Cerpen
Karya: Honny Pigai
Papua kaya akan sumber daya alam. Alamnya indah namun kisah yang mengiringinya penuh dengan air mata. Di sana, di balik gunung dan hutan rimba yang lebat, terdengar jeritan yang merobek-robek hati nurani. Di lembah-lembah dan sungai terdengar gemuruh air mata yang mengalir deras. Di pinggir pantai pasir putih yang terbentang luas terdengar nyanyian ratapan yang memukul angkasa raya.
Anthony, seorang pemuda Papua yang berkulit hitam legam dengan mata tajam seperti elang, tumbuh besar di desa kecil yang terletak di lereng Pegunungan Papua. Sejak kecil, ia sudah terbiasa melihat helikopter-helikopter militer berputar-putar di atas desa, membawa serta rasa takut yang menyesakkan dada. Di setiap langkah, ia merasakan pengawasan yang tak kasat mata, seolah-olah langit pun ikut mengawasi setiap gerakannya.
“Jangan keluar malam, Anthony,” nasihat ibunya setiap
kali malam menjelang. “Di luar sana, bukan hanya binatang buas yang mengintai.”
Anthony tahu apa maksud ibunya. Sejak dulu, orang-orang
di desanya selalu hidup dalam ketakutan. Bukan karena binatang buas, melainkan
karena manusia yang datang dengan senjata di tangan dan kebencian di hati.
Suatu malam, ketika bulan bersinar terang, Anthony
memutuskan untuk keluar rumah. Ia merasa terpanggil untuk menyusuri hutan yang
telah menjadi rumahnya sejak lahir. Di dalam hutan itu, ia merasakan kedamaian
yang sulit ditemukan di tempat lain. Namun, malam itu berbeda. Hutan yang
biasanya ramah kini terasa mencekam. Seolah-olah ada sesuatu yang menunggu di
balik pepohonan.
Tanpa disadarinya, Anthony sudah terlalu jauh dari desa.
Ketika ia memutuskan untuk berbalik, terdengar suara gemerisik dari balik
semak-semak. Jantungnya berdebar kencang, dan ia berusaha tenang. Tapi suara
itu semakin mendekat, hingga akhirnya ia melihat bayangan manusia bergerak
mendekatinya.
“Mau ke mana, anak muda?” Suara itu berat dan dingin. Di
depannya berdiri seorang pria dengan seragam militer, senapan teracung di
tangan.
Anthony tahu, ia harus hati-hati. “Saya hanya
berjalan-jalan, Pak. Hutan ini sudah seperti halaman rumah saya.”
“Tapi halaman rumahmu sudah bukan milikmu lagi, anak
muda.” Pria itu tersenyum sinis. “Sekarang ini milik negara.”
Anthony menelan ludah. Ia tahu banyak kisah tentang
tanah-tanah yang diambil paksa, tentang warga desa yang diusir tanpa
kompensasi. Tapi mendengar langsung kata-kata itu dari mulut seorang militer
membuat darahnya mendidih.
“Tanah ini milik nenek moyang kami. Kami lahir, hidup,
dan mati di sini,” jawab Anthony dengan suara yang bergetar.
Pria militer itu mendekat. “Kalian, orang Papua, memang
keras kepala. Tanah ini milik siapa yang lebih kuat, dan sekarang kami yang
berkuasa di sini.”
Tanpa peringatan, pria itu memukul Anthony dengan popor senjata.
Anthony jatuh tersungkur, darah mengalir dari pelipisnya. Ia mencoba bangkit,
namun pria itu sudah menarik kerah bajunya.
“Kamu tahu apa yang kami lakukan pada orang-orang yang
melawan?” desisnya di telinga Anthony.
Anthony hanya bisa memejamkan mata. Di benaknya, ia
teringat wajah ibunya, wajah yang penuh kasih sayang namun juga menyimpan
ketakutan mendalam. Ia teringat pada ayahnya yang dulu hilang setelah ditangkap
militer, hingga kini tak pernah kembali.
“Apa salah kami?” Anthony berbisik lirih. “Kami hanya
ingin hidup damai di tanah kami sendiri.”
Pria militer itu tertawa. “Damai? Damai hanya untuk mereka yang tunduk. Kamu tahu, di sini banyak yang hilang karena berani melawan. Kamu mau jadi salah satu dari mereka?”
Pria militer itu tertawa. “Damai? Damai hanya untuk mereka yang tunduk. Kamu tahu, di sini banyak yang hilang karena berani melawan. Kamu mau jadi salah satu dari mereka?”
Anthony tak menjawab. Ia tahu, tak ada jawaban yang bisa
menyelamatkannya. Hutan yang dulu memberinya kedamaian kini menjadi saksi bisu
penderitaannya.
Malam itu, Anthony tak pernah kembali ke desanya. Kabar
tentang kepergiannya tersebar di desa, menambah daftar panjang orang Papua yang
hilang tanpa jejak. Setiap kali ada yang hilang, mamanya Anthony menyalakan
lilin di depan rumah. Lilin-lilin itu tak pernah padam, sebagai simbol harapan
dan doa bagi mereka yang tak pernah kembali.
Namun, di balik lilin-lilin yang menyala, ada rasa putus
asa yang kian mendalam. Desa itu semakin sunyi, semakin banyak rumah yang
kosong, semakin sedikit tawa yang terdengar. Hanya ada tangisan dan doa yang
tak pernah habis.
Kejahatan yang terjadi di tanah Papua adalah cerita yang
tak berujung. Setiap kali satu nyawa hilang, ribuan kenangan ikut lenyap.
Setiap kali ada tanah yang diambil, sejarah satu suku terhapus. Namun, meskipun
begitu banyak penderitaan, orang Papua tetap berdiri teguh di tanah mereka.
Mereka tahu, tanah ini adalah warisan leluhur yang harus
dijaga, meski dengan darah dan air mata. Mereka tahu, suatu hari nanti,
kebenaran akan terungkap, dan keadilan akan datang, meski jalannya panjang dan
penuh duri.
Cerpen ini mungkin hanya sepotong kecil dari litani
panjang penderitaan orang Papua. Tapi di balik setiap kata, ada jeritan yang
meminta didengar, ada luka yang tak pernah sembuh, dan ada harapan yang tak
pernah padam.
Di setiap sudut Papua, meski gelap menyelimuti, selalu
ada lilin yang menyala, simbol bahwa di balik semua kesakitan, ada harapan yang
masih hidup. Sebuah harapan akan keadilan, akan kebebasan, dan akan damai yang
sesungguhnya di tanah yang mereka cintai. ***
Akhir
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."