Bergulat dengan "Kebenaran"

 Bergulat dengan "Kebenaran"


Buku ini mengajak kita untuk menjadi cair. Artinya, kita diajak untuk menikmati keindahan warisan budaya manusia, yakni filsafat, agama dan sains. Kita menjadi kaya secara pribadi, dan berwarna di dalam pengetahuan.

 
 
Buku yang ditulis oleh F. Budi Hardiman


Judul : Kebenaran dan Para Kritikusnya: Mengulik Idea Besar yang Memandu Zaman Kita
Penulis : F. Budi Hardiman
Penerbit : PT. Kanisius, Yogyakarta
Tahun Terbit : Cetakan I, 2023
Tebal Buku : 301 halaman
ISBN : 978-979-21-7566-0
 
“Kebenaran itu tak pernah murni. Ia juga tidak pernah sederhana.” Demikian tulis Oscar Wilde dalam The Importance of Being Earnest. Kutipan itu sesuai menggambarkan semangat dari buku ini. Kita diajak untuk bergulat dengan beragam ide kebenaran, sambil berpetualang di Filsafat Eropa yang mendalam dan penuh tikungan tajam.
 
Tak banyak pemikir mendalam di Indonesia. Fransisco Budi Hardiman adalah salah satunya. Di 2023 ini, ia kembali menerbitkan buku dengan judul Kebenaran dan Para Kritikusnya: Mengulik Ide Besar yang Memandu Zaman Kita, yang diterbitkan oleh Kanisius Yogyakarta.
 
Tujuh Tesis
 
Pertama, buku ini adalah diskursus tentang kebenaran. Ia tidak langsung menunjuk pada kebenaran, tetapi pada beragam diskusi yang lahir tentang kebenaran. Budi Hardiman menyentuh pemikiran para filsuf Barat kontemporer. Dengan buku ini, Budi Hardiman mengingatkan kita, bahwa ide tentang kebenaran itu berpijak pada ruang dan waktu tertentu, sehingga tak pernah universal secara utuh.
 
Dengan buku ini, Budi Hardiman mengingatkan kita, bahwa ide tentang kebenaran itu berpijak pada ruang dan waktu tertentu, sehingga tak pernah universal secara utuh.
 
“Konsep-konsep seperti dunia sosio-historis, aletheia, atau Wirkungsgeschichte”, demikian tulis Budi Hardiman, “mengacu pada kenyataan bahwa kebenaran,…berubah lewat waktu...” (hlm.123) Segalanya terus berubah sejalan dengan perubahan sungai sejarah. Pola ini berlaku untuk semua bentuk klaim kebenaran manusia, baik yang berada di dalam sains, agama, filsafat ataupun budaya. Menuhankan satu ide kebenaran tertentu, terutama di dalam sains dan agama, hanya akan bermuara pada kesesatan berpikir.
 
Dua, tidak ada kebenaran yang bersifat solid seutuhnya, abadi serta layak diperjuangkan dengan kekerasan. Setiap klaim kebenaran selalu tertanam di dalam sejarah. Klaim universalitas sebuah pandangan adalah sebentuk partikularitas tertentu. Namun, di dalam partikularitas tersebut terkandung universalitas. Inilah paradoks kebenaran, menurut Budi Hardiman.
 
Tiga, titik utama pandangan Budi Hardiman adalah kritik terhadap kebenaran faktual di dalam sains modern. Fakta dianggap sebagai kebenaran mutlak yang istimewa. Ia dianggap lebih tinggi dari agama dan filsafat. Padahal, fakta bukanlah sesuatu yang netral, melainkan dibungkus dalam kerangka pandangan dunia tertentu, dan selalu berubah di dalam waktu. Budi Hardiman menulis.
 
“Supremasi kebenaran faktualah yang sedang sedang kita persoalkan di sini dan kita identifikasi sebagai pangkal krisis-krisis makna dalam modernitas. Sains modern bekerja dalam teritorium epistemis yang tepat dengan upaya-upaya pencarian kebenaran faktual, tetapi cara-cara berpikir sains yang melampaui teritorium itu dan… kita sebut sebagai saintisme (scientism).” (hlm. 25)
 
Sains modern mengalami luber epistemis. Metodenya diterapkan untuk segala hal dalam kehidupan. Dengan cara ini, sains modern mengancam beragam klaim kebenaran lainnya yang, sesungguhnya, sangat dibutuhkan manusia. Sesat berpikir ini disebut sebagai saintisme, yakni pandangan yang menuhankan kebenaran faktual sebagai satu-satunya kebenaran.
 
