Oleh: Akhmad Sahal
Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada
Negara Indonesia, kita tahu, berbentuk republik dan berasaskan
Pancasila. Bukan negara Islam yang berlandaskan syari’ah. Lantas, apa
dasar syar’inya bahwa umat Islam di negeri ini mesti loyal terhadapnya?
Mengapa mereka mesti ta’at terhadap konstitusi NKRI?
Pertanyaan di atas menjadi relevan buat kita, mengingat akhir-akhir ini
muncul dua macam gejala yang muaranya memposisikan NKRI seakan nasibnya
sedang di ujung tanduk. Gejala pertama adalah maraknya kekerasan dan
diskrimnasi terhadap minoritas atas nama Islam. Yang kedua, adanya
sebagian kalangan Islam yang memvonis NKRI sebagai kafir dan thoghut,
dan wajib diganti dengan negara syari’ah.
Untuk mengurai pokok masalahnya, ijinkan saya mengutip Abdurrahman
Wahid (Gus Dur). Dalam artikelnya “NU dan Negara Islam,” Gus Dur
menolak ide negara Islam karena hal itu memberangus heterogenitas
Indonesia. Ia juga memaparkan bahwa sikap NU yang menerima keabsahan
NKRI bersandar pada keputusan Muktamar NU tahun1935 di Banjarmasin
bahwa kawasan Hindia Belanda wajib dipertahankan secara agama.
Alasannya: kaum muslim bisa bebas menjalankan ajaran Islam. Selain itu,
di kawasan itu dahulu sudah ada Kerajaan Islam.
Atas dasar itulah NU menyatakan komitmennya kepada republik kita, yang
berdasarkan Pancasila dan bukan Islam. Ini ditunjukkan, misalnya,
dengan Resolusi Jihad mempertahankan republik yang dikeluarkan PBNU
pada 22 Oktober 1945.
Yang menarik, muktamar NU 1935 tidak langsung mencap Hindia Belanda
sebagai kawasan kafir (darul kufr) hanya karena ayat: “Barang siapa
tidak berhukum dengan aturan yang diturunkan Allah, maka mereka adalah
orang-orang kafir” Rupanya ulama NU menyadari bahwa status hukum
segala sesuatu tidak bisa ditentukan hanya dengan semata-mata memetik
teks agama (nash) begitu saja. Konteks (al-waqi’) juga mesti
diperhitungkan.
Kesadaran tentang konteks inilah yang mesti kita perhitungkan untuk
menilai status hukum NKRI dari sudut pandang syari’ah, dan kenapa umat
Islam wajib loyal kepadanya. Ini berrarti, kita mesti tahu dulu apa
sejatinya makna kata “republik” yang dilekatkan pada “Indonesia.”
Sederhananya, republik adalah tatanan politik di mana negara menjadi
urusan publik (res publica). Publik di sini menjadi sumber legitimasi
politik, tapi sekaligus menjadi tujuannya. Karena itu, sistem republik
seringkali dilawankan dengan monarki yang berbasis kekuasaan personal
sang raja. Juga dipertantangkan juga dengan negara jajahan yang berbasis
pada kuasa kolonial.
Dalam artinya yang mendasar, republik adalah sistem yang menjamin
setiap warga negara terbebas dari dominasi, yang tak lain adalah
kekuasaan sewenang-wenang dari pihak luar diri sang warga tadi, entah
itu dominasi dari individu yang lain, negara atau kelompok masyarakat.
Dengan demikian, pemerintahan republik, mengutip Muhammad Hatta dalam
traktatnya Ke Arah Indonesia Merdeka (1932), “senantiasa takluk dengan
kemauan rakyat.” Artinya, aturan yang mengatur rakyat ditentukan
sendiri oleh mereka. Dalam republik, yang berlaku adalah kedaulatan
rakyat, yang didefinisikan oleh Hatta begini: “Rakyat itu daulat alias
raja bagi dirinya sendiri. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan
kecil saja yang memutuskan nasib bangsa, melainkan rakyat sendiri. “
Ringkasnya, inti dari republik adalah kemauan rakyat yang berkehendak
untuk bebas dari dominasi apapun. Artinya, pemerintahan yang memimpin
mereka dan hukum yang mengatur mereka mesti berdasar pada persetujuan,
kesepakatan atau perjanjian di antara mereka sendiri. Secara
kelembagaan, hal ini diwujukan melalui demokrasi, di mana rakyat
memerintah dirinya sejdiri (self-rule).
Dan perjanjian yang berlangsung antara pihak muslim dan non muslim
untuk menentang kekeuasaan yang sewenang-wenang berifat mengikat,
sebagaimana kontrak antara pihak muslim dengan muslim lain.
Berdasarkan paparan di atas, anggapan bahwa NKRI adalah sistem kafir
yang haram untuk ditaati dengan telak bisa dirontokkan berdasar argumen
berikut:
Pertama, sebagaimana dinyatakan Gus Dur dalam artikelnya, NKRI memang
bukan negara Islam. Akan tetapi tidak berarti bahwa hukum Islam tidak
ditegakkan di situ. Buktinya masyarakat muslim bisa dengan bebas
menjalankan ajaran Islam tanpa melalui tangan negara. Mengutip Gus
Dur, “mendirikan negara Islam tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi
mendirikan masyarakat yang berpegang pada ajaran Islam adalah sesuatu
yang wajib.”
