Waligereja Indonesia : Pasukan Keamanan di Papua Terlalu Banyak Jumlah dan Jenisnya

JUBI-PIGAI --- Kekerasan di Tanah Papua masih terus terjadi walaupun sudah berulangkali diserukan oleh berb

agai pihak agar mas
alah-masalah Papua diselesaikan dengan cara damai.

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) kembali menegaskan bahwa Kesejahteraan masyarakat yang mau dibangun hanya bisa terwujud kalau ada suasana damai yang memungkinkan semua komponen masyarakat bekerja sama dengan tenang. Masalah-masalah sosial yang begitu banyak tidak mungkin diatasi

dengan jalan kekerasan. Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru dan menambah masalah.



"Lebih buruk lagi kalau ungkapan pendapat dan pernyataan politik sekelompok masyarakat Papua, yang disampaikan secara terbuka dengan cara yang damai, lagi-lagi ditanggapi dengan gertak senjata, penangkapan, penganiayaan serta pembunuhan. Kami para Uskup dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyatakan keprihatinan yang mendalam dan mengecam tindakan kekerasan itu yang jelas-jelas tidak mengindahkan martabat manusia dan merampas hak hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia." demikian disampaikan oleh KWI kepada tabloidjubi.com melalui "SERUAN KWI TENTANG PAPUA", yang diterima redaksi, Sabtu malam, 19 November 2011.



Seruan yang ditandatangani oleh Mgr. Martinus D. Situmorang, OFM (Ketua KWI) bersama Mgr. Johannes Pujasumarta (Sekjen KPI) juga menegaskan kekerasan terhadap masyarakat Papua dan pelanggaran hak-hak orang Papua adalah kisah dengan sejarah yang sudah amat panjang. Jeritan hati orang-orang Papua atas perlakuan itu tidak bisa hanya dianggap angin lalu atau dibungkam dengan himbauan dan kebijakan-kebijakan sesaat. Diperlukan keberanian Pemerintah Pusat untuk mengubah sikap dan mengambil langkah pendekatan baru, serta penyelesaian yang berfokus pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Papua.



Keprihatinan dan solidaritas KWI ini membuat KWI merasa perlu mendorong Pemerintah Pusat untuk mewujudkan dialog dengan Masyarakat Papua.
"Niat Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono, yang pernah dicetuskan sejak awal pemerintahannya, untuk menyelesaikan masalah Papua, hendaknya kini diwujudkan. Jalan yang dipakai haruslah jalan dialog. Ucapan-ucapan indah seperti “membangun Papua dengan hati” hendaknya dimulai dengan dialog dari hati. Dengan hati lapang, tanpa stigmatisasi apapun, hendaknya Pemerintah mendengarkan jeritan hati orang-orang Papua dan kisah penderitaan yang dialaminya sejak integrasinya dengan NKRI." ujar Mgr. Martinus D. Situmorang, OFM dalam seruan tersebut.



KWI berpandangan untuk mewujudkan dialog yang konstruktif bagi seluruh masyarakat Papua, Pemerintah perlu memfasilitasi upaya-upaya mempertemukan berbagai komponen masyarakat Papua, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Majelis Rakyat Papua untuk mengakomodasi harapan-harapan mereka mengenai cara dan materi dialog. Kelompok-kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Papua, entah OPM atau apapun juga namanya, baik yang berada di dalam negeri maupun yang di luar negeri, harus mendapat tempat utama dalam dialog itu. Untuk menjamin terjadinya dialog yang bermartabat, adil dan benar serta saling menghormati, harus ada pihak ketiga yang terpercaya untuk menjadi penengah.



Terhadap segala bentuk pelanggaran HAM yang dialami orang-orang Papua, menurut KWI, Pemerintah harus menegakkan keadilan, meminta maaf, mengganti rugi dan memulihkan hak-hak orang Papua.



Demikian juga dengan Undang-undang Otonomi Khusus yang bermaksud memberikan perlindungan dan kemudahan khusus untuk orang-orang Papua dalam membangun kesejahteraannya. Ada banyak hal yang belum terlaksana dari Otonomi khusus itu. Dengan banyaknya uang yang beredar di Papua, arus pendatang dari luar Papua pun makin deras. Dalam banyak bidang kehidupan, orang Papua terpinggirkan oleh pendatang-pendatang itu. Kami mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menata kembali kependudukan dan lebih terarah mengutamakan persiapan tenaga kerja Papua untuk lapangan kerja yang ada.



Secara khusus KWI melihat pasukan-pasukan keamanan yang ditempatkan di Tanah Papua terlalu banyak jumlah dan jenisnya. Mereka tidak mempunyai kegiatan yang secara positif mengisi waktunya dan bermanfaat untuk masyarakat setempat. Sikap dan perilaku mereka lebih sering menjadikan mereka musuh masyarakat dan bukan sebagai penjaga keamanan dan rasa aman bagi masyarakat. Kami mendorong Pemerintah untuk mengurangi jumlah TNI di Papua dan menempatkan di sana mereka yang matang serta mampu menjadi bagian dari masyarakat setempat sehingga betul menjadi pelindung masyarakat dan penjamin rasa aman.

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."

Copyright © Muye Voice. Designed by OddThemes