Perjuangan hidup putri Papua |
Honaratus
Pigai(*
Tanah Papua sering dijuluki “Tanah Surga”. Julukan ini diberikan oleh orang
asli Papua sendiri maupun orang luar Papua. Orang luar Papua menjuluki
demikian, karena jika dibandingkan dengan daerah lain yang mereka ketahui Papua
sangat beda dengan daerah lain itu. Letak perbedaannya adalah Papua sangat
unik, karena mempunyai kekayaan alam yang melimpah termasuk keindahannya,
budayanya yang beraneka ragam, sukunya beraneka ragam dan tentunya bahasa
daerah juga bermacam-macam. Walaupun, daerah Papua terdapat beragam budaya,
mereka sangat ramah dan lugu. Maka tidak heran kalau orang luar Papua ingin
datang ke Papua.
Sementara orang asli Papua juga mengakui bahwa daerahnya adalah “Tanah
Surga” atau dengan kata lain “Tanah Yang diberkati Tuhan”. Orang Papua memandang
demikian, karena tanah Papua memiliki berbagai macam kekayaan alam yang tak
terhitung jumlahnya, aneka ragam hewan, aneka tumbuhan yang mengiasai alam
Papua dan aneka ragam budaya yang menghiasi alam Papua dari Sorong hingga
Samarai. Hal ini bisa didengar dan disimak dalam alunan lagu Mars Papua dalam refrennya
“gunung-gunung, lembah-lembah yang penuh
misteri, Kau-ku puja salalu, keindahan alammu yang mempesona. Sungaimu yang
deras mengalirkan emas syo ya Tuhan trimakasih”. Mendengar lagu ini, kita langsung bisa
menafsirkan bahwa Tanah Papua adalah tanah yang raya, apalagi diperkuat dengan
syair lagu dari Edo Kondologit yang sudah menjadi popular “Surga kecil jatuh ke
bumi”. Dua syair lagu ini memberikan gambaran alam Papua dan tidak kalah
penting dengan sikap manusia Papua yang ramah, yang benar-benar menghadirkan
Surga itu di Papua.
Sayangnya, Surga kecil itu semakin terusik dengan tindakan-tindakan negatif
manusia. Yakobus Dumupa seorang penulis dan sekaligus novelis asal Papua pada
2008 menerbitkan novel yang pertama dengan judul “Ratapan Tanah Surga”. Di sini
Yakobus mau menggambarkan bahwa Tanah Papua yang dijuluki “Tanah Surga” sedang
merintih dalam segala bidang kehidupan, terutama mengangkat dehumanisasi yang
dipraktekkan negara terhadap manusia Papua.
Manusia Papua yang dahulu menampilkan hidup damai dan selalu bersyukur atas
tanah yang diberikan Tuhan, kini berubah. Dengan zaman yang berubah dan banyak
orang luar Papua datang ke Papua, tidak hanya datang melestarikan dan
mengembangkan kedaiaian itu, tetapi malah sebaliknya menciptakan konflik dan
ketidakamanan.
Konflik Di Papua
Kalau kita membaca di media-media masa lokal, nasional maupun
Internasional, kita pasti tidak menemukan situasi Papua yang damai. Yang pasti
kita temukan dan baca adalah sederetan peristiwa konflik dan kekerasan,
seperti; pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, ketidakadilan,
ketidakbenaran, ketidakjujuran, kemunafikan, pembodohan, pemfitnaan, teror,
intimidasi, penganiayaan, stifma-stigma negatif dan bahkan pembunuhan terhadap
manusia.
Peristiwa-peristiwa ini sepertinya sudah mengakar dalam kehidupan orang
asli Papua. Tidak lazim lagi bagi rakyat Papua dalam mengalami peristiwa itu.
Papua menjadi semacam sumber dari konflik di seluruh Indonesia. Tapi menjadi
pertanyaan siapa yang membawa konflik kekerasan di Papua?
Tidaklah heran kalau orang Papua tidak menerima situasi tidak damai seperti
itu dan bangkit berjuang melawan situasi konflik itu. Orang Papua sendiri pasti
tahu sumber datangnya situasi konflik semacam yang digambarkan itu, sehingga
sebagai perlawanan atas situasi itu mereka harus berjuang dan bekerja keras
demi mencari kedamaian yang pernah ada di tanah Papua.
Dalam buku “Dalam Buku budaya damai dan rekonsiliasi dan menangani konflik
di Papua” yang diterbitkan oleh Tim SKP Jayapura, 2006, pada Bab II, dengan
sangat jelas menggambarkan bahwa inti dari konflik di Papua adalah perbedaan
kepentingan. Yang satu mau mencari kepentingan besar tanpa memperhitungkan hak
orang lain, yang satu mau merdeka – yang satu mau Otonomi Khusus, yang satu mau
damai – yang satu mau konflik dan selanjutnya. Dalam buku yang sama,
digambarkan juga bahwa perbedaan kepentingan ini bisa menjadi gangguan luar
biasa kalau tidak ada kesepahaman.
