Honaratus
Pigai(*
Apa yang baru dari
‘tahun baru’? Waktu tetap berjalan. Bumi tetap berputar pada porosnya. Hari
tetap berganti dari pagi, siang, dan menuju malam.
Yang baru dari tahun
baru adalah pemaknaan manusia pada waktu dan peristiwa. Apa yang berjalan
secara rutin kini dipahami sebagai sesuatu yang lepas dari rutinitas, yakni baru itu sendiri. Oleh
karena itu tahun baru tidak boleh jatuh menjadi rutinitas, karena itu hanya
akan melucuti esensi –kebaruan- yang terdapat didalamnya.
Perjalanan Papua sebagai bangsa
adalah perjalanan yang penuh dengan peristiwa traumatis karena konflik yang silih berganti. Bermula
dari integrasi Papua ke
dalam Indonesia yang berjalan 50-an tahun, sejak tahun 1961. Papua disanjung
setinggi langit karena kekayaan dan keindahan alamnya yang dahsyat. Tetapi
Papua juga diremehkan karena kekayaan itu. Dengan ingin merampas kekayaan itu,
manusia Papua dipandang sebagai benda/binatang, sehingga dengan mudah
menghilangkan nyawa dari hadapan bumi.
Berbagai macam konflik yang tercipta di
Papua, pembunuhan, intimidasi, teror, korupsi yang tak kunjung habis menggores
jati diri kita sebagai manusia ciptaan Sang Kebenaran (Allah).
Setiap pergantian tahun selalu ditandai dengan tumbuhnya harapan baru di Papua. Namun, harapan tersebut
tumbuh dihadapan “tanah
berduri” atau yang penuh
dengan peristiwa negatif. Misalnya,
kasus di Paniai-Pugo, Puncak Jaya, Lani Jaya, Timika dan berbagai tempat lain
di Papua. Harapan yang dikembangkan di tahun yang baru di Papua rupanya bukan
harapan untuk perubahan demi masyarakat Papua. Tetapi merupakan konflik dan
trauma serta pembasmian hak hidup setiap manusia.
Tahun Baru
Tahun baru juga
melahirkan masalah dan tantangan-tantangan baru yang perlu untuk ditanggapi
secara tepat dan jernih. Tantangan dan masalah baru tidak bisa ditanggap dengan
kerangka berpikir dan tindakan-tindakan lama. Oleh karena itu tahun baru juga
berarti keberanian untuk melihat dunia dengan cara baru, yakni cara yang
mungkin sebelumnya tidak terpikirkan.
Maksudnya, dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan keinginan masyarakat,
bukan keinginan para elit politik. Tanpa keberanian semacam itu, tahun baru hanyalah
merupakan tahun lama yang hanya
mengganti nama, yang tidak mengubah kondisi masyarakat menjadi baru.
Di tahun baru kita bisa melihat kenyataan
konflik yang terjadi di tanah Papua. Konflik yang lama selalu berganti di tahun
baru, misalnya di awal tahun baru pertumpahan darah masih terjadi di Paniai-Pugo,
di Puncak Jaya dan di Timika serta beberapa tempat lainnya. Kalau demikian
sebenarnya apanya yang baru di tahun baru ini?
Tahun baru
menjanjikan harapan akan perubahan ke arah yang lebih baik. Namun ditemukan orang yang
membuat janji-janji hanya
menutup kebiasaan jeleknya di masa lalu. Tahun baru sebenarnya momen untuk menyatakan dan menegaskan komitmen untuk
perubahan ke arah yang lebih baik. Sayangnya
hal itu tidak bisa di temukan dalam setiap nurani kita. Karena itu, mewujudkan
harapan serta menggulirkan perubahan, menjadi
kebiasaan yang jelek.
Setidaknya ada dua
agenda yang menuntut ketegasan dan tindakan konkret, yakni; pertama, upaya untuk mengurangi
konflik di Papua dengan dialog antar keduabela pihak yang bertikai yang dimediasi
oleh pihak netral, dan kedua, perubahan gaya hidup yang lebih manusiawi, yaitu menciptakan kedamaian terhadap manusia dan lingkungan hidup.
Kedua agenda itu juga dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk mengikis dan
melampaui konflik sosial yang
menjangkiti kesadaran bangsa kita.
Konflik Papua dan Solusinya
Seperti yang pernah
ditulis oleh Budi Hardiman (2005), trauma sosial adalah bekas dari suatu
peristiwa negatif yang tergores di dalam ingatan sebuah bangsa. Trauma adalah
bekas dari peristiwa negatif yang terus mengulang dirinya sendiri, walaupun di
dalam realitas, peristiwa itu sudah lama berlalu. Dampak dari trauma sosial
berskala nasional, dan bahkan berskala universal, yakni menggores rasa
kemanusiaan kita sebagai insan ilahi. Efek dari trauma juga terasa dalam jangka
waktu yang lama, jika tidak ada upaya-upaya konkret untuk melampauinya.
Berkaitan dengan itu, Papua masih
menyimpan dalam hati peristiwa-peristiwa berdarah yang menelan korban.
Misalnya, pada 2011/2012 yang telah berlalu, kita dihadapkan
pada konflik sosial di Papua yang tak kalah
besarnya (Pugo-Paniai,
Puncak Jaya, PT. Freport Timika). Masyarakat menjadi tidak percaya pada pemerintah,
terutama dalam kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang para pejabat publik
yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri. Pemerintah sepertinya tidak memperhatikan keamanan rakyatnya
dengan serangan Militer, tanpa membedakan masyarakat dengan OPM. Maka, yang
terjadi di dalam proses tersebut, banyak korban yang berjatuhan, baik korban
manusia, alam, dan korban sosial. Pemerintah
harus mengambil langkah yang bijak demi menanggapi situasi demikian di tahun
baru. Karena terkesan pemerintah buta
nurani melihat masalah rakyat sebenarnya?
Pemerintah harus membuka mata hati menyelesaikan masalah Papua dengan mendengarkan
harapan rakyat Papua.
Karenanya, setiap peristiwa
selalu meninggalkan jejak. Peristiwa yang positif akan meninggalkan jejak dalam
bentuk harapan dan teladan. Sementara peristiwa negatif seperti konflik sosial,
korupsi, penipuan, dan diskriminasi akan meninggalkan jejak dalam bentuk
trauma. Jejak tersebut seringkali tidak kelihatan, namun secara langsung
mempengaruhi perilaku masyarakat secara umum di Papua.
Tahun baru adalah
momen untuk membangun harapan, menyatakan, dan menegaskan komitmen untuk berani
menghadapi tantangan-tantangan baru juga dengan cara berpikir baru yang mungkin
sebelumnya tidak terpikirkan.
Konflik Papua harus ditanggapi dengan
kepala dingin. Pemerintahan setempat di Papua mesti menanggapi masalah yang ada
dengan baik, jangan selalu dengan pendekatan militer. Pendekatan militer tidak
akan membawa kedamaian, karena masyarakat setempat masih dalam situasi trauma
terhadapnya. Akan dipikirkan militer datang hanya untuk “membuat masalah baru”
atau mencari konflik dengan orang Papua. Indonesia harus membuka diri dengan
rakyat Papua dan mengambil momen untuk bersama membicarakan masalah konflik
kekerasan dalam dialog demi menyelesaikan masalah Papua.
*)Penulis
adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura – Jayapura – Papua
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."