Dengan kata lain, dalam kerangka sistem republik, kaum muslim tetap
mendapatkan keleluasaan untuk menerapkan syari’ah. Namun, penerapannya
berlangsung secara sukarela dan atas kesadaran sendiri, bukan melalui
paksaan dari negara. Ini tentunya sejalan dengan prinsip republik yang
anti terhadap dominasi dalam berbagai bentuknya.
Kedua, tuduhan bahwa NKRI identik dengan kekafiran mencerminkan
kegagalan memahami hakekat tatanan republik, yakni sebagai negara
perjanjian atau kesepakatan antar pelbagai elemen bangsa demi melawan
dominasi dalam berbagai bentuknya.
Pada titik ini, ada baiknya saya kutipkan keputusan Tanwir Muhammadiyah
tentang NKRI pada Juni lalu di Bandung. Menurut Muhammadiyah, Indonesia
yang berdasar Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan
(Darul ‘Ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (Darus Syahadah), dan
negara yang aman dan damai (Darussalam).
Keputusan Tanwir tersebut diperkuat dengan pernyataan Din Syamsuddin
bahwa komitmen terhadap Pancasila adalah manifestasi komitmen untuk
menepati janji, sesuatu yang diperintahkan dalam Islam.
Pendapat ketua PP Muhammadiyah ini layak untuk dicatat karena sejumlah
ayat dalam Al-Qur’an memang memerintahkan kaum muslim untuk mematuhi
kontrak (‘ahd, mitsaq, atau ‘aqd) yang telah mereka sepakati. Simaklah
misalnya QS: 2:177, 16:91, dan 17:34. Ketentuan ini tentu saja bukan
hanya berlaku pada wilayah ekonomi semata, melainkan juga politik.
Ketiga, taruhlah benar bahwa NKRI adalah negara kafir. Lalu Apa
konsekuensinya bagi warga negara Indonesia yang muslim? Di Indonesia,
kaum muslim mendapatkan jaminan keamanan penuh serta bebas menjalankan
agamnya. Ini berarti, NKRI bukanlah Darul Harbi yang mesti diubah
menjadi Darul Islam.
Dari sudut pandang hukum Islam, orang Islam yang tinggal dan menjadi
warga negara di negara kafir yang tidak memerangi umat Islam
(non-harbi) sesungguhya terikat kontrak dengan negara tersebut. Dan
patut diingat, kontrak dengan pihak non muslim punya kekuatan mungikat
juga. Dengan begitu, jika ia melanggar konstitusi negara tersebut,
apalagi berupaya menggantinya dengan yang lain, maka ia sesunggunya
menjadi pengkhianat kontrak.
Ibnu Qudamah, ulama dari mazhab Hanbali, menulis dalam Al Mughni:
“Muslim yang tinggal di negara kaum kafir dalam keadaan aman haruslah
mematuhi kontraknya terhadap negara tersebut, karena mereka memberikan
jaminan keamanan semata-mata karena adanya kontrak bahwa si muslim
tidak akan berkhianat. Ketahuilah, pengkhianatan terhadap kontrak
(ghadr) adalah tindakan yang dilarang dalam Islam. Nabi bersabda: “Al
muslimun ‘inda syuruthihim“: kaum Muslim terikat dengan perjanjian yang
telah mereka sepakati.”
Senada dengan pendapat Ibnu Qudamah, Imam Al-Sarakhsi, ulama penganut
mazhab Hanafi, menyatakan dalam Kitab Al Mabsuth: “Sunnguh tercela bagi
seorang muslim yang memohon keamanan dari (negara kafir) berdasarkan
perjanjian, tapi lalu menngkhianatinya. Rasul berkata: “Sesiapa
mengkhianati suatu kesepakatan, maka pada hari kiamat nanti anusnya akan
ditancapi bendera sehingga perbuatan khianatnya akan ketahuan secara
terbuka.”
Hadits di atas kiranya cukup untuk menegaskan bahwa orang Islam yang
menjadi warga negara Indonesia wajib mematuhi kesepakatan mereka
terhadap republik.
Kewajiban ini tetap berlaku bahkan bagi mereka yang menganggap NKRI
sebagai sistem kafir, tapi pada saat yang sama tak juga melepaskan
kewarganegaraannya.
Padahal NKRI bukanlah negara kafir. Kaum muslim tentunya dituntut untuk
dengan sepenuh hati memenuhi kesepakatan mereka dengan republik.
Mungkin karena tahu akan kerasnya kecaman Nabi terhadap pengkhianatan
terhadap suatu kesepakatan (ghadr), maka Gus Dur tak henti-hentinya
menyerukan kaum muslim Indonesia untuk memegang teguh komitmen mereka
terhadap NKRI.
*Dimuat di KOMPAS, 25 September 2012
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."