Berbedanya pemahaman ini, menimbulkan knflik yang mengorbankan sekian ribu
rakyat Papua. Kekerasan terhadap warga dimulai sejak Papua berada dari pangkuan
ke pangkuan (Perjanjian NEW YORK, UNTEA, PEPERA), yang semuanya dilakukan tanpa
sepengetahuan orang asli Papua. Padahal yang dibicarakan adalah nasib dan
kehidupan orang Papua, namun orang Papua dipandang sebagai bukan manusia yang
memiliki hak untuk berbicara dan menentukan nasib hidupnya.
Lantaran, masalah tidak selesai sampai di situ. Di Papua dengan ideologi
pembangunan daerah yang dianggap ketinggalan dan manusianya masih “bodoh”.
Didatangkannya berbagai pengajar dari luar Papua untuk memberdayakan orang
Papua menjadi manusia-manusia terampil. Mereka lupa bahwa orang Papua sudah
lebih dahulu telah dibangun oleh Misionaris dan Zending. Mereka juga berpikir
bahwa manusia Papua bodoh, padahal orang asli Papua adalah manusia yang
memiliki akal untuk berpikir, hati untuk berrasa dan jiwa untuk memberikan
semangat kerja. Karena kelupaan ini, melumpuhkan pemikiran positif terhadap
Papua sehingga yang dominan adalah pemikiran negative melulu terhadap orang
Papua.
Bukan hanya itu, transmigrasi yang mendatangkan orang luar Papua untuk
datang ke Papua dan menempati pemukuman rakyat Papua. Sementara rakyat Papua
tergusur dan termarginalisasi di daerahnya sendiri. Tanah milik rakyat diambil
tanpa kompromi. Apalagi dikawal oleh
Militer negara. Bukan hanya pengawalan ketat oleh militer terhadap transmigrasi
saja, tetapi dalam segala hal lain. Misalnya, di Timika terhadap PT. Freeport.
PT raksasa yang sedang menghancurkan tanah Papua itu pun sama. Malah boleh
dikatakan hilangnya kemanusiaan manusia Papua, karena illegal datangnya PT
itu.
Lain lagi, Operasi-Operasi Militer mulai dari tahun 1963 sampai sekarang
sedang menggema di seluruh Tanah Papua yang dianggap rawan konflik. Entah
konflik diciptakan oleh rakyat atau bukan, adalah sebuah pertanyaan yang selalu
diabaikan. Bahkan rakyat ditumpas habis-habisan tanpa suatu perundingan hukum
pengadilan yang jelas. Yang membunuh pun tidak dikenakan sangsi penjara, tetapi
malah diberi kenaikan pangkat atau penghargaan yang tinggi. Padahal sikap pembunuhan
adalah sikap dehumanisasi yang tidak beradap. Selain itu, Otsus-Pemekaran dan
UP4B juga tidak membangun Papua secara baik, tetapi malah meninggalkan kisa
buruk bagi rakyat yang ada. Dan masih banyak lagi realitas ketidakadilan dan
konflik, yang sungguh-sungguh memojokkan rakyat Papua terlempar dalam
ketidakberadaban tindakan negara.
Mengubah Wajah Papua
Carut-marutnya konflik Papua menguburkan “Tanah Surga”. Selama ini orang
Papua berjuang demi mengembalikan citra diri sebagai manusia Papua dan mencari
kembali “Tanah Surga” yang telah hilang entah kemana. Maka, salah besar kalau
orang Papua distigma sebagai TPM/OPM, Makar, Separatis dan sederetan stigma
yang diberikan. Pemerintah Indonesia harus merefleksikan diri baik dan bertobat
atas dosa politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya di atas tanah Papua.
Pemerintah negara harus merefleksikan bahwa kebijakan-kebijakan yang
diterapkan di Papua dan mesti menjawab harapan rakyat. Harapan-harapan rakyat bisa terpenuhi kalau
pemerintah tidak menerapkan kebijakan sesuai kemauannya sendiri, melainkan
melihat kemauan rakyat. Maka, Papua untuk mengubah wajah Papua mesti dibangun
suatu dialog.
Dialog penyelesaian konflik antara Japakarta-Papua,
menjadi jalan alternatif untuk mencari solusi yang bermartabat dan menjawab
keinginan rakyat Papua. Walaupun banyak pihak telah menyatakan pentingnya
dialog Jakarta-Papua, tetapi dialog harus dimediasi oleh oleh pihak ketiga yang netral dan tempat yang netral.
Pihak yang bukan orang Papua maupun bukan orang Indonesia dan tempat bukan di
Papua dan di Indonesia. Karena kalau pihak ketiga tidak dilibatkan dalam dialog jelas bahwa wajah Papua, tidak akan berubah.
Malah akan menambah konflik baru yang mungkin skalanya akan sangat besar dari
sekarang. Maka kata netral harus dipikirkan secara baik oleh
pihak Jakarta maupun Papua, karena yang mau dibahas adalah masalah martabat
manusia di tanah Papua, yang berskala nasional maupun Internasional. Terlabih
martabat manusia Papua di atas tanahnya sendiri.
*)
Adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura – Jayapura – Papua
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."