Oleh: Rinto Kogoya **
Colonial land, surabaya- “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” (Alinea Pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Tuntutan rakyat Papua untuk merdeka dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan cengkraman kepentingan negara-negara dunia pertama kini sedang menggema di seantero wilayah Papua Barat. Setelah sebelumnya tuntutan itu dilakukan secara gerilya dan diplomasi di luar negeri (internasional), maka sejak bergulirnya Reformasi di Indonesia (1998) tuntutan itu disampaikan secara terbuka, terutama di Indonesia tanpa meninggalkan tuntutan dengan cara gerilya.
Sementara tuntutan itu bergulir, Indonesia yang secara real politik menguasai wilayah Papua Barat dan negara dunia pertama yang secara real ekonomi yang menguasai Papua Barat “keras kepala” untuk tidak mendengarkan tuntutan rakyat Papua tersebut.
Tuntutan memisahkan diri rakyat Papuat dianggap sebagai sebuah upaya ilegal (melawan hukum atau tidak sah) sehingga rakyat Papua Barat diberikan beberapa cap konyol seperti separatis, makar, anti pembangunan, goblok, pemberontak dan lainnya.
Semua cap ini menjadi “surat izin” yang resmi bagi Indonesia dan negara dunia pertama untuk tetap menanamkan hegemoninya lewat praktek penjajahan seperti pemberian “paket” Otonomi Khusus, Pemekaran Wilayah (Propinsi/Kabupaten), pembunuhan, pemerkosaan, penanggapan dan pemenjaraan sewenang-wenang di luar jalur hukum, penyiksaan dan beberapa jenis kejahatan lainnya.
Walaupun demikian, rakyat Papua yang berpegang teguh pada keyakinan politiknya tidak menyerah. Sebaliknya “api perjuangan” dikobarkan terus-menerus untuk tetap melanjutkan aksi perlawanan dengan tuntutan utama “Papua Harus Merdeka”. Tuntutan itu bisa dilihat dari beberapa kejadian, di mana-mana dan di berbagai kalangan melalui berbagai aksi yang dilancarkan dengan tuntutan yang jelas dan tegas hendak memisahkan diri dari Indonesia.
Perjuangan itu tidak hanya dilakukan di dalam negeri, di luar negeri pun perjuangan untuk kemerdekaan Papua Barat sedang marak yang dilakukan oleh para diplomat Papua Barat yang didukung oleh berbagai Support Groups of West Papua Independence. Juga bukan hanya orang Papua asli yang memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat, tetapi diperjuangkan juga oleh orang non-Papua baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa rakyat Papua “keras kepala” untuk minta merdeka? Mengapa Indonesia dan negara dunia pertama juga “keras kepala” untuk tetap mempertahankan wilayah Papua Barat sebagai bagian dari NKRI? Tentunya punya alasan dan akar masalah. Untuk melihat alasan dan akar masalah, maka sejarah Papua Barat harus dipaparkan dan dipahami secara benar, selanjutnya harus dicari solusi atau upaya perjuangan yang harus dilakukan oleh rakyat Papua dan pendukungnya, tentu saja di dalamnya berbagai lapisan rakyat Papua. Hal itu akan menjawab pertanyaan. mengapa rakyat Papua menuntut merdeka?
Untuk menemukan “akar masalah” Bangsa Papua Barat yang sesungguhnya, maka penulis mencoba memaparkan sekilas sejarah kemerdekaan Bangsa Papua Barat dan dinamika politik penjajahan terhadap Bangsa Papua Barat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia sebagai bagian dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah. Sementara aksi pencaplokan itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang harus dipelajari dan dipahami untuk dapat memetakan persoalan secara obyektif, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi pencarian solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa politik Bangsa Papua Barat dalam kekuasaan Indonesia.
Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah antara Indonesia dan Papua Barat, maka beberapa hal coba penulis kemukakan.
Pertama, sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat, kedua, sejarah perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir penjajah, ketiga, sejarah kemerdekaan Bangsa Papua Barat, keempat, alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia, kelima, proses ilegal Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, dan keenam, Bangsa Papua Barat dalam kekuasaan Orde Baru Indonesia dan Kebangkitan Nasional Bangsa Papua Barat.
Pertama, sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat. Dalam sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders).
Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, sebagai contoh: seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay (Ottis Simopiaref, Dasar-dasar Kemerdekaan Papua Barat, sebuah ringkasan dari buku Karkara).
Selain kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh pihak asing), juga sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat dan Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Bangsa Papua adalah ras Melanesia sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras Mongoloid. Dengan perbedaan ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah perbedaan fisik maupun mental, dan kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan apapun dalam sejarah kehidupan di masa silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya sendiri dengan karakteristiknya yang berlainan pula.
