Sesudah jatuhnya pemerintahan Soeharto, menjadi terbuka lebar bahwa
sejak orde baru, tentang Pancasila, UUD 1945, Kesatuan dan Persatuan, dan
sebagainya, ada hal-hal mengerikan yang terjadi di Negara Indonesia, khususnya
di Papua. Entah dalam insiden-insiden yang selama bertahun-tahun diperkecil,
seperti peristiwa Dili, peristiwa Lampung, Peristiwa Tanjung Periok; maupun
operasi-operasi yang bertahun-tahun lamanya berlangsung hingga kini, seperti di
Papua.
Di Papua, yang nyata rutin terjadi adalah kekejaman dan kejahatan luar
biasa. Puluhan orang Papua telah terbunuh di luar pertempuran dan tanpa proses
pengadilan, termasuk wanita-wanita dan anak-anak (baca Selengkapnya di Berbagai buku tentang Papua: Operasi
Sadar, Operasi Brathayudha, Operasi Wibawa Operasi Militer di Jayawijaya,
Operasi Sapu Bersih I dan II, Operasi Galang I dan II, Operasi Tumpas – dan
berbagai operasi-operasai dan pembunuhan-pembunuhan lain terhadap orang Papua
yang dilancarkan militer hingga detik ini, untuk membasmi manusia Papua). Pemerkosaan terhadap wanita-wanita dan pembunuhan
di Papua telah menjadi rutin.
Kekerasan dan pembunuhan di Papua, sudah tidak asing lagi di telingga
kita. Kita selalu mendengarkan berita-berita lokal, nasional maupun
internasional bahwa Papua adalah daerah konflik. Di setiap daerah Papua selalu ada pertumpahan darah.
Untuk itu, kata yang seringkali digunakan adalah “berdarah.” Wamena berdarah,
paniai berdarah, Jayapura berdarah dan pokoknya di seluruh daerah selalu
terjadi pertumpahan darah itu. Jelas bahwa tidakan-tindakan pertumpahan darah
manusia bukan suatu pembelaan terhadap kemanusiaan manusia, melainkan
pembunuhan yang menuju kepada genosida. Kata genosida cocok untuk digunakan,
karena yang mengalami korban adalah bukan orang non-Papua, melainkan hanya orang asli Papua. Orang yang
memiliki dan diberikan oleh Sang Pencipta sebagai tempat atau pulaunya. Gonosida ini dilakukan sangat rapih dan licik. Gonosida yang biasanya
terjadi melalui, Minuman (keras maupun air putih), makanan, penyakit
(HIV-AIDS), pengiriman WTS yang notabenenya pengidap HIV-AIDS, pembunuhan
secara nyata (melalui operasi-operasi yang berujung pada pembunuhan) dan banyak
tidakan terselubung lainnya.
Sejak Papua diintegrasikan ke dalam Negara Indonesia (1961), ratusan manusia hidup dalam
ketakutan dan trauma bangsa. Mental orang Papua dicabik habis-habisan dengan
tindakan dehumanisasi negara yang tidak memihak atau tindakan tidak beradab terhadap rakyat kecil. Padahal, dalam rumusam Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Repulik Indonesia, telah tercatat ideologi yang paling luhur demi membela
harkat dan martabat manusia yang adil dan makmur. Namun rumusan ini, hanya
menjadi ideologi belaka. Ideologi yang tidak
berlakulagi. Ideologi yang sudah menjadi basih. Ideologi yang sudah dibuang di
kotak sampah. Realisasinya gagal total dan
tidak berlaku secara menyeluruh dan bahkan hampir tidak berlku lagi di Papua.
Berhadapan dengan perbuatan-perbuatan mengerikan itu, kita tidak hanya
sedih dan kaget. Dalam diri kita, pasti muncul kesadaran bahwa sesama manusia
mesti tidak boleh diperlakukan seperti itu. Semua manusia yang hati nuranya
belum ditumpulkan oleh tindakan ganas, mesti menyadari bahwa tindakan-tindakan
kejahatan adalah sesuatu yang tidak dibenakan. Karena tindakan kejahatan
terhadap sesama manusia adalah tindakan yang melanggar hak-hak azasi manusia.
Tindakan-tindakan yang selama ini berlangsung di Papua adalah kebutaan
pemerintah dan militer memandang persoalan. Memang karena kebutaan atau tahu tapi berpura-pura berlaku seperti
tidak tahu.
Orang Papua selalu dianggap sebagai musuh dari negara, sehingga harus
dihindarkan (dibunuh) dari negara kesatuan ini. Apakah benar orang Papua adalah musuh negara? Mengapa Papua menjadi musuh
Negara, sehingga harus dibunuh? Padahal kita manusia adalah makhluk yang sempurna di hadapan Allah pencipta. Manusia
mesti dilindungi. Jika ada persoalan mesti diselesaikan secara bermartabat.
Bukan diselesaikan dengan menembak orang. Inilah letak masalah dan kesalahan yang diciptakan oleh aparat
yang tidak bertanggungjawab dan tidak mampu menyelesaikan persoalan dengan
baik. Maka terkesan bahwa kekuasaan militer lebih tinggi dari pada hak azasi
manusia. Karena fakta menunjukkan bahwa hak hidup bagi rakyat tidak mendapat
perhatian utama, dari pada kekuasaan.(Honaratus Pigai)
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."