CALON PEMIMPIN DAERAH dan KEMURAHAN HATI YANG SEMU

Akhir-akhir ini di seluruh tanah Papua, kita sedang berhadapan dengan pesta demokrasi. Para kandidat mulai menaruh harapan kepada masyarakat agar bisa memilih mereka. Dengan kemurahan hati mereka datang dan memohon. 


Apakah kemurahan hati itu datang dari ketulusan hati yang sebenar-benarnya ataukah kemurahan hati itu dibungkus dengan ambisi yang meluap-luap agar masyarakat memilihnya..? Adalah pertanyaan besar yang mesti direnungkan. Tidak dipungkiri bahwa kenyataan telah membuktikan bahwa, para kandidat yang biasa mencaonkan diri selalu menunjukkan kemurahan hati yang semu. Kemurahan hati yang bersifat sesaat. Kalau setelah dipilihnya menjadi pemimpin atau pejabat, maka selanjutnya tidak memperhatikan masyarakat yang telah memilihnya.  

Kita bisa merenungkan situasi yang seringkali terjadi, bahwa, ketika orang mencalonkan diri sebagai pemimpin di suatu daerah, dia mencari nama baik diawal-awal pencalonannya atau ketika waktu pemilu dekat. Dia membuat banyak kegiatan yang menyenangkan hati orang lain (rakyat). Dia mengorbankan segala miliknya demi orang  lain (rakyat). Segalanya bisa dipertarukan demi masyarakat. Sayangnya, segala pertaruhannya ini tidak dengan tulus hati, karena pertaruhannya ini menuntut suatu pembalasan. Pembalasan yang dituntut adalah saat menjadi calon pemimpin di suatu daerah. Ia menuntut agar masyarakat harus memilihnya dalam pemilihan nanti. 

Sikap menuntut pembalasan ini, nampak dalam janji-janji yang dibuat saat kampanye. Sederetan janji dibuat, entah dari ujung bumi sampai ujung langit (membangun daerah dengan baik, mensejahterakan rakyat, membawa kedamaian dan berbagai macam janji lainnya). Janji-janji itu rupanya terangkum dalam sebuah kalimat yang seringkali kita jumpai di baliho-baliho berukuran besar maupu kecil yang dapat  dijumpai di setiap penggiran jalan raya. Pertanyaan besar yang sampai sekarang tidak pernah dan bisa dijawab adalah apakah akan tercapai janji-janji yang dibuat dalam visi-misi itu? 

Pertanyaan ini muncul karena ada sederetan janji yang termuat dalam visi-misi, entah bersifat mendesak maupun tidak. Tetapi itu semua adalah janji, yang harus ditepati. Walaupun kita sebagai manusia yang luput dari kekuarangan dan kelebihan, tetapi pertanyaannya mengapa harus ada janji…? Pertanyaan-pertanyaan ini memusingkan kepala, karena “Janji Adalah Utang.” Utang harus dibayar dan harus dilunasi. Jika tidak, maka sama saja dengan “koruptor janji.” 

Kalau janji saja tidak ditepati, maka ketulusan hati menjadi semu. Karena itu, ketidaktulusan hati menolong sesama, akan terbawa sampai menjadi seorang Pemimpin. Karena berawal dari kemurahan hati yang semu, maka ketika menjadi pemimpin jelas bahwa keberpihakannya terhadap masyarakat juga menjadi semu. Malah masyarakat bisa menderita karena kebijakan-kebijakannya yang tidak memihak rakyat. Kemurahan hati seperti demikian, pasti terbungkus dalam kemunafikan ambisi menjadi pemimpin. Setelah menjadi pemimpin rakyat menderita. Janji-janjinya mati total atau dengan kata lain “pemimpin tidak melihat daratan.” (Honaratus Pigai)

Yang sebenarnya ada dalam diri para pemimpin daerah adalah: “…Apa yang nampak sebagai suatu kemurahan hati, sering sebenarnya tiada lain adalah ambisi yang terselubung, yang mengabaikan kepentingan-kepentingan kecil untuk mengejar kepentingan-kepentingan yang lebih besar…”

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."

Copyright © Muye Voice. Designed by OddThemes