until the basic human rights are equally
guarented to all without regard to race
until that day, the dream of lasting peace
is finnaly and permanently discredited and abandoned
until there are no longer
first class and second class citizens of any nation,
until the basic human rights are equally
guarented to all without regard to race
until that day, the dream of lasting peace
Daftar Rujukan
1] 2] 3] Dikutip dari buku “ Rasta dan Perlawanan” karya Horace Campbell (1989)
[4] Dreadlock adalah kaum berambut gimbal, diidentikan sebagai pengikut rastafari dan penggemar musik reggae