Empat, mengacu pada Foucault, Budi Hardiman melihat kaitan langsung antara kebenaran dan kekuasaan. Semua pembicaraan tentang kebenaran selalu diwarnai dengan kekuasaan. Dalam arti ini, kekuasaanlah yang membentuk kebenaran. Kekuasaan menyempitkan kenyataan, lalu menghasilkan pengetahuan tertentu, termasuk moralitas, pendidikan, hukum, agama dan sebagainya.
 
“Diskursus apapun”, demikian Budi Hardiman, “entah itu dalam sains, agama, seni ataupun politik, menetapkan batas-batas pemikiran, sehingga… mengontrol, menyeleksi dan mengeksklusi.” (hlm. 150) Pengetahuan adalah hasil dari pembatasan. Pembatasan hanya mungkin lewat kekuasaan. Dunia adalah kumpulan pembatasan. Pembatasan tersebut tidak murni, melainkan dilumuri beragam kepentingan.
 
Lima, ada pembedaan penting antara fakta dan makna. Fakta adalah apa yang ditemukan di dalam kenyataan. Inilah ranah sains modern. Makna adalah proses manusia menafsirkan dunia, kerap kali dengan cara yang subyektif. Ini adalah ranah agama, budaya, seni dan filsafat.
 
Semua pembicaraan tentang kebenaran selalu diwarnai dengan kekuasaan.
 
Fakta terlihat sederhana. Makna itu rumit dan kaya warna. Di dalam kehidupan, keduanya bertaut erat. Budi Hardiman mengajak kita merayakan semua itu, tanpa terjatuh pada pemutlakan fakta atau makna tertentu, atau mencampurkan secara sembarangan ranah fakta dan makna.
 
Enam, Budi Hardiman membedakan tiga dunia. Yang pertama adalah dunia obyektif, yakni dunia faktual pada sains modern. Yang kedua adalah dunia intersubyektif, yakni dunia sosial, dimana manusia mewarnai dunia dengan tafsiran secara kolektif. Produk dunia intersubyektif adalah hukum, agama dan norma sosial yang berlaku di masyarakat, dan diubah sesuai kebutuhan manusia. Yang ketiga adalah dunia subyektif, yakni dunia pengalaman batin manusia pribadi.
 
Ketiga dunia tersebut harus ditempatkan sesuai tempatnya. Irisan ketiganya boleh terjadi, tetapi tumpang tindih selayaknya dihindari. Manusia memerlukan fakta di dalam hidupnya, supaya ia tidak terjebak pada takhayul, dan merugikan hidupnya. Namun, manusia juga adalah mahluk pemberi makna. Ia mewarnai pengalaman hidupnya dengan cerita dan tafsiran yang kaya. Semuanya perlu diberikan tempat secukupnya di dalam kehidupan.
 
Tujuh, Budi Hardiman mengembangkan pandangannya sendiri. Ia melihat, bahwa hidup manusia terdiri dari beragam ontologi. Dalam arti ini, ontologi adalah pandangan menyeluruh tentang kenyataan dengan klaim kebenaran tertentu. Ada empat bentuk ontologi, yakni ontologi pelampauan, ontologi pelepasan, ontologi penerimaan dan ontologi penyingkapan.
 
Dengan keempat bentuk ontologi ini, Budi Hardiman merangkum semua bentuk klaim kebenaran di dalam sejarah. Detil dari teori tipologi ontologi ini bisa dibaca langsung di dalam bukunya. Teori tipologi ontologi ini merupakan bentuk-bentuk penghayatan manusia tidak hanya pada kebenaran, tetapi pada kehidupan sebagai keseluruhan. Buah dari pemahaman ontologi ini adalah keterbukaan pada kebenaran yang berubah.
 
Relevansi
 
Buku ini mengajak kita untuk menjadi cair. Artinya, kita diajak untuk menikmati keindahan warisan budaya manusia, yakni filsafat, agama dan sains. Kita menjadi kaya secara pribadi, dan berwarna di dalam pengetahuan. Kita menikmati semuanya, tanpa terjebak di dalam satu klaim kebenaran, dan menjadi fanatik-destruktif.
 