Dari gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua Barat sama sekali tidak mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang bisa menyatukan kedua bangsa dalam satu negara yang bernama Indonesia. Alasan bahwa Indonesia dan Papua Barat mempunyai sejarah hidup yang sama sebagai sebuah bangsa pada masa sejarah sama sekali tidak obyektif, sebaliknya menjadi alasan politis untuk mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Hal semacam ini sering dibangun di Indonesia untuk membangun nasionalisme Indonesia bagi orang Papua (Yakobus F. Dumupa, Berburu Keadilan di Papua: Mengungkap Dosa-dosa Indonesia di Papua Barat, Pilar Media, Yogyakarta, 2006. Hal. 263-281).
Kedua, sejarah perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir penjajah. Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun (350 tahun Belanda menjajah pulau Jawa yang kemudian digeneralisir menjajah wilayah lain yang termaksud dalam kekuasaan Hindia Belanda), sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah (Agus A. Alua, Kongres Papua 2000 21 Mei-04 Juni “Mari Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat”, Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFP Fajar Timur, 2002. Hal. 67). Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina. Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing.
Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu.
Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat). Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.
Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas mengadakan penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Dari hasil penelitian itu, ternyata pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian Barat Perjuangan.
Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat.
Ketiga, sejarah kemerdekaan Bangsa Papua Barat . Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 (Tumbuhnya paham “Nasionalisme Papua” di Papua Barat mempunyai sejarah yang panjang dan pahit. Sebelum dan selama perang dunia ke II di Pasifik, nasionalisme secara khas dinyatakan melalui gerakan Millinerian, Mesianic dan “Cargo-Cultis). Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja dalam bahasa Belanda disebut Bestuurschool (Pendiri sekolah ini, yaitu J. P. van Eechoud oleh banyak orang Papua dijuluki sebagai “Vader der Papoea’s) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch dari Manokwari (Yorrys Th. Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, Presidium Dewan Papua, Jayapura, 2002. Hal. 16). Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya: satu, menetukan nama Negara ; Papua Barat. Dua, menentukan lagu kebangsaan ; Hai Tanahku Papua. Tiga, menentukan bendera Negara ; Bintang Kejora. Dan empat, menentukan bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961. Serta lambang negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Keempat ; alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia. Walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 18 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya: pertama, gagalkan pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial, kedua, kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia, dan ketiga, bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus). Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Mengapa Soekarno sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat untuk memasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat ke wilayah Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang dipegang oleh Indonesia sebagai tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua Barat. Keempat klaim itu adalah: satu, Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit. Dua, kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, oleh sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah “Indonesia Bagian Timur”. Tiga, Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda. Dan empat, Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda. Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.
Kelima, proses illegal Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Inti dari perjanjian ini adalah dilaksanakannya tindakan bebas memilih (Act of Free Chice) melalui mekanisme Internasional dengan ketentuan satu orang satu suara (One Man, One Vote).
Pada masa ini terjadi suatu kejanggalan yang mana pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia dibawah rezim Soeharto untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan Tengah Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991. Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Maka, jelaslah Penentuan Pendapat Rakyat yang dilakukan pada tahun 1969 akan dimenangkan oleh Indonesia. PEPERA dilaksanakan dengan sistem “musyawarah untuk mufakat” (sistem pengambilan keputusan di Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, dimana dari 809.337 orang Papua pada saat itu yang memiliki hak pilih hanya diwakili oleh 1.025 orang yang dimasukan dalam Dewan Musyawarah (Demus) yang mana sebelumnya sudah diindoktrinasi untuk memilih Indonesia. Ironisnya lagi, dari 1.025 orang, cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Di samping itu PEPERA 1969 dilaksanakan dengan teror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan Demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.
Keenam, Bangsa Papua Barat dalam kekuasaan Orde Baru Indonesia dan Kebangkitan Nasional Bangsa Papua Barat. Pada masa pemerintahan rezim orde baru Soeharto banyak peristiwa bersejarah yang dilakukan Rakyat Papua untuk memperjuangkan pemisahan diri dari Indonesia terutama paska pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, tetapi secara umum di sini penulis hanya akan mengemukakan peristiwa yang memiliki nilai historis penting.
Pertama, Proklamasi 1 Juli 1971. Setelah wilayah Papua Barat dimasukan secara sepihak lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat oleh Indonesia pada tahun 1969, wilayah ini diduduki layaknya sebuah wilayah jajahan. Indonesia mulai memperketat wilayah ini untuk mematikan gerakan kemerdekaan Papua Barat yang dilancarkan oleh Rakyat Papua lewat perjuangan diplomasi dan gerilya. Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik” “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua Barat (Kini Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/TPN PB).
Kedua, Deklarasi Negara Melanesia Barat. Tiga tahun sesudah proklamasi di “Markas Victoria”, imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua New Guinea. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen”, yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua New Guinea) sampai ke Sorong, yang “100% merdeka di luar Republik Indonesia”.
Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan “proklamasi Sorong-Samarai” itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan “bunuh diri” di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan “makar”.
