Ingin melihat senyummu/tangis manusia. |
Sejuknya tetesan embun membuatku terbangun dari tidur lelap.
Aku tersadar dari mimpi-mimpi indah, yang menyelimuti diri ini sepanjang
malam.
Aku tertuduk dan diam,serasa bertanya dalam hati,
apakah mimpiku ini, kenapa aku selalu memimpikan dia si
Sang Keriting,apa arti semua ini, dalam mimpi dia seakan menangisi sesuatu.
Mimpi itu menjadi kenyataan, ya Allah jangan biarkan dia larut dalam
tangis,
karena aku tak sanggup melihat dirinya merintih tak mengenal waktu,
kabulkanlah kerinduannya itu.
karena aku tak sanggup melihat dirinya merintih tak mengenal waktu,
kabulkanlah kerinduannya itu.
Setetes embun yg keluar dari sudut matanya,menggores
hatiku,karena kita saudara,sebagai manusia.
Jagalah dia selalu, aku titipkan kepada-Mu Ya Sang Khalik.
Aku hanya ingin melihat senyum di bibirnya,
Dan tak ingin melihat air mata yg keluar dari matanya.
Dan tak ingin melihat air mata yg keluar dari matanya.
(Goresan Anak
Keriting - Honaratus Pigai)
Puisi di atas bukan
sekedar ungkapan kosong belaka, tetapi lebih dari itu menggambarkan situasi
yang dialami oleh Sang Manusia Keriting di atas muka bumi, di daerahnya sendiri
(Papua). Gambaran yang dapat nampak dari goresan ini menggambarkan bagaimana
seorang keriting itu mengalami berbagai persoalan hidup yang berat. Persaolan
yang tidak memihak kepada kemanusiaan manusia dan martabatnya sebagai manusia.
Manusia selalu
dipandang tidak berarti dan dengan pandangan negatif bahkan dipandang dengan “sebelah mata”. Penilaian dan pandangan
tersebut mengusik jauh ke liang kegelapan kemanusiaan yang sebenarnya harus
dilindungi dan diperhatikan. Padahal manusia adalah mahkluk yang paling luhur
dan harus dihargai martabatnya di atas muka bumi. Terlebih harus memperhatikan
hak hidupnya dan keamanan dalam aktivitas hidupnya. Sebagai sesama manusia
selayaknya harus memiliki tanggung jawab moral yang muncul dari hati. Tanggung
jawab moral yang tidak memojokkan sesama, tetapi memperhatikan dan menghargai
serta menghormati sesama sebagai manusia. Bukan mengingkari semasama manusia
hanya demi kekuasaan dan uang yang membawa kita kepada egoisme fundamental.
Sikap egois inilah yang semestinya dan harus ditanggalkan dan mengenakan sikap
keberpihakan yang saling memanusiakan. Sayangnya, sikap seperti demikian belum
ditanggalkan secara penuh. Kita para penguasa sering bermain di dalam kekuasaan
kita dan memojokkan manusia lain demi mau menguasai sesama manusia dan bahkan
menindas mereka dengan sikap kita yang kotor dan bobrok.
Kebobrokan
sikap kita selalu nyata dalam praktis hidup. Kita menerapkan
kebijakan-kebijakan yang mengorbankan hak hidup dan terus menggugurkan air
mata. Padahal kebijakan-kebijakan yang kita terapkan itu belum tentu dan bahkan
tidak menyentuh harapan dan kerinduan rakyat manusia. Kita bisa melihat
realitas yang sedang terjadi di bumi ini, banyak pelanggaran Hak Azasi Manusia
dan pelanggaran ini sepeti sudah lazim dan mengakar dalam kehidupan.
Relalitas
menunjukkan bahwa tiap hari tanpa hentinya terdengar tangisan-tangisan manusia
keriting. Berbagai Konflik meninggalkan kisah-kisah kejahatan dan bahkan
manusia jatuh di ujung peluru atau membunuh manusia keriting, yang belum tentu
dia bersalah. Sungguh sangat hati-hati untuk bertindak dan mengungkapkan
pendapat di era reformasi ini sedang berlangsung. Jika kedapatan sang keriting
menyuarakan kebenaran dan keadilan demi membela martabatnya sebagai manusia, dianggap
salah. Segala tindakan yang dibuat oleh manusia Keriting, dianggap melanggar
hukum, maka harus ditindak lanjuti secara serius. Penindaklanjutan ini bukan
dengan pendekatan moralitas yang bijak dan melalui hukum positif, tetapi dengan
tindakan-tindakan fisik yang dapat melukai, melumpuhkan dan bahkan mematikan
manusia. Kalau demikian pertanyaan yang membumbung setinggi langit adalah,
apakah ini era reformasi ataukah masih orde-lama? Kalau era reformasi, apa yang
harus dilakukan? Ataukah era reformasi hanya sebagai formalitas belaka dan kita
masih berada dalam situasi orde lama? Sangat terlinggar situasi yang sedang
berlangsung, era reformasi tidak menunjukkan gigihnya. Era reformasi dimatikan
total oleh sikap manusia era orde lama. Yang sedang berjaya adalah era orde
lama dan bukan reformasi. Reformasi telah mati, karena dimatikan manusia
pembunuh reformasi.
Realitas ini
sangat berbelit dengan berbagai macam konflik kekerasan. Konflik yang sedang
dihadapi Sang Keriting, bukan koflik kecil. Karena hampir berbagai konflik di
Papua dialamatkan kepada rakyat Keriting. Walaupun sebenarnya bukan diciptakan
oleh mereka, tetapi dituduh sebagai pelaku. Situasi semacam ini sudah
berlangsung lama dan sedang berlangsung sampai saat ini. Banyak bukti yang
menjukkan tuduhan-tuduhan palsu yang diciptakan oleh para pembunuh refomasi dan
penguasa negara. Akibatnya, ayah, ibu, anak, saudara/i di bawah oleh
peluruh-peluruh yang mematikan. Setiap keluarga hilang dibawa arus koflik dan Operasi-Operasi
Militer, entah mereka diteror,
diintimidasi, dipenjarakan, distigma negatif dan bahkan dibunuh. Sanak
saudaranya digilas arus yang jahat.
Bagi yang
ditinggalkan di bumi tak hentinya mencucurkan air mata. Memori atas realitas
derita Papua, terbawa juga dalam mimpi di malam hari, ketika tidur. Seperti
terputar kembali semua kisah kejahatan yang dialami. Bagaikan kaset recorder
atau film yang diputar ulang-ulang.
Si Keriting
terus dan terus mencucurkan air mata, sambil mengatakan saya harus LAWAN dan
mengakhiri derai air mata ini, agar bisa menatap masa depan yang cerah demi
membebaskan diri dari cengkraman derita dan tangis. Ia berkisah walaupun
ditimpa derita panjang, “Ya Tuhan, aku
ingin melihat dia (sesamaku) senyum dalam kebebasan.”
***