Di dalam politik, kita juga diajak untuk menjadi cair. Kita tidak fanatik pada satu aliran politik tertentu. Kita tidak buta dan diperbudak oleh satu partai tertentu. Sikap cair, terbuka dan sehat di dalam memandang politik amat penting.
 
Soal agama, kita perlu sikap serupa. Agama adalah produk budaya. Ia hidup dan dan berubah. Menuhankan agama berarti menyangkal ciri historis agama tersebut. Kita pun terjebak di dalam kesesatan.
 
Sains perlu ditempatkan secara tepat, sambil bersanding dengan filsafat, budaya, seni dan agama di dalam mewarnai hidup manusia.
 
Budi Hardiman juga mengajak kita tidak menuhankan sains. Sains memang mengubah seluruh hidup manusia. Cara berpikir tentang dunia, termasuk tentang diri kita sendiri, berubah total, akibat penemuan-penemuan menakjubkan di dalam sains. Namun, itu bukan berarti, sains layak menjadi satu-satunya kebenaran di dalam hidup. Sains perlu ditempatkan secara tepat, sambil bersanding dengan filsafat, budaya, seni dan agama di dalam mewarnai hidup manusia.
 
Buku ini perlu dibaca masyarakat luas, dan menjadi bahan diskusi mendalam. Tantangan yang lahir dari buku ini akan membuat kita berkembang di dalam dunia pemikiran menuju kebijaksanaan.
 
Catatan kritis
 
Ada lima catatan kritis. Pertama, buku ini bisa menjadi autokritik atas dirinya sendiri. Buku ini membahas beragam klaim kebenaran dan ontologi, sambil menggunakan klaim kebenaran dan ontologinya sendiri. Artinya, proses kekuasaan dan penyempitan juga terjadi di dalam buku ini. Jika buku ini benar, maka buku ini juga “salah”.
 
Dua, peyempitan paling terasa di dalam pandangan Budi Hardiman soal Filsafat Asia. Secara sederhana, Budi Hardiman menyempitkan filsafat Asia sebagai filsafat Timur, atau kebijaksanaan Timur, yang menolak dunia (ontologi pelepasan). Padahal, filsafat Asia memiliki banyak sekali aliran. Ontologi filsafat Asia juga amat beragam, dan jauh lebih kaya daripada yang dipaparkan oleh Budi Hardiman.
 
Tiga, Budi Hardiman tidak berbicara tentang kebenaran. Ia berbicara tentang diskusi atas kebenaran. Ini seperti berada di restoran, tetapi hanya membaca menu, tetapi tidak makan. Ini adalah proses yang mengasyikan secara intelektual, tetapi tidak membuat hidup manusia lebih kaya. Dengan kata lain, buku ini bersifat tanggung di dalam memahami dan mendalami kebenaran.
 
Empat, buku ini juga menunjukkan dengan jelas keterbatasan Filsafat Eropa, atau Filsafat Barat. Filsafat Eropa terjebak pada “obsesi terhadap bahasa dan konsep”. Buahnya adalah keletihan epistemik, yakni kelelahan di dalam merumuskan konsep untuk memahami kehidupan yang tak pernah bisa ditangkap di dalam konsep. Satu pertanyaan terjawab, puluhan pertanyaan muncul. Yang tersisa hanyalah rasa tak puas.
 
Lima, Budi Hardiman kiranya perlu melampaui filsafat. Perjalanannya panjang, dan sangat berharga untuk para pembaca dan muridnya. Mungkin, ia sudah tahu tentang hal ini, tetapi memutuskan untuk tetap bermukim di ranah konsep. Kita perlu bertanya pada beliau langsung.
 
Setelah “bergulat dengan kebenaran”, kita perlu “mengalami kebenaran”. Budi Hardiman mungkin akan berkata, bahwa ini bukan ranah filsafat. Namun, saya bisa menanggapi: filsafat berkembang dengan menjangkau jauh ranah-ranah tak bertuan dan terlarang. Kita tunggu karya-karya beliau berikutnya. ***

#Bahan Bacaan
Share:
spacer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."