Ketiga, pembunuhan budayawan nasionalis Papua; Arnold Clemens Ap. Pada tanggal 26 April 1984, pemerintah Indonesia melakukan “sesuatu” yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok perlawanan Papua yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Papua Barat yang juga adalah pimpinan kelompok music Mambesak, Arnold Clemens Ap, ditembak oleh Koppasanda (sekarang Kopassus) di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Port Numbay.
Keempat, Proklamasi Melanesia Barat. Pada tanggal 14 Desember 1988, Dr. Thomas Wapai Wanggai memproklamasikan Negara Melanesia Barat. Ia mengusung nama Negara Melanesia Barat untuk melepaskan Papua Barat dari kekuasaan Indonesia. Dia Mendeklarasikan Kemerdekaan Melanesia Barat dengan menaikan Bendera Bintang Empat Belas (B-14) di Lapangan Mandala Port Numbay tahun 1988. Akibatnya dia dipenjarakan di LP Cipinang Jakarta, tetapi dia meninggal dunia tahun 1996 karena sakit ketika menjalani hukumannya. Kematiannya dicurigai karena diracuni. Akhirnya banyak pengikutnya yang hingga kini melarikan diri ke luar negeri.
Ide Thomas Wapai Wanggai mengenai Negara Melanesia Barat ini tidak jelas mengenai batas wilayah “Melanesia Barat” itu. Apakah Melanesia Barat juga meliputi Maluku, Timor Timur, dan Nusa Tenggara Timur, yang penduduknya serumpun Melanesia? Ataukah penggunaan istilah itu hanyalah suatu taktik politik, suatu appeal ke arah isu Solidaritas Melanesia yang populer di beberapa negara Pasifik Selatan. Yang jelas, proklamasi Tom Wanggai punya appeal yang besar terhadap sebagian penduduk kota Jayapura dan kota-kota satelit-satelitnya.
Selain peristiwa bersejarah yang telah disebutkan di atas, masih ada juga aksi-aksi perjuangan rutin baik secara diplomatik maupun gerilya yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat. Secara diplomatik misalnya terjadi lobi dan pembukaan kantor-kantor perwakilan OPM di berbagai negara, seperti di Swedia (1972), Senegal (1976), dan kampanye yang dilakukan di Belanda, Yunani, Jepang, PNG dan negara lainnya. Sementara secara gerilya misalnya terjadi penyerangan-penyerangan terhadap Pos Militer (TNI/POLRI) oleh TPN-OPM, terjadi penyanderaan, dan lainnya sepanjang kekuasaan Negara Indonesia era Orde Baru di Papua Barat.
Sebagai balasannya Indonesia melalui kekuatan militer lewat penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) melakukan teror, intimidari, pengejaran, pemenjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas umum dan kampung, dan aksi kejahatan militer yang lainnya. Selain itu dilakukan Operasi Koteka pada tahun 1970-an, yang mana rakyat dipaksa untuk mengenakan pakaian ala orang Indonesia yang terbuat dari kain.
Akibat Operasi Militer banyak rakyat Papua Barat yang telah menjadi korban. Hal dapat dilihat dari laporan Amnesty International yang mengemukakan bahwa telah terjadi 100 ribu rakyat Papua Barat dibantai oleh militer Indonesia. Selain itu Universitas Yale mengeluarkan laporan resmi bahwa telah terjadi Genosida di Papua Barat yang dilakukan oleh pemerintah dan militer Indonesia yang berjudul “Indonesia Human Rights Abuse in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesia Control.” Selain Universitas Yale, John Wing dan Peter King dari Center for Peace and Conflict Studies di Universitas Sydney Australia juga telah menerbitkan sebuah laporan sebagai hasil riset tentang Genosida di Papua Barat yang berjudul “Genocide in West Papua? The Role of Indonesian State Apparatus and a Current Needs Assessment of the Papua People”( Yakobus F. Dumupa, Suaka Politik: Perang Diplomasi Indonesia versus Papua Barat dan Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat, 2010).
Kebangkitan nasional Bangsa Papua Barat (Era Reformasi Indonesia) bersamaan dengan tumbangnya “raja” Soeharto dari kursi kekuasaanya sejak tahun 1998, dan sekarang ini juga kita berada dalam masa Reformasi Indonesia. Lahirnya Reformasi memberikan “angin segar” bagi rakyat Papua Barat untuk memperjuangan haknya secara terbuka walau disisi lain pengekangan yang dilakukan terhadap gerakan-gerakan perlawanan khususnya diwilayah Papua kerap kita temukan dalam berbagai bentuk. Namun, apa yang terjadi hari ini di Papua akan menjadi pembelajaran yang sangat penting dari sejarah perjalanan Rakyat Papua dalam membentuk sejarahnya sendiri. “Rakyat, dan hanya Rakyat-lah, adalah kekuatan penggerak dalam pembentukan sejarah umat manusia.”(Mao Tsetung). Sekian…salam erat!