PENGANTAR DARI TULISAN...."DOGIYAI: Bersama Falsafah Hidup Orang Mee"


Oleh: Honaratus Pigai

Bagi manusia Mee dogiyai memiliki pemaknaan yang sangat luas dan penuh arti. Melalui pandangan ini mau memperlihatkan dan menyadarkan manusia Mee sendiri dan mereka yang ada di daerah suku Mee (meuwodide) bahwa segala tingkahlaku manusia harus menjadi DOGIYAI. Manusia tidak akan mencapai tujuan hidup kekal yang sempurna dan sejati, bila mengingkari atau melampaui falsafah yang dimaksud.

Diharapkan tapi juga diharuskan menaati setiap falsafah yang ada. Jika terdapat ada kemauan dan pengakuan untuk meyebut dan mengakui dirinya sebagai manusia Mee yang sejati, tidak harus tidak melampaui inti falsafah yang ada. Juga kalau hendak memperlihatkan ke-Mee-annya kepada yang lain, tidak harus menyangkal diri dari ke-Mee-an itu. Dalam arti bahwa, subjek tertentu adalah manusia Mee, tetapi wujud hidupnya tidak menampilkan ke-Mee-annya, aksioma untuk tidak menyebut dirinya sebagai manusia Mee. Karena falsafah ke-Mee-annya mesti dihadapkan di permukaan, yakni yang bersifat manusia sejati dan sempurna, bukan wujud hidupnya melampaui falsah hidup sempurna itu. Dengan kata lain, bila mau mengaku diri sebagai manusia sejati (Makodo Mee), berarti setiap manusia Mee harus mengikrarkan ketaatannya pada inti falsafah ini.

Tanpa terkecuali secara universal, setiap manusia tidak terlepas dari budayanya. Yang dalam budaya tertentu pasti ada falsafah-falsafah yang dapat mampu mengarahkan manusia menjadi sejati dan melaluinya dapat menghadapi tantangan yang berarti. Budaya yang merupakan kebiasaan hidup yang tidak pernah tiada, selalu harus dimaknai. Karena dalam sebuah budaya terdapat pedoman-pedoman fundamental yang bernilai. Budaya itu sangat menyatu pada manusia, entah tua atau muda, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan dan sebagainya. Pokoknya yang disebut dengan manusia berarti selalu berbudaya. Hanya kini kembali kepada subjek manusia. Apakah sebjeknya membudaya terhadap nilai-nilai yang ada, atau sebaliknya. Mengakui diri sebagai berbudaya, tapi kepribadiannya tidak mengaktualisasikan budaya adalah khaos kebudayaan.

Di dalam budaya hidup manusia di dunia manapun tidak mungkin tidak ada unsur-unsur falsafah, yang mengarahkan manusia mencapai tujuan sempurna, selain ajaran-ajaran Kristiani, Muslim, Budha, Hindu. Untuk mencapainya selama manusia masih mengalami kehidupan, falsafah hidup adalah unsur hakiki yang menawarkan kepada kita untuk mau dan tidak mengikutinya. Salah satunya bagi orang Mee adalah falsafah Dogiyai.

Penulis tidak terlalu memaksakan untuk menyelami falsafah ini, tapi menjadi kewajiban fundamental yang seharusnya dimaknai bagi setiap orang. Bagi siapa yang mau disebut dan menyebut diri sebagai manusia Mee yang sejati, tulisan ini hanya salah satu pokok yang memungkinkan kita mencapainya. Karena bila dikaji lebih intensif pokok dogiyai, memiliki makna tersirat yang menyimpan pengertian yang sangat mendalam artinya dan kaya makna. Falsafah ini layak dipahami sebagai keutamaan yang menghidupkankan manusia kepada kebaikan dari belenggu-belenggu kegelapan yang memunahkan identitas dirinya sebagai manusia berbudaya. Juga memiliki keutamaan “kebenaran”. Ia dapat mengarahkan manusia kepada yang benar dan pasti. Tidak dapat merong-rong jiwa manusia kepada ketidakbenaran yang menimbulkan kebencian dan kejahatan yang mematikan. Ketika ada sesuatu yang dapat menghalang manusia, kebenaran dari falsafah dapat mengarahkan atau menuntunnya ke arah yang lebih bijaksana.

Hadirnya kabupaten yang diberikan nama dogiyai adalah hal yang patut dipuji, tetapi pujian ini harus dilestarikan dalam perwujudan falsafah dogiyai yang asali. Seringkali manusia Mee memandang kata dogiyai sebagai sebuah kata yang tak bermakna, sehingga perwujudan perilakunya tidak searah. Ini menimbulkan berbagai macam konflik, entah konflik terhadap dirinya sendiri maupun kepada sesama yang lain atau konflik horizontal maupun vertikal.

Jangan sampai kabupaten ini juga dipandang seperti demikian, sehingga mengotori identitas dan falsafahnya. Maka mereka yang bekerja di dalam tatanan pemerintahan kabupaten itu, perlu memahami secara seksama nama kabupaten itu dalam perspektif falsafah yang terkandung, lalu bekerja dengan kesungguhan. Supaya dalam mewujudkan fungsinya tidak menyeleweng dari makna falsafah dogiyai, melainkan berjalan sesuai namanya yang luhur adanya. Jangan tidak pernah menyadari inti falsafat dogiyai, karena membahayakan dan berbahaya. Maju mundurnya kabupaten tergantung sadar tidaknya kita dalam memaknai nama kabupatennya. Secara tegas boleh dikatakan demikian. Karena dalam perspektif kebudayaan yang biasanya dilakukan para leluhur nenek moyang suku Mee, mereka tidak sembarang memberikan nama dari sebuah kampung, anak yang baru lahir atau inisiasi tentang sesuatu. Mereka memberikan nama dengan menilai karakter tertentu yang ada pada objek tertentu, sehingga apa yang diberikan itu tidak keluar dari arah hidup selanjutnya.

Dogiyai Bukan sebuah material yang harus dipermaikan. Karena itu, menjadi tugas mulia tapi berat bagi kita adalah mengamalkan nama DOGIYAI dengan baik, dalam mengembangkan DOGIYAI itu menjadi DOU ENA. tetapi jiga kita bermain-main, maka akibatnya pasti akan terlalu besar. oleh karena itu pertanyaan yang harus kita refleksikan adalah mengapa kita harus beri nama kabupaten dengan nama falsafah hidup yang kaya makna itu? kita harus menjaga identitasnya, jangan sampai tercoreng keaslian menjadi tidak bermakna, oleh tindakan kita yang kotor dan membawa penghuni DOGIYAI ke kegelapan yang tak ada terangnya...semoga sukses...

Share:
